Chapter 04

POV Raja Mahendra

Mentari sudah terbenam, semua yang kulihat di jendela besar kamarku sudah menghitam. Hanya terlihat olehku, para pengawal yang hilir mudik berjalan menjaga istana. Sebagian, para pengawal telah di bagi untuk menjaga ke sekeliling kamarku.

Sudah hampir dua jam aku berdiri di tempat ini, berdiri didepan cermin menatap kearah mana. Fikiran ku tertuju pada Ayu, sedang apakah dia saat ini? Aku benar-benar tidak bisa berisitirahat dengan tenang malam ini, semuanya tersita hanya untuk Ayu.

Cuma dua hari, dua hari bertemu dengan gadis itu. Aku telah jatuh cinta padanya, aku benar-benar gelisah. Tak sabar rasanya ingin kembali bertemu dengan dirinya, masih berdiri ditempat yang sama, hingga aku benar-benar tidak beristirahat malam ini.

Perlahan-lahan, semua yang kulihat terang, ternyata waktu cepat berlalu. Mentari kembali memperlihatkan sinarnya, aku bergegas mengganti pakaianku dan langsung keluar dari kamar. Seperti biasa, penjaga pasti akan tau kegiatanku setelah aku keluar dari kamar.

"Tetaplah disini, seperti biasa aku akan berjalan-jalan dahulu. Diam, dan jangan bilang ibu jika aku keluar istana." Ucapku tegas tanpa melihat kearah orang yang ku maksud. Meskipun, tanpa di beritahu, ibu akan tahu dengan sendirinya.

"Ba-baik, Baginda."

Aku bergegas berjalan keluar dari istana, naik keatas. Setibanya aku dipermukaan, aku langsung di sambut oleh pemandangan yang membuatku gelisah semalaman. Ya, gadis manis Ayu. Dia sepertinya sedang melakukan sesuatu, selain mandi, aku tidak tau apa yang sedang dia lakukan.

Saat sedang memperhatikan, sepertinya Ayu menyadari ada aku yang sedang memperhatikannya dari jauh. Aku bersembunyi sebentar, tak lama setelah itu dia bergegas pergi dari sungai. Aku masih berada di dalam air, memastikan apakah dia akan kembali lagi.

Ternyata benar, tak lama dia kembali lagi. Kali ini dengan sesuatu yang dia bawa. Ternyata dia ingin mencari kayu bakar, aku keluar dari dalam air dalam bentuk asap saja. Agar aku bisa leluasa memperhatikannya dengan jarak yang dekat, aku mengikuti dia dari belakang. Dia sama sekali tidak merasakan kehadiranku, kulihat dia sangat bersemangat sekali.

Aku berpikir untuk sedikit menjaga jarak saja dengannya, dia saja bisa melihat aku, bisa saja dia juga bisa merasakan kehadiranku di dekatnya. Tiba-tiba, kulihat dia berhenti dan menatap kearah semak-semak. Memang sepertinya ada sesuatu di dalam sana, kulihat Ayu bergegas membawa kayu-kayu nya itu.

Namun saat berjalan, Ayu langsung diserang oleh segerombolan monyet-monyet. Ternyata yang ada di dalam semak itu, adalah mereka. Kurang ajar, bisa-bisanya mereka menyakiti manusia yang tidak mengganggu. Aku sedikit menjauh lagi, agar nanti Ayu melihat aku tidak curiga.

"Ayu!! Kamu tidak apa-apa?" Teriakku pura-pura keluar dari semak-semak.

Dia reflek menoleh kearahku, dan menatap bingung kearahku. Aku mendekat dan memeriksa lukanya, di bagian pipi dan tangan.

"Aku tidak apa-apa, kamu harus hati-hati. Jumlah mereka, banyak sekali."

Bukannya mengkhawatirkan diri sendiri, dia malah mengingatkan aku tentang itu. Monyet-monyet itu bukanlah apa-apa, mereka pasti tau siapa aku, dan jelas mereka tidak akan berani mendekat lagi.

"Menjauhlah sedikit!" Ucapku.

Lagi-lagi Ayu menatap bingung kearahku, dan menurut lalu mundur kebalakang duduk bersandar di salah satu pohon besar. Sedangkan aku, menatap satu persatu monyet-monyet itu, bulu-bulu monyet itu luruh dan berjatuhan, sangkin takutnya denganku. Karena, tanpa Ayu sadari, aku menampakkan wajah yang membuat para monyet-monyet itu takut denganku.

"Maafkan kami, maafkan kami." Ucap monyet-monyet itu, lalu berlari berhamburan menjauh.

Aku tersenyum menyeringai, dan menetralkan kembali wajahku. Setelah itu aku membalikkan badan, sungguh khawatir dengan keadaan luka-lukanya. Cakaran yang di hasilkan oleh monyet, itu bisa mengakibatkan infeksi jika terlambat di beri obat.

"Kamu yakin tidak apa-apa? Sedang apa kamu disini sendirian?" Ucapku bernada khawatir.

Padahal aku tau dia sedang melakukan apa, tapi karena khawatir aku tidak sadar dengan apa yang aku ucapkan. Bukannya menjawab, dia malah terdiam. Sepertinya dia sedang menatapku, tapi aku hanya fokus dengan luka-lukanya. Cukup dalam, monyet-monyet itu memang keterlaluan.

"Ayu, jawablah! Apa kamu yakin tidak apa-apa?"

Merasa tidak dijawab, aku mengulang kata-kataku kembali. Dia sedikit terperanjat mendengarnya.

"O-oh, i-iya. Aku tidak apa-apa." Jawabnya gelagapan.

"Lalu, apa yang sedang kamu lakukan sendirian disini?"

"Aku mencari kayu bakar, dari kecil aku sudah terbiasa mencarinya disini. Tapi ini adalah kali pertama aku mengalami kejadian ini." Jawabnya lagi sambil menatap lukanya.

Aku mengangguk, lalu mengedarkan pandangan kearah kayu-kayu Ayu yang berserakan dimana-mana. Terlihat juga, tak jauh disana seonggok kayu yang sebelumnya sudah di kumpulkan oleh Ayu sendiri.

Aku lalu mengumpulkan kayu-kayu yang berserakan itu, dan menaruhnya kedalam keranjang.

"Eh, apa yang kamu lakukan?" Ucapnya, lalu tangannya ingin mencegahku.

"Sudah, kamu duduk saja. Biar aku bantu bawa naik."

Dia diam, dan menurut saja. Yang jelas, dia sedang menahan sakit.

"Kamu tunggulah disini sebentar, aku akan kembali setelah membawa semua kayu-kayunya keatas." Ucapku lagi dan dia hanya menurut.

Aku lalu mengangkut keranjang pertama, memikulnya di punggung dan membawanya naik. Tentu saja aku tidak merasakan lelah, dan keberatan. Aku bahkan merasa sedang membawa kapas, disela perjalanan menuju rumah Ayu, aku menambah kayu-kayu Ayu. Mungkin jika banyak, hasil yang di dapatnya pun juga banyak.

Tentu bukan tanganku yang memungut kayu-kayu itu, melainkan kayu-kayu itulah yang masuk dengan sendirinya kedalam keranjang ku. Setelah sampai di belakang rumah Ayu, aku mengeluarkan kayu-kayu itu dari keranjang. Lalu, turun kembali untuk menjemput sisa kayu-kayu yang lain.

Hal yang sama aku lakukan hingga semuanya selesai, aku menambah kayu-kayu itu di sepanjang aku bolak-balik. Aku senang melakukannya, dan sepertinya Ayu tidak akan mengetahui bahwa kayu-kayunya bertambah banyak.

Setelah keranjang terakhir sudah kuletakkan di tumpukkan belakang rumah Ayu, aku lantas kembali kebawa menuju ketempat posisi Ayu. Aku teringat akan lukanya, dan melayang agar bisa cepat sampai. Setelah sampai, aku langsung duduk di sampingnya dan memperhatikan lukanya. Tiba-tiba saja, aku teringat sesuatu.

"Lukamu cukup parah, kamu tunggulah disini sebentar. Aku akan mencari sesuatu untuk mengobati lukamu itu, ingat!! Jangan kemana-mana." Ucapku, dia lagi-lagi hanya mengangguk dan mulai meringis menahan perih di lukanya.

Aku berjalan menjauh dari Ayu, teringat olehku daun langka yang bernama Arti. Daun itu adalah daun untuk mengobati berbagai jenis penyakit dan luka-luka. Banyak manusia mencari-cari keberadaan daun itu, tapi karena letaknya hanya di dasar sungai yaitu di duniaku, belum ada satu manusiapun bisa mendapatkannya.

Tidak butuh waktu lama, dan aku tidak butuh masuk kedalam air untuk mengambilnya sendiri. Daun itu sendirilah yang datang menghampiriku, setelah itu aku kembali menghampiri Ayu. Sebelum itu, aku harus menumbuknya di atas batu terlebih dahulu agar mudah menempel di lukanya.

Setelah selesai, aku mendekat kearah Ayu dan mulai menaruhnya di luka bagian tangannya. Lalu kemudian di bagian pipinya.

"Maaf, aku akan menaruhnya di pipimu sebentar." Ucapku lembut.

Oh astaga, jarak kami begitu dekat. Bahkan sangat dekat sehingga kami mampu mendengar suara detak jantung satu sama lain.

"Sudah selesai, biarkan ini sampai malam. Paginya, basuhlah dengan air di sungai ini. Mudah-mudahan, akan cepat mengering lukamu. Ayo, biar aku antar naik."

Aku lalu berdiri dan mengulurkan tanganku, Ayu mengangkat kepalanya dan meraih tanganku.

"Ngomong-ngomong, jika aku boleh tau apa kamu hidup dan tinggal sendiri di desa ini?" Tanyaku saat berjalan beriringan dengannya.

Dia langsung menoleh melihat kearahku, dan sekejab kembali menatap kearah lain sambil tersenyum.

"Ya, aku hidup sendiri di desa ini dimulai saat aku berumur 9tahun. Aku yatim piatu, kakak atau adik pun tak punya. Apalagi saudara, atau keluarga. Ayah dan ibuku adalah pendatang di desa ini, itu sebabnya aku tidak memiliki keluarga." Jawabnya dengan santai.

Aku menatap nya sebentar, meskipun begitu dia masih tetap ceria untuk menceritakan semuanya. Aku mengangguk tanda mengerti, tapi dia menatapku kembali dengan tatapan bingung.

"Jadi, jika aku datang kembali apa kamu akan keberatan?" Ucapku.

"Maksudmu?"

Langkah kami seketika berhenti tepat di belakang rumahnya.

"Ya.... Aku akan datang setiap hari, untuk bertemu denganmu dan berbincang-bincang."

"Oh, begitu."

"Bagaimana?"

"Bisa, tetapi tentu tidak perlu berlama-lama. Aku tidak enak dengan warga desa yang melihat kita."

"Oh tentu, tentu saja." Dalam hati aku bersorak gembira, aku mendapatkan kesempatan setiap hari untuk bertemu dengannya.

Kami kembali melanjutkan perjalanan, tiba-tiba langkah Ayu kembali terhenti. Dia menanyakan tentang kenapa monyet-monyet itu tiba-tiba pergi dan lari ketakutan masuk kedalam semak-semak, sedangkan aku tidak melakukan apa-apa selain menatap mata mereka satu persatu.

Aku terdiam sejenak, dan terlintas di fikiranku untuk menjawab pertanyaan nya dengan masuk akal. Setelah mendengar jawabanku, akhirnya dia percaya begitu saja. Gadis itu penuh dengan keingin tahuan rupanya.

"Lalu, setelah ini apa kegiatanmu?" Tanyaku.

"Setelah ini, aku akan membagi dan mengikat semuanya. Setelah itu, akan aku bawa ke rumah warga desa yang menginginkannya."

Rumah warga desa? Aku tidak bisa ikut dengannya sampai kesana.

"Baiklah, aku akan membantu mengikatkannya. Tapi, aku tidak bisa membantu membawakannya ke rumah warga itu. Aku harus segera pulang." Ucapku.

"Oh, tak masalah Raja. Aku bisa mengikatnya sendiri, kamu bisa pulang."

"Tak apa, sebelum pulang aku masih bisa menolong sedikit lagi. Berikan aku tali!"

Ayu tertegun sejenak, dan berjalan memasuki rumahnya. Tak lama, dia keluar membawakan tali khusus.

"Nah, sudah selesai. Aku akan pulang, besok aku akan kembali lagi." Ucapku, lalu berjalan meninggalkannya.

Sebenarnya, aku masih belum ingin kembali. Tapi, mendengar dia akan kerumah warga, aku merasa aku harus pergi. Akan apa jadinya, jika aku juga ikut dengannya kesana.

Sesampainya di istana, lagi-lagi ibu menungguku di depan gerbang istana. Tapi, kali ini wajahnya berbeda. Dia menatapku datar, dan tanpa berkedip menatap kearahku.

"Raja!! Harus seperti apa lagi ibu memperingatkanmu!!"

Langkahku terhenti ketika dua langkah telah melewatinya, dengan santainya aku berbalik kebelakang dan menatap punggung ibu.

"Apa maksud ibu?"

"Tidak usah berpura-pura, ibu tau kau bertemu dengan gadis manusia itu lagi bukan? Ada apa denganmu? Jika kau ingin menikah, ibu bisa mencarikan gadis sebangsa kita untuk kau nikahi!!"

Aku terdiam sejenak, dari nada bicara ibu, sepertinya dia sedang marah. Karena, jika dia sudah memanggilku dengan perkataan 'kau', itu tandanya dia sedang marah.

Aku menambah langkahku selangkah lagi agar aku bisa lebih dekat dengannya.

"Jika aku katakan bahwa aku hanya mencintai gadis manusia itu, lalu apa yang akan ibu lakukan?"

Seketika, ibu berbalik dan menatap tajam kearah mataku.

"Raja!! Dia bukan sebangsa kita, ibu takut jika sesuatu akan terjadi. Dan bagaimana jika gadis itu tau siapa kau sebenarnya??"

"Bu, lebih baik diam dan dukung apa yang aku inginkan. Jikapun akan terjadi sesuatu, itu akan terjadi pada diriku, bukan pada diri ibu. Jika ibu masih saja menghalangiku, percayalah, istana ini tidak akan ada lagi Raja yang duduk di singgasana."

Ibu seketika terdiam, dengan mata yang masih menatap lekat kearahku. Sedangkan aku, mulai kembali melangkahkan kaki meninggalkannya dan menuju kamarku.

🌷🌷🌷

Terpopuler

Comments

Euis Nina

Euis Nina

mungkin raja sebangsa jin yach 🤔kalo. di dunia nyata

2022-07-03

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!