Mega bersenandung duduk di kursi kelas yang sudah kosong. Tangannya mengetuk-ngetuk meja seirama dengan senandungnya.
Suasana kelas yang sepi dan tenang
"Mega!" seru seseorang dari ambang pintu, aktifitas Saman terhenti menoleh ke arah pintu. Senyum simpul terukir indah di wajah Mega, orang yang ia tunggu akhirnya muncul juga.
"Ngapa lu disini?" tanya Zian mendekat.
"Ada perlu lah, makanya gue disini," jawab Mega bergeser memberi ruang untuk Zian duduk.
"Ada perlu apa?" tanya Zian penasaran, duduk didekat Noval.
"Ada berita baru tak?"
Alis Zian terangkat sebelah, "Berita baru? Berita kampus?" Mega mengangguk, "Ngapain nanya gue, noh tanya ke pusat informasi."
Mega menatap datar, jujur dia juga yang salah menanyakan pertanyaan. Mega memijit kening.
"Lu sakit?"
"Enggak, mumet aja."
"Ye, sama aja!"
Mega terkekeh, Zian memperhatikan Mega. Sadar dirinya diperhatikan Mega melirik.
"Ngapa lu liat gue gitu? Naksir baru tau lu," tegur Mega membuyarkan lamunan Zian.
"Idiih, amit amit cabang bayi gue naksir lu, sorry ye daripada gue naksir lu lebih baik gue naksir sama pohon," celetuk Zian.
Mega terkekeh, "Terus ngapa lu liat gue kek gitu?"
"Ya, itu..."
"Itu apa?"
"L..lu b..benar sakit?" tanya Zian ragu, menggaruk punggung lehernya, "K..kalau lu b..benar sakit, mending lu pulang istirahat terus minum obat."
Mega tersenyum simpul, menopang pipi, "Ngapa lu tiba-tiba perhatian?"
Zian salah tingkah, menggaruk kepala yang tidak gatal.
"Ya... Gue gak mau lu bernasib sama kek gue," kata Zian pelan.
"Gue gak sakit, lagian yang sedang sakit kan elu."
Zian menatap Mega dari tatapannya seakan bertanya, dari mana tahu?
"Gue liat lu lari terbirit-birit cari toilet."
Zian menyengir, jujur saja berapa hari ini dia sering makan terlambat kadang mang kambuh dan kalau makan tak tahu batas lagi semua yang didepan mata masuk ke mulut, ditambah makan masakan temennya yang baru belajar masak makanya dia mules membelit sampai kelas tertinggal.
Hening sesaat.
" lu tau?" Zian memulai pembicaraan lagi, "Anak buah gue gak sengaja liat lu dan arzan *****," kata Zian membuat Mega melotot terpatah-patah menoleh kearahnya.
"lu tahu?"
Zian mengangguk, Mega mengumpat mengusap wajahnya kasar. dia benar benar bingung mau bicara apa sekarang.
"Lu bisa cerita dengan gue jika anak itu menganggu elu."
Mega melirik Zian yang terlihat kalem ditengah pancaran cahaya matahari di sore hari. Mega mengepal erat tangannya, dia benar-benar tidak tahu harus berkata apa untuk situasi ini
Zian melirik Mega, tawanya buyar lihat ekspresi Mega yang beda dari sebelumnya yang santai kini kelihatan suram.
"Lu gak mau cerita ya udah, gue gak maksa. mungkin ini masalah pribadi elu dengan dia. lagian tenang saja mulut saksi sudah gue tutup nanti, rumor buruk tentang elu gak akan nyebar." Zian menenangkan Mega.
"lu bisa diandalkan." Mega tersenyum. wajah Zian merona melihat senyum di wajah Mega, rasa senang menjual dalam tubuhnya.
"Eh, elu gak pulang?" tanya Mega, "Aduh, gue lupa ada urusan. Lu mau pulang sama gue?" Mega menyambar tasnya.
"Gak gue pulang sendiri aja."
"Oh ya udah, gue cabut dulu. Bay." Mega berlari keluar sambil melambaikan tangan.
Zian tersenyum membalas lambaian, seketika senyuman itu luntur.
BRAAK...
Zian membentak meja.
"Sialan," umpatnya, beranjak dari duduk. Kedua tangannya ia masukkan ke kantong celana, berjalan keluar kelas.
trit...
pesan masuk di ponsel Zian, segera Zian buka pesan masuk. ketika ia membaca pesan segera ia bergegas menu lokasi di pesan.
***
buk...
Zian menghajar kacungnya yang ketahuan menyebarkan berita tersebut, padahal sudah diperingati namun malah diingkari, ya hasilnya kena hajar babak belur.
"Uhuk." batuk si cowok dengan mulut berlumur darah, wajahnya biru lebam bekas bogem dan darah segar mengalir mengikuti lekuk wajahnya.
"A..a..am..ampun B..bos," pinta si cowok dengan suara yang gemetar, seluruh tubuhnya gemetar.
"DIRI LU!" perintah Zian dengan nafas memburu.
Dia mencoba bangkit dengan gemetar, hampir saja ia tersungkur jika pas ingin bangkit.
"A..ampun B..bos, s..saya t..tak buat l..lagi," pintanya mengharap belas kasih dari Zian, "S..saya Jan..ji."
Zian menghela nafas kasar, "Mendekat lu," perintahnya.
Dia mendekat dengan langkah yang hati-hati. Tubuhnya semakin gemetar, ketika dekat dengan Zian.
"Gue ingatin sekali lagi, jangan menyebarkan berita itu. Jika elu ketahuan lagi." Tangan Zian mengepal erat.
"GUE BUNUH LU!"
BUUUK...
UHUK...
Tanpa belas kasih Zian melayangkan bogemnya ke perut dia.
UHUK...
Kedua tangannya meremas perutnya, terduduk di lantai.
Kacung Zian yang lain meneguk liur ngeri, mereka hanya menonton di pojok pintu, tak ada satupun yang berani membantu.
Tora meludahi dia, berbalik badan, "Bereskan!" perintah Tora pada kacungnya yang lain, tanpa disuruh dua kali mereka cepat melaksanakan tugas.
Langkah Tora panjang meninggalkan markasnya, sebelum pergi ia memberi perintah pada bawahan kepercayaannya.
"..."
"Baik bos." Zian dapat anggukan dari bawahan kepercayaannya itu.
***
"... Hah, ya gitulah, Van. Gue gak dapat kabar dari dia, seminggu dia ngilang."
Arroy curhat dengan Rivan yang duduk di kasir sedangkan ia menyusun menghitung barang-barang.
"Hem, kau ada bertengkar dengan dia?" tanya Rivan.
"Tak ada, selama ni baik-baik saja tak ada pertengkaran..."
Rivan hanya ber-oh pelan, manggut-manggut melihat ponselnya.
Ekspresinya nampak sedih saat pesan yang ditunggu tak muncul.
"Pacarnya pergi mas?" tanya pelanggan yang keliling-keliling memilih barang.
"Begitulah, Mbak."
Saat mereka berdua asik berbicara pintu minimarket terbuka, seorang pelanggan dengan topi hitam dan masker datang mendekati Rivan.
"Selamat datang, Mas. Mau beli apa?" tanya Rivan ramah.
Si pelanggan tidak menjawab, matanya menjelajah seluruh barang yang dipajang.
"Mau beli apa mas?" tanya Rivan sekali lagi, namun tetap saja tak direspon.
Rivan diam, mulai curiga jangan-jangan maling. Rivan mulai berprasangka buruk.
Pelanggan itu mendekati Rivan, tangan Rivan sudah siap mau menekan tombol darurat yang ada di bawah meja, dan di dalam laci meja ada senjata yang disediakan pemilik minimarket, semprotan cabai.
Rivan melirik Arroyo yang masih asik mengobrol, jarak mereka juga makin jauh. Arroy tak menyadari posisi Rivan sekarang, itu anak mungkin gak bakal tau apa yang terjadi dengan Rivan, mau mati kah temannya di sana gak bakal tau.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya Rivan mencoba ramah.
Wajah pelanggan itu mendekat, "Ada jual alat tes pack?" tanyanya pelan.
Seketika Rivan bungkam, rohnya mau keluar gara-gara takut. Dikira mau merampok ternyata malah mau beli alat tes pack.
"Ada gak?" tanyanya lagi.
Rivan mengangguk, ia paham kenapa dia harus mengendap-endap. Rivan mengambilkan barangnya tanpa banyak tanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments