Setelah makan bersama Vincent dan Marion, Ashley kembali ke kamarnya namun Bellena masih belum juga kembali. Ashley mulai khawatir jika terjadi sesuatu terhadap anak lemah itu. Bukan karena peduli tentu saja, tapi karena Bellena adalah satu-satunya sumber informasi yang mengetahui tentang siapa dirinya dan apa yang harus ia lakukan agar bisa kembali.
Sempat terbesit di kepalanya jika Bellena melarikan diri, namun ia yakin Bellena tidak sebodoh itu. Atau mungkin, kebodohan Bellena adalah tidak melarikan diri?
Saat Ashley tengah sibuk memikirkan apakah ia harus mencari Bellena atau menunggu sedikit lebih lama, seseorang mengetuk pintu kamarnya.
"Nona Ashelia, Nyonya ingin bertemu dengan Anda."
Ashley kira orang yang mengetuk pintu itu adalah Bellena, tapi ternyata ia adalah pelayan lain yang menyampaikan pesan dari satu-satunya Nyonya Midgraff saat ini.
Ashley mengabaikannya sesaat, membiarkannya berdiri di depan pintu beberapa menit sebelum akhirnya keluar. Pelayan itu bahkan tidak berani memanggil nonanya dua kali. Ia sedang semikirkan alasan untuk diberikan kepada Marion saat Ashley membuka pintu kamarnya.
Awalnya memang Ashley berniat tidak menghiraukannya, namun mengetahui orang yang ia anggap bukan siapa-siapa itu berani memanggilnya, sedikit melukai harga dirinya. Keluarlah wanita kasar itu dari tempat peristirahatannya untuk menyapa sang ibu tiri secara langsung.
Ashley memang menjadi sangat tunduk saat berada di depan Vincent. Ia tidak terlihat segarang saat ia sendirian. Mungkin itu yang membuat Marion tidak merasakan ancaman apapun. Namun, sejak kapan Ashley menjadi anak yang patuh? Sebesar itulah pengaruh Vincent bagi wanita itu.
Bukan, sebesar itulah pengaruh papanya.
Dipandu oleh pelayan di depannya, Ashley berjalan, masih bertelanjang kaki, menuju tempat dimana Marion berada. Mereka berjalan dan terus berjalan menyusuri lorong-lorong yang belum pernah Ashley lewati, menuruni tangga satu dan yang lain. Tanpa mengetahui lokasi yang ia tuju, perjalanan itu terasa sangat lama, seakan ia tengah dipermainkan oleh pelayan yang memandunya.
Ashley tiba-tiba berhenti, sesaat setelah menuruni tangga, memasuki lorong dengan pencahayaan minim.
"Heh sialan, lo mau mati?"
"Ah! Ampun, Nona! Saya cuma diminta memanggil Anda ke ruang penyimpanan anggur!"
Pelayan itu langsung bersujud di depan Ashley dan tidak berani mengangkat kepalanya sebelum Ashley mengijinkannya.
Anggur? Ashley kembali berpikir. Tak lama kemudian ia tersenyum, mengingat rasa anggur yang mereka sediakan saat makan malam. Tidak ada salahnya menemui ibu tirinya dan kembali dengan sebotol anggur, kan?
"Mana Marion?"
"Ny-nyonya ada di sana menunggu Anda." Jawab pelayan itu menengok kebelakang masih dalam posisi bersimpuh.
Sebuah pintu di ujung lorong gelap itu telah menantinya. Karena ruangan yang ia tuju sudah ada di depan mereka, Ashley meminta pelayan itu untuk kembali, meninggalkannya melanjutkan perjalanan itu sendirian.
Diraihnya gagang pintu itu. Ada jeda yang tercipta sebelum Ashley membukanya. Perasaan familiar yang sudah beberapa kali ia rasakan. Perasaan saat seseorang tengah menunggu dan mengawasinya dari balik pintu.
Ashley tidak tahu bagaimana adat di dunia barunya. Ia tidak tahu apakah normal bagi seseorang menemui orang lain di ruang penyimpanan anggur. Namun, ia merasakan hal aneh setelah memasuki lorong itu.
Semakin dekat ia dengan pintu, semakin dadanya terasa sesak dan tangannya gemetar.
Suhu di sana memang dingin, tapi tidak sedingin itu hingga mampu membuat seseorang menggigil. Lalu perasaan apa yang dirasakan Ashley?
Ia sangat tidak menyukai perasaan yang ia rasakan saat itu. Khawatir, gelisah, dan rasa ingin melarikan diri. Perasaan ini telah lama tidak dirasakan Ashley lagi. Bukan insting, Ashley paham betul dari mana semua perasaan itu muncul.
Memori tubuh Ashelia.
Hal itu justru membuat wanita tanpa rasa takut tersebut semakin ingin masuk. Dibukalah pintu itu, menampakan rak-rak kayu dengan ratusan, mungkin ribuan botol anggur terjajar rapi di dalam ruangan gelap itu. Minimnya pencahayaan di sana mengingatkan Ashley dengan tower pemanggilan, ingatan yang sekilas membuatnya kesal.
Ashley berjalan masuk melewati deretan botol anggur yang ditata berdasar jenis dan tahunnya. Senyum di bibirnya mengembang melirik botol-botol itu.
Karena gelap, ia tidak dapat membaca tulisan-tulisan yang ada disana, tapi setidaknya anggur-anggur itu pasti sudah lebih dari setahun kan? Lebih bagus lagi jika ia menemukan yang usianya 20 sampai 30 tahun.
Sejenak, Ashley telah melupakan perasaan tidak nyaman yang ditimbulkan oleh memori Ashelia. Namun ia mengingatnya lagi saat tangan gemetarannya mencoba meraih satu botol anggur.
Memikirkan bahwa dirinya sampai gemetar saja sudah membuatnya kesal, kini tangannya yang tidak stabil itu berada di depannya, mencoba mengambil botol anggurnya. Ditangkapnya pergelangan tangannya sendiri, seakan ia tengah dikendalikan oleh orang lain.
Ia menoleh ke arah ujung rak-rak itu, tempat dimana, mungkin, Marion sudah menunggunya. Dengan wajah serius, wanita itu melanjutkan langkah kakinya menghampiri ibu tiri Ashelia yang mungkin mengetahui alasan ketakutan tubuhnya.
Sampailah ia di ujung ruangan. Tempat itu cukup luas namun seperti sengaja dikosongkan.
Ashley mendekat ke dinding, mengecek goresan-goresan yang ada disana, tanda bahwa sebelumnya, di tempatnya berdiri bukanlah ruang kosong seperti yang ia lihat saat ini.
Lalu tiba-tiba,
Ctas!
Ashley dikejutkan dengan cambukan keras di punggungnya. Ia kemudian menengok ke belakang dengan cepat, mencari tahu siapa dalangnya. Namun, sebelum sempat melihat orang yang ada di depannya, cambukan yang lain tengah mengarah ke wajah Ashley.
Ashley menghalaunya dengan lengan kanannya, membiarkan cambuk itu merobek kain tipis di lengannya dan meninggalkan rasa perih di kulit hingga belakangan pundak.
Setelah itu, cambukan ketiga kembali datang tanpa memberinya ruang untuk menghindar. Ashley menghalaunya lagi dengan tangan kanannya, namun kali ini ia juga memutar tangannya untuk membatasi gerak tali itu dan menangkapnya.
Digenggamnya erat tali tambang berserat itu dan ditariknya kuat, membuat orang yang memegangnya hampir terjerembab ke depan. Saat orang itu berada dalam jangkauannya, Ashley langsung memukulnya dengan keras menggunakan tangan kirinya.
Hanya dengan sekali pukul, bahkan menggunakan tangan kiri lemah milik Ashelia, orang itu jatuh ke lantai. Wanita di depan Ashley memasang wajah terkejut sambil memegangi pipinya. Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari bibir kedua wanita tersebut. Mereka hanya diam saling menatap dengan napas terengah.
Gemetar pada tubuh Ashley menguat seiring dengan napasnya yang memendek. Ia sangat ingin menghajar Marion yang berani menyerangnya, namun tubuh Ashelia saat itu sangat tidak mendukung.
Rasanya tenaga Ashley semakin terkuras, dan tubuhnya sulit digerakan. Bahkan setelah ia memukul ibu tirinya dengan sekuat tenaga, trauma Ashelia masih melekat kuat. Ashley menyadari sesuatu.
Sambil membawa cambuk yang masih melilit di tangannya, meninggalkan Marion di sana, Ashley berjalan keluar mencari cermin. Langkahnya terasa sulit, ia hampir terjatuh beberapa kali karena kakinya tidak mendengarkan perintahnya dengan baik.
Saat ia melihat cermin yang cukup besar di lorong menuju aula masuk, Ashley langsung membuka pakaiannya. Tanpa memikirkan hal lain, ia melepas semua kain yang menutupi badannya kecuali perban yang membalut kakinya.
Seperti yang ia tahu, tidak ada bekas luka di tubuh bagian depannya. Namun saat membalikkan badannya, sama seperti dugaannya, Ashley dapat melihat dengan jelas punggungnya dipenuhi dengan bekas luka cambukan.
"Cewe gila."
Di lorong yang sepi itu, Ashley menatap ke dalam dirinya yang ada di dalam cermin.
Seorang putri bangsawan yang ditinggal mati ibunya. Kemudian ayahnya yang baik hati menikahi wanita jahat yang diam-diam selalu menyiksanya. Ia merasa sedang menggantikan posisi Ashelia yang hidupnya seperti Cinderella.
Ashley ingat, Bellena memang mengatakan bahwa kemungkinan Ashelia tidak menyukai ibu tirinya. Ashley pikir itu hanya sikap defensif Ashelia yang tidak ingin menerima kehadiran orang baru di rumahnya.
Nyatanya, rasa tidak suka itu dikarenakan siksaan dari ibu tiri Ashelia yang dilakukan kepadanya.
Melihat sikap Marion yang tidak pernah berulah saat di depan Vincent, membuat Ashley berpikir jika Marion selalu melakukannya tanpa sepengetahuan ayah Ashelia. Bahkan saat Ashley melakukan beberapa penghinaan seperti mengabaikan dan menempati kursinya, Marion seolah tidak mempermasalahkannya.
Tolong saya.
Suara Ashelia terngiang di kepala Ashley.
Suranya sangat penuh dengan keputus-asaan, seakan tidak ada jalan keluar lagi di hidupnya.
Benar, ia diremehkan orang-orang di sekitarnya. Benar, banyak luka cambukan di punggungnya tanda penyiksaan ibu tirinya. Benar, ia kehilangan satu kakinya. Namun, apakah benar tidak ada jalan keluar lain?
Memang ayahnya tidak mempercayakan apapun kepadanya, tapi, bukankah ayahnya adalah orang yang baik, ramah, dan penyabar? Mungkin ayahnya hanya 'belum' bisa mempercayakan semuanya kepada Ashelia.
Bukankah itu berarti ia masih punya jalan keluar?
Apakah karena saat Ashelia melaporkan perilaku Marion kepada ayahnya, ayahnya tidak percaya?
Ashley teringat akan sikap Marion yang begitu anggun dan lemah lembut di depan Vincent. Tatapan Ashley berubah menjadi tatapan malas saat mengingat kemunafikan wanita itu. Tidak heran jika Vincent tidak mempercayai ucapan Ashelia.
Sedikit teralihkan dari topik, Ashley ingat ia menganggap dirinya seperti Cinderella, namun di sini Vincent masih hidup dan keadaannya pun sangat sehat.
"Belom jadi Cinderella, kan?"
Celotehnya menertawakan nasibnya sendiri, masih belum mengenakan bajunya sambil duduk bersila di depan cermin.
Meski Vincent tidak bisa membantu putrinya, tetap saja, apakah siksaan dari ibu tirinya cukup untuk membuat Ashelia begitu putus asa?
Usia Ashelia bukan lagi anak-anak yang tidak berani menolak atau tidak bisa membedakan mana yang benar dan salah. Kedatangan ibu tirinya juga tidak selama itu hingga menaruh pengaruh yang sangat besar di dalam dirinya.
Berbeda memang, jika Ashley yang menjadi ibu tirinya.
Namun melihat ekspresi Marion saat Ashley memukulnya, ia tidak percaya karakter Marion bisa begitu berpengaruh hingga mampu memojokan Ashelia.
Ashley tidak paham lagi. Mungkin karena terbiasa dipukuli ayahnya sejak kecil, ia tidak merasa hal itu cukup untuk membuat seseorang merasa putus asa.
Tentu Ashley pernah merasakan keputus-asaan, dan berpikiran mungkin lebih baik jika ia mati, namun itu terjadi saat ia kecil.
Seiring berjalannya waktu Ashley memahami bahwa kekuatan itu penting, mental maupun fisik. Hal itu pun membuatnya tumbuh menjadi pribadi yang kuat, tak kenal takut, dan penuh kharisma. Ia bersyukur ia tumbuh dan dibesarkan di keluarga Miller, meski orang lain akan merasakan yang sebaliknya.
Terlepas dari semua masa lalu Ashley, kini ia harus membunuh Marion. Jika benar Marion adalah target Ashelia, maka ia bisa kembali. Namun jika Marion bukanlah targetnya, ia harus membersihkan jejak perbuatannya sebelum kembali mencari target yang sebenarnya.
Membunuh Marion yang terlihat seperti wanita biasa bukanlah hal sulit bagi Ashley. Permasalahannya sekarang, bagaimana cara membunuh Marion tanpa jejak? Bukankah membunuh istri pejabat baik hati sama saja dengan menjadi musuh masyarakat? Ditambah, menjadi seorang kriminal terkenal hanya akan menghambat kelangsungan misinya.
Ashley menghela napas panjang. Ia tidak suka hal-hal yang merepotkan seperti perencanaan panjang. Meski terkadang ia terpaksa harus melakukannya, namun jika memungkinkan, ia akan memilih cara frontal, langsung menggunakan kedua tangannya sendiri.
"Lo mati sendiri aja bisa ga si?"
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments