Berniat mencari kereta yang lebih layak dinaiki, Ashley dan Bellena pergi begitu saja meninggalkan si kusir dan kereta kudanya.
Suasana hati Ashley sedang tidak baik. Mengetahui hal itu, Bellena berusaha sebaik mungkin tidak melakukan kesalahan.
Ia pikir Ashley hanya ingin cepat kembali ke kediaman Ashelia, sehingga ia langsung memesan kereta pertama yang ia temui. Beruntung Ashley hanya merespon dengan ucapan, tidak lebih.
Sayangnya,
"Hey!" Panggil si kusir.
ada orang yang tidak terima dengan respon Ashley.
Bellena mencoba membujuk Ashley untuk mengabaikan pria itu saat wanita dengan budi pekerti rendah itu hendak menengok ke belakang.
"Pikirmu keretaku rongsokan? Bicara seenak ******. Tidak tahu diri. Ada yang mau sudah bagus."
Bellena terlihat panik, usahanya membujuk Ashley hampir berhasil namun langsung gagal karena pemilik kereta. Bukan salahnya, memang Ashley yang memulai duluan. Namun, bukan itu permasalahannya.
"Baju compang camping mau cari kereta mahal? Kau dapat itu baju di tempat sampah? Pura-pura jadi bangsawan untuk nipu?" Lanjut pria itu.
Ashley menundukan kepalanya, mengecek penampilannya yang sangat tidak karuan.
Pakaian mereka memang kotor penuh tanah. Beberapa bagian juga robek karena tersangkut ranting dan duri-duri. Bagian bawah gaun mereka basah karena air di rumput dan semak, membuat noda lebih mudah menempel. Ashley bahkan tidak memakai alas kaki. Rambut kedua gadis itu juga acak-acakan. Apalagi Bellena memiliki beberapa memar di wajahnya.
Terlepas seperti apapun penampilan Ashley, tidak pernah ada yang berani berkomentar buruk. Karena mereka tahu, memancing amarah sang 'Dewi Kehancuran' sangatlah beresiko.
Ashley tertawa.
Ingatan Bellena kembali ke saat ia pertama kali melihat senyum amarah Ashley. Bulu kuduknya berdiri.
Dibanding saat itu, suasana hati Ashley saat ini sudah cukup buruk semenjak Bellena menyebutkan nama keluarga kerajaan. Bahkan ia tidak berani menengok ke belakang selama menuruni gunung sejak itu. Seakan ia akan melihat sesuatu yang sebaiknya tidak pernah ia tahu.
"N-Nona, Anda tidak boleh membuat keributan didepan publik!"
"Baj*ngan."
Ashley sama sekali tidak menghiraukan perkataan Bellena. Ia berbalik, dan melihat sebuah sepatu melayang mengenai wajah laki-laki itu.
Detik berikutnya, Bellena berlari melewati Ashley dari belakang menuju ke arah kusir yang terlihat marah karena terkena lemparan sepatu darinya. Sesampainya di kursi depan kereta itu, Bellena menarik kerah laki-laki itu dan menamparnya beberapa kali.
Amarah Ashley mereda melihat tingkah laku Bellena yang tidak wajar tersebut.
Bellena bukanlah anak yang pemberani seperti itu. Ia lebih suka menghindari hal-hal sulit. Namun saat ini, ada orang yang lebih ia takuti daripada laki-laki paruh baya itu di sana. Dan lagi, jika tidak bisa menghentikan Ashley sekarang, hal yang lebih sulit dari sulit akan terjadi.
"Ngapain kau-"
"Diam kalau kau ingin dirimu, keretamu, dan pekerjaanmu selamat. Diam kalau kau masih ingin keluargamu bisa makan." Ucap Bellena sambil membungkam mulut laki-laki itu dengan tangan kirinya.
"Orang yang tidak tahu apa-apa sepertimu hampir saja membuat orang lain mati."
Laki-laki yang kebingungan itu hendak melepaskan tangan Bellena dari wajahnya namun mengurungkan niatnya. Bukan karena ia takut, namun setelah melihat memar di wajah Bellena dan memikirkan kalimat yang baru saja gadis itu ucapkan, ia memahami posisi Bellena dan merasa iba terhadapnya.
Melihat sikap kooperatif laki-laki itu, Bellena melepaskan tangannya. Ia mengambil napas dalam-dalam dan kembali ke sisi nonanya yang tidak sabaran.
"Malang kali, punya majikan macam itu." Ucap laki-laki itu menggelengkan kepalanya sambil melihat mereka pergi mencari kereta baru.
Tidak memerlukan waktu lama, mereka telah mendapatkan kereta baru yang layak ditunggangi dan cukup mahal. Mereka berdua pun kembali ke kediaman Ashelia.
Bellena merasa sangat lega. Ia merasa ia telah menyelamatkan dirinya, sekaligus orang lain dari bencana yang mungkin bisa terjadi. Namun karena ketegangan tiada henti yang ia rasakan, ia lupa tentang keadaan di rumah Ashelia. Ia lupa bahwa masih ada kendala lain yang akan memicu amarah Ashley.
Dalam pikiran Bellena, ia hanya perlu menahan diri hingga mereka tiba di kediaman, kemudian mengajukan pengunduran diri agar kelak bisa terlepas dari tuduhan saat Ashley kembali ke dunianya. Ia terlihat lebih bersemangat karena berpikir bahwa penderitaannya akan segera berakhir.
Ia lupa, Ashley tidak mungkin membiarkannya pergi begitu saja. Terlebih lagi, ia belum bisa membuktikan bahwa ia bukanlah target Ashelia.
Saat menyadari fakta itu, semangatnya patah. Ia sadar ia hanya bisa merasa lega saat Ashley kembali ke dunianya, yang berarti ia juga harus membuat alibi tentang kematian Ashelia.
Saat memikirkan betapa malang nasibnya, perhatiannya teralih oleh aktivitas nonanya.
Ashley melepaskan ikatan kayu penopang di kakinya. Membuka kainnya dan membiarkan kakinya yang kesemutan beristirahat sebentar sampai mereka sampai di tujuan.
Bellena terkejut saat melihat kondisi kaki Ashley yang memerah dan memar di beberapa tempat. Meski begitu, Ashley terlihat biasa saja. Bahkan saat berjalan ia terlihat seakan tidak merasakan gangguan apapun.
"Dewi- maksud saya Nona, apakah Anda bisa merasakan rasa sakit?" Tanya Bellena membayangkan rasa sakit yang harus ditahan Ashley selama ini.
Ashley menatap Bellena setelah mendengar pertanyaan yang aneh darinya.
"Bisala. Lo pikir saraf gua mati?"
"Haruskah saya gendong?" Bellena membeku sejenak, menyesal, menyadari apa yang baru saja ia katakan.
Siapa merasa iba terhadap siapa? Ia sudah cukup kelelahan dan masih harus menggendong Ashley menuju kamarnya di lantai 3. Ashelia jarang keluar dari kamarnya jadi tidak pernah terpikir olehnya jika ia harus terbiasa dengan ini.
"Nyesel?" Ashley tertawa seakan bisa membaca apa yang ada di benak Bellena.
Ashley menatap keluar jendela membelakangi Bellena.
"Gua paling ga suka pergerakan gua dibatesin. Selama gua masi bisa jalan, gua lebih suka jalan pake kaki gua sendiri."
"Pemimpin harus tau bates dirinya sendiri dan bates anak buahnya, tanpa pernah ngebatesin perkembangan. Ngandelin orang lain ga masalah tapi dilarang bergantung ke orang lain."
"Atau posisinya jadi kebalik, kan?" Lanjutnya menatap Bellena sambil tersenyum.
Bellena tertegun. Tak pernah sekali pun ia membayangkan Ashley akan mengatakan hal seperti itu. Siapa yang mengira Ashley bisa mengeluarkan kata-kata bijak? Terlebih lagi, ia tersenyum dengan ramah. Bellena hanya mengangguk tidak dapat berkata-kata.
Rasa takutnya terhadap Ashley masih tetap ada, namun kini ia merasa ingin mengenal Ashley. Sifat kontrasnya tersebut sangat menarik perhatian Bellena. Pikirannya penuh dengan pertanyaan, orang seperti apa Ashley? Bagaimana kehidupannya disana? Siapa orang yang ia percaya? Apakah ia memiliki teman? Bagaimana keluarganya? Dan sebagainya.
"Ada orang lain yang tau gua siapa?" Tanya Ashley memecah keheningan mereka.
"Saya pikir tidak ada."
"Lo yakin kalian ga diikutin siapa-siapa?"
"Em, saya awalnya berpikir demikian tapi Nona Ashelia bilang Tuan atau Nyonya tidak akan peduli dengan apa yang akan ia lakukan."
Mendengar penjelasan Bellena, pandangan Ashley terhadap Ashelia sedikit berubah. Seperti remaja dalam masa pubertas yang menganggap keluarganya tidak peduli dengannya.
Setelah cukup lama duduk di dalam kotak kayu beroda itu, mereka pun sampai di depan gerbang sebuah rumah besar dengan arsitektur eropa. Beberapa saat kemudian, gerbang tersebut terbuka dan kereta mereka berjalan memasuki halaman depan menuju pintu utama.
Seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian pelayan rapi telah menunggu di depan pintu.
Ashley sudah memasang kembali kaki palsu buatannya sebelum pintu kereta dibuka.
Ia turun dan menatap bangunan megah di depannya. Bukan kagum, ia hanya merasa sedikit bernostalgia. Bangunannya itu berbeda namun terasa sama seperti rumah papanya.
Laki-laki itu tidak terlalu terkejut saat melihat nonanya berdiri, karena ia tahu Ashlelia memang masih bisa berdiri. Ia justru lebih terkejut dengan penampilan nonanya yang berantakan. Entah apa yang mengganggu pikirannya, hingga membuatnya tidak menyadari saat Ashley turun tanpa bantuan Bellena.
Ia memejamkan matanya dan sedikit membungkuk memberi salam.
"Anda sudah kembali, Nona."
Tanpa menunggu respon dari nonanya, pria itu langsung menghampiri kusir dan mengurus pembayaran kereta. Ashley melirik ke arahnya. Mata mereka bertemu, namun hanya satu hal yang Ashley lihat di mata laki-laki dengan tinggi sekitar 160 senti itu.
Arogansi.
Harga diri yang jauh lebih tinggi daripada tinggi badannya.
Ia menganggukan kepalanya memberi salam sekali lagi kepada nonanya. Namun, anggukan kepala bukanlah salam yang bisa dilakukan seorang kepala pelayan terhadap majikannya.
Selesai mengurus pembayaran, ia menanyakan keberadaan kursi roda Ashelia. Bellena memberinya penjelasan singkat tanpa mengatakan alasan sebenarnya kursi roda Ashelia bisa rusak.
"Kalau begitu akan saya pesankan kursi roda baru." Ucap kepala pelayan itu.
"Ga. Gua ga butuh itu lagi."
"Gua?" Tanya Kepala Pelayan bingung dengan kosakata yang baru peetama kali ia dengar.
Bellena mendekatinya dan menjelaskan kalau itu adalah cara nonanya menyebut dirinya sendiri. Tentu Bellena awalnya hanya menerka-nerka. Namun ia merasa sepertinya tebakannya benar.
"Kalau begitu apa perlu saya panggilkan seseorang untuk membantu Anda kembali ke ruangan Anda?"
Ashley hanya diam, menatap ke arah yang berlawanan dengan tempat kepala pelayan itu berdiri. Ada orang lain disana. Laki-laki yang terlihat masih sekitar 18 tahun itu baru saja bertatapan dengan Ashley.
Tidak seperti si kepala pelayan yang pura-pura menghormatinya, anak itu justru mengabaikan Ashley begitu saja, seakan tidak melihat apapun.
"Heh b*ngsat, sini."
Bellena yang menyadari amarah Ashley langsung berlari mencoba mencegahnya. Ia menahan lengan Ashley dan hendak melarangnya membuat keributan namun langsung diberi tatapan peringatan oleh Ashley.
Bellena melepaskan tangannya perlahan. Ia tidak berani menatap Ashley maupun mengangkat kepalanya. Kali ini ia tidak dapat mencegahnya.
Ia pikir ia masih bisa membujuk Ashley karena suasana hati wanita itu mulai membaik. Namun tatapan yang Ashley berikan kepadanya barusan, sangatlah mengintimidasi.
Kepala pelayan yang berdiri di belakang mereka berdua merasa sedikit bingung dengan perubahan situasi tersebut.
"Saya sibuk Nona, masih ada banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan hari ini." Jawab pemuda yang bahkan tidak menyadari umpatan Ashley.
Bukannya tidak tahu arti kalimatnya, namun terlalu tidak menghiraukan. Sikap yang anak itu tunjukan bahkan tidak dapat membuat kepala pelayan itu terkejut. Tentu karena sudah sangat biasa terjadi.
Meski demikian, saat ini kepala pelayan itu tidak dapat menyembunyikan wajah terkejutnya, melihat Ashley berjalan dengan kedua kakinya, dibantu topangan tongkat kayu yang ia temukan di hutan tadi. Hal ini jauh lebih mengagetkan baginya daripada sikap pemuda itu terhadap majikannya.
Ashley berjalan menghampiri pemuda yang kini berdiri malas menunggu dihampiri oleh nonanya. Sedari tadi ia tidak menatap wajah Ashley dan justru memalingkan wajahnya ke arah lain, memperlihatkan betapa tidak tertariknya ia dengan putri pemilik rumah tempatnya bekerja.
Sekitar 1 meter di depan pemuda itu, Ashley mengangkat tongkatnya dan memukulkannya ke kepala pemuda itu hingga kayunya patah menjadi dua.
Keseimbangannya goyah, pemuda itu terjatuh namun kesadaran dirinya belum hilang. Mungkin hal ini akan berakhir dengan mudah jika ia langsung pingsan.
"Anda gila!?"
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Hasan
pelan2 dihajar semua nih pelayan rumahnya biar pada nurut🤣🤣🤣
2022-09-15
1
Miken Mayasari
suka nih yang kasar gini. gak lemah
2022-05-22
3