Chapter 03

Aku mengerjabkan mata, karena silaunya sinar matahari menembus dinding papan rumahku yang beberapa telah berlubang. Astaga, aku ternyata tertidur dari sore kemarin hingga pagi menjelang. Perutku juga sangat-sangat perih, karena tidur dalam keadaan perut kosong.

Aku mengikat rambut dan melipat selimut menuju kedapur berniat ingin makan ikan pemberian dari pemuda bernama Raja kemarin, saat ku buka tudung saji, kulihat hanya ada sebuah piring saja. Tak ada ikan sisa ku makan kemarin, aku hanya bisa melongo. Sebenarnya sudah menjadi hal biasa, kucing sangat pintar hingga bisa membuka tudung saji dan mengambil apa yang ada.

Aku harus kesungai dahulu, mandi dan mencuci. Setelah itu mencari sesuatu yang bisa dimakan untuk hari ini, selanjutnya aku harus mencari kayu bakar di sekitaran sungai. Disana banyak pepohonan, hampir mirip hutan tetapi tidak terlalu rimbun.

Aku menyusun semua baju dan piring kotor, lalu berjalan perlahan kesungai. Setibanya, aku melakukan aktifitas seperti biasanya. Namun, disela beraktifitas, aku merasa bahwa ada sesuatu yang sedang memperhatikanku. Tapi aku tidak bisa melihat apa itu, karena merasa mulai tak nyaman, aku bergegas menyelesaikan aktifitasku dan kembali naik.

Setelah berpakaian, aku berjalan dengan keranjang yang kubawa menuju sawah para warga. Saat sampai, mataku berbinar melihat ada beberapa batang kangkung yang tumbuh disekitaran sawah para warga. Dengan semangat yang membara, aku langsung memetiknya satu persatu.

Setelah merasa cukup, aku lalu membawanya pulang untuk di masak. Ya seperti biasa, aku hanya bisa memasaknya tanpa penyedap rasa dan nasi. Hanya ada garam, itupun didapat dari beberapa bulan yang lalu. Saat warga desa yang mengadakan pesta pernikahan, mba Minah datang membawa perlengkapan sisa dari acara tersebut, termasuk sebungkus besar garam.

Garam itu lah yang aku gunakan untuk membuat makanan ku setidaknya mempunyai rasa, meskipun tidak ada nasi untuk pendamping makanku.

Aku lalu memotong-motongnya dengan kulit bambu yang diruncingkan oleh salah seorang warga yang kasihan padaku karena tidak memiliki pisau untuk memotong sesuatu, setelah selesai, aku lalu memasaknya diatas kuali besi pemberian dari almarhumah nenek Atik, seorang wanita tua yang dulu tinggal tak jauh dari rumahku.

Setelah masak, aku langsung menyantapnya. Aku selalu bersyukur meski makan tidak sempurna, namun masih bisa mengisi perut. Merasakan perut yang sudah kenyang, aku lalu membawa keranjang besar untuk mencari kayu bakar. Keluar dari rumah dan menuju sungai, berjalan menuju tempat yang rimbun pepohonan tinggi dan semak belukar.

Aku berjalan perlahan menyurusi semak-semak, cukup banyak kayu-kayu dan ranting yang cukup besar. Karena disekitaran sungai, banyak sekali pohon besar, jadi rantingnya pun juga besar. Mengumpulkannya terlebih dahulu di tempat yang tidak terlalu semak, setelah banyak nanti barulah aku memasukkannya kedalam keranjang yang kubawa, kemudian membawanya naik sediki demi sedikit.

Karena hari ini cukup panas dan cuaca sangat bagus, jadi nantinya aku tidak perlu untuk menjemur nya terlebih dahulu. Aku langsung bisa memberikannya pada pak Sapri, dan aku mendapatkan makanan sebagai upahnya. Aku tidak perlu uang, hanya butuh makanan untuk menyambung hidup.

Aku sangat bersemangat karena aku mendapatkan kayu dan ranting yang lumayan, terlihat tak butuh waktu lama, aku sudah dapat segunung kayu dan ranting yang besar-besar. Dengan segera aku memasukkan ranting dan kayu yang bagian paling kecil terlebih dahulu, yang ukurannya cukup besar, akan ku bawa satu persatu nanti.

Saat mulai mengangkut, aku mendengar grasak-grusuk dari dalam semak. Seperti ada sesuatu, tapi aku tidak bisa melihatnya. Aku kembali melanjutkan perjalanan, karena hari sudah mulai siang menjelang sore. Saat aku kembali melangkah, segerombolan monyet keluar dari semak dan berlari mendekat kearahku. Salah satu dari mereka menerkamku tiba-tiba, hingga kayu-kayu yang ku bawa di pundak, berhamburan kembali.

Tangan dan pipi sebelah kiri ku terkena cakaran dari mereka, bukan cuma itu, mereka seperti bersiap-siap ingin mencabik-cabikku. Ya, memang itu hanya monyet. Tapi jika jumlahnya melebihi dari 3 ekor, itu bisa menghabisi nyawa.

"Ayu!! Kamu tidak apa-apa?"

Aku reflek menoleh kearah sumber suara, ternyata itu Raja, pemuda yang bertemu denganku kemarin. Dia mendekat, lalu memeriksa keadaan dan lukaku.

"Aku tidak apa-apa, kamu harus hati-hati karena jumlah mereka banyak sekali." Hanya itu yang bisa aku ucapkan.

Karena jika ingin melindungi pun, aku sudah terluka lebih dulu.

"Menjauhlah sedikit."

Aku sedikit mengernyitkan dahi, mau apa dia? Sudah jelas nyawanya dalam bahaya.

Kulihat Raja menatap satu persatu dari monyet itu dan tidak melakukan apa-apa, monyet-monyet itu yang awalnya terlihat buas, kemudian terlihat jinak dan menundukkan kepalanya. Aku semakin heran, apa yang dilakukan pemuda itu?

Tak lama, segerombolan monyet itu pergi dan berlari sejauh mungkin dan hilang di dalam semak-semak belukar. Setelah itu, Raja membalikkan badannya dan berjalan kearahku.

"Kamu yakin tidak apa-apa? Kamu sedang apa disini sendirian?" Ucap Raja dengan wajah cemasnya.

Aku sedikit merasa berbeda saat seorang pemuda berbicara seperti itu padaku, sejenak aku terdiam menatap lekat wajah pemuda itu. Sedangkan dia, masih dengan wajah cemasnya menatap seluruh bagian badanku yang terluka.

"Ayu, jawablah! Kamu yakin tidak apa-apa?"

"O-oh, i-iya. Aku tidak apa-apa."

Aku terkejut, lupa akan luka di tubuhku karena menatap lekat kearah pemuda yang sepertinya khawatir denganku. Ah, ada apa denganku ini.

"Lalu, apa yang kamu lakukan disini sendirian?"

"Aku mencari kayu bakar, dari kecil aku sudah terbiasa disini untuk mencari nya. Tapi ini adalah kali pertama aku mengalami kejadian ini." Jawabku, karena itu adalah kenyataannya.

Dia diam, lalu mengedarkan pandangan nya. Terlihat olehnya kayu hasil pencarianku berhamburan dimana-mana, dengan cepat dia mengambil kembali kayu-kayu itu dan memasukkannya kedalam keranjang.

"Eh, apa yang kamu lakukan?" Ucapku melihat apa yang dia lakukan.

"Sudah, kamu duduk saja. Biar aku yang bantu bawa naik."

Luka cakaran akibat dari monyet-monyet itu tidak bisa membuatku bersuara lagi, aku lalu duduk tak jauh dari pemuda itu. Menatapnya kembali dan... Ternyata aku terpesona.

Pemuda ini ternyata tampan, aku bahkan baru menyadarinya. Putih dan tinggi, serta memiliki lesung pipi yang manis. Astaga, ya ampun Ayu...

"Kamu tunggulah disini sebentar, aku akan kembali setelah membawa ini keatas."

Aku sedikit tersentak, dan mengangguk begitu saja. Menatapnya yang seperti merasa tidak membawa apa-apa di punggungnya, sedangkan aku butuh istirahat lebih dari 5x hingga sampai keatas. Dan dengan santainya, Raja harus turun naik demi membantuku membawakan kayu bakar itu.

Aku memperhatikan luka ditanganku, aku juga merasakan panas dibagian pipi sebelah kiri ku. Luka ditanganku sepertinya cukup parah, bagaimana aku harus mengobatinya. Aku meringis menahan perih, bertepatan dengan datangnya kembali Raja. Dia berjalan mendekat kearahku dan duduk disampingku.

"Lukamu cukup parah, kamu tunggulah disini sebentar. Aku akan mencari sesuatu untuk mengobati lukamu, ingat!! Jangan kemana-mana."

Aku hanya mengangguk tak menjawab, kenapa Raja sebegitu perhatiannya padaku? Dengan dia bersikap seperti itu, membuatku merasakan ada sesuatu yang berdesir.

Ternyata tak lama, Raja kembali dengan segenggam dedaunan. Dia lalu menumbuk dedaunan itu di atas batu besar di tepi sungai, setelah *****, dia membawakannya padaku. Dia sendiri yang menaruh di luka-lukaku.

"Maaf, aku akan menaruhnya dipipimu sebentar."

Dia lelaki yang sopan ternyata, aku hanya mengangguk saja dan membiarkannya mengobati lukaku dengan caranya. Saat dia menaruh ******* dedaunan itu di pipiku, jarak kami hanya beberapa senti saja. Entah kenapa, jantung terasa berdebar dengan cepat. Oh astaga, ada apa denganku.

"Sudah selesai, biarkan ini sampai malam. Paginya, basuh lah dengan air sungai ini. Mudah-mudahan bisa cepat mengering, ayo aku antar kamu naik."

Dia berdiri dan mengulurkan tangannya, tanpa di komando, tanganku meraih begitu saja tangan Raja. Dia tersenyum kearahku, tatapan nya seperti tatapan yang penuh arti. Entahlah, apa itu hanya pikiran ku saja.

"Ngomong-ngomong jika aku boleh bertanya, apakah kamu tinggal sendirian dirumah itu?" Tanyanya saat kita berjalan beriringan menuju rumahku.

Aku menoleh kearahnya, dan kembali mengalihkan pandangan kedepan sembari tersenyum.

"Ya, aku hidup sendiri sekarang. Itu dimulai saat aku berumur 9 tahun, aku pun tidak mempunyai kakak ataupun adik sama sekali. Itulah yang membuatku benar-benar hidup sendiri." Jawabku sambil tersenyum.

Dia terdiam sejenak, seperti memikirkan sesuatu. Aku tahu apa yang dia fikirkan, mungkin setelah ini dia tidak akan mau lagi bertemu denganku. Seperti halnya pemuda di desa ini, mereka semua tau latar belakangku. Sehingga, tidak satupun dari pemuda desa ini yang mau mendekatiku. Tapi, itu bukan masalah besar bagiku.

"kalau.... Keluarga, apa kamu memilikinya?"

"Tidak juga, ibu dan ayahku adalah pendatang didesa ini. Aku tidak tau mengapa bisa seperti itu, yang jelas intinya aku tidak memiliki keluarga didesa ini."

Dia mengangguk tanda mengerti, dan tersenyum kearahku. Aneh, dia terlihat seperti tidak perduli dengan apa yang aku katakan.

"Jadi jika aku datang kembali, apa kamu tidak keberatan?"

"Maksudmu?"

Kami berdua berhenti tepat di belakang rumahku.

"Ya... Aku akan kesini setiap hari, untuk sekedar berbincang dan mengobrol denganmu."

"Oh, begitu."

"Bagaimana?"

"Bisa, tetapi tentu tidak perlu berlama-lama. Aku tidak enak dengan warga desa jika melihat kita." Jawabku.

"Oh, tentu. Tentu saja,"

Aneh, dia kenapa terlihat sangat senang sekali?

"Oh ya, aku sampai lupa bertanya. Bagaimana kamu bisa menemukanku tadi?" Tanyaku sedikit heran.

"Hmm, kebetulan tadi aku berniat ingin memancing di sungai. Nah, saat aku memulai melemparkan pancing, aku mendengar seperti ada sesuatu di dalam rimbunan pepohonan. Karena penasaran, aku berjalan mencari sesuatu itu. Dan ternyata itu kamu, dengan segerombolan monyet-monyet liar."

"Lalu, bagaimana dengan monyet-monyet itu yang langsung lari begitu saja saat kamu hanya menatap mereka satu persatu? Apa yang kamu lakukan sehingga mereka sepertinya takut denganmu?" Ini sebenarnya pertanyaanku sedari tadi, tapi aku selalu saja lupa.

"Heh? Begitukah? Aku menatap mereka satu persatu karena merasa was-was saja, kalau-kalau mereka tiba-tiba menerkam. Aku juga berpikir seperti itu tadi, tapi karena sudah aman, aku tidak terlalu memikirkannya."

"Oh, begitu." Aku mengangguk tanda mengerti, masuk akal juga.

"Lalu, setelah ini apa kegiatanmu?" Raja bertanya.

"Setelah ini, aku akan mengikat ranting-ranting dan kayu yang aku dapatkan tadi. Setelah itu, aku akan membawanya ke warga desa yang akan mengadakan hajatan." Jawabku.

"Baiklah kalau begitu, aku akan membantu mengikatkannya.Tetapi aku tidak bisa untuk membantu membawakannya ke rumah warga yang menginginkan kayu bakar itu, karena aku harus segera pulang."

"Oh tidak masalah Raja, aku juga bisa mengikatkannya sendiri. Kamu pulang saja, aku tak masalah."

"Tak apa, sebelum pulang aku masih bisa menolong sedikit lagi. Berikan aku tali!"

Aku menurut saja, aku masuk kedalam dan keluar dengan membawa tali khusus untuk mengikat kayu-kayu itu. Setelah diikat, ternyata kayu hasil pencarianku tadi sangat banyak. Padahal perasaanku, aku merasa hasilnya tidak sebanyak ini. Apa mungkin aku salah perkiraan?

"Nah, sudah selesai. Aku pamit pulang dulu, besok aku akan kembali."

Ucap Raja dan tersenyum manis kepadaku, setelah itu dia berjalan meninggalkanku. Sesuatu yang aneh, kembali terjadi. Raja lagi-lagi pulang menuju kearah sungai belakang rumah. Lantas, apa yang dia lakukan disana? Bukannya dia barusan bilang, bahwa dia ingin pulang? Seharusnya dia lewat jalan sebelah kiri dari rumahku, untuk keluar dari desa ini.

Ah, mungkin saja dia masih ingin mencari ikan. Siapa tau kan?

Mataku kembali berbinar menatap kumpulan kayu-kayu bakar yang sudah di ikat oleh Raja, aku tinggal membawanya satu persatu kerumah pak Sapri. Ini pun juga tidak sulit, aku akan menggendongnya kebelakang punggungku menggunakan kain.

Dengan dedaunan yang di hancurkan Raja tadi, yang masih menempel di luka-lukaku. Aku mulai membawa satu ikat kayu-kayu tadi, rumah pak Sapri lumayan jauh dari rumahku. Saat di perjalanan, aku bertemu dengan kak Mira.

"Hey, Ayu. Dapat orderan lagi?" Candanya padaku.

Aku lalu menurunkan kayu yang ada di punggung ku itu.

"Eh, iya kak. Alhamdulilah, pak Sapri menyuruhku mencari kayu bakar untuk acaranya. Lumayan, bisa makan enak nanti." Jawabku terkekeh.

"Iya deh iya, oh ya. Tadi kakak lewat di samping rumahmu, kakak lihat kamu seperti berbicara dengan seseorang. Tapi kakak tidak bisa lihat dengan jelas, karena terhalang oleh pohon jambu disampingnya. Emang siapa yu?"

"Oh, itu. Dia Raja, pemuda dari desa sebelah."

"Pemuda? Waaah, sepertinya ada kemajuan nih."

"Kemajuan? Kemajuan apa kak?"

"Hehehe, sudah sana. Antar kayu-kayunya, pak Sapri mungkin lagi menunggu."

Aku mengerlingkan mata, kak Mira selalu seperti itu.

"Baiklah, aku lanjutin dulu ya."

"Eeeh, tunggu... Tunggu!"

Saat aku mulai melangkah, kak Mira menghentikan aku kembali.

"Iya kak?"

"Itu pipi sama tanganmu kenapa? Sepertinya luka, dan itu ada hijau-hijau, kamu kasih apa?"

"Oh, ini tadi ada insiden kecil saat mencari kayu. Ini itu dedaunan yang di beri Raja untuk mengobati lukaku, aku saja tak tau dedaunan jenis apa yang dia anggap sebagai obat itu."

Mendengar itu, dia tersenyum penuh arti sekali, aku semakin penasaran apa yang sedang kak Mira pikirkan.

"Ya sudah, sana lanjutkan." Ucapnya lalu berlalu pergi.

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, dan kembali melanjutkan kegiatanku. Sekitar hampir 8x bolak balik untuk membawa kayu-kayu hasil pencarianku, akhirnya semuanya selesai dan telah berada di rumah pak Sapri semua.

"Waaaah, Ayu. Kali ini kamu dapat banyak ya!!" Ucap pak Sapri sambil memandangi kayu-kayu itu.

"Iya pak, saya pun baru menyadarinya setelah semua kayu-kayu itu dibagi dan diikat. Hehe."

"Bagus, nanti jika acara selesai, bapak langsung kasih upahnya ya."

"Oh, baik pak baik. Biasanya kan juga seperti itu, saya pulang dulu ya pak."

Aku kembali berjalan kearah pulang, diperjalanan ternyata perutku sudah perih. Tanpa sadar, hari sudah semakin sore dan hampir menuju Maghrib. Aku harus cepat-cepat sampai rumah, dan bergegas kesungai untuk mandi.

Saat sampai rumah, aku bergegas mengambil handuk dan peralatan mandi. Berjalan menuju sungai, terlihat sungai sudah hampir gelap sempurna. Aku harus cepat-cepat, sebelum sungai benar-benar gelap. Saat sampai, aku melakukan kegiatan mandiku, disela-sela mandiku, aku lagi-lagi merasakan seperti ada sesuatu yang sedang memperhatikanku.

Tak perduli, setelah selesai aku bergegas pulang. Badanku pun tidak sempat aku keringkan, nanti saja saat tiba dirumah. Sepertinya aku sudah tidak bisa berlama-lama di sungai saat hari sudah mulai gelap.

🌷🌷🌷🌷

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!