Beberapa bulan sebelum prediksi kematian Kalia.
Seorang gadis duduk di kursi rodanya dan berjalan menuju jendela besar yang ada di kamarnya. Ia berhenti dan mengamati sesuatu yang ada di luar jendela. Dari lantai tiga, ia memperhatikan kereta kuda yang beranjak pergi meninggalkan halaman luas kediamannya.
Matanya mengikuti pergerakan kereta itu tanpa berkedip, seakan tidak ingin melewatkan hal apapun. Jantungnya berdegup kencang, ia menjadi sangat gugup karena ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi. Ini adalah momen yang sudah ia nantikan sejak lama.
"Ayo."
Bersama dengan pelayan pribadinya, mereka berdua bergegas keluar.
Tangan gadis itu gemetar saat pelayan pribadinya membantu memapahnya menuruni tangga. Tiap langkah kakinya terasa lebih lemah daripada biasanya. Kegelisahannya meningkat seiring dengan berjalannya waktu.
Sesampainya di bawah ia bertumpu pada pegangan tangga namun tangannya masih tidak juga berhenti gemetar.
Setelah semua usaha yang telah ia kerahkan selama 1 tahun terakhir ini, ini adalah langkah terakhir yang harus ia lakukan. Keinginan untuk mencapai keberhasilan dan tidak bisa menerima kegagalanlah yang membuatnya sangat gugup. Seakan tidak akan ada hari esok jika ia tidak berhasil.
Setelah pelayan pribadinya kembali dengan kursi rodanya, mereka pun segera keluar meninggalkan rumah megah itu.
Memang ia berencana pergi diam-diam, namun tidak bisa dipungkiri jika ada beberapa orang yang melihatnya, mengingat matahari masih bersinar terang. Orang-orang itu adalah para pekerja yang bekerja di rumahnya.
Meski begitu, hal itu bukan masalah baginya. Orang yang ia waspadai adalah kedua orang tuanya, bukan mereka. Buktinya saat para pekerja di rumahnya melihat mereka pergi, tidak ada satu pun yang peduli.
Begitu keluar dari pintu utama, kereta kuda keluarga gadis itu sudah menunggu di luar. Dibantu pelayannya, gadis itu masuk ke dalam kereta. Mereka pun berangkat ke tempat tujuan. Bukan tujuan utama, hanya tempat transit untuk sedikit mengelabuhi kusir yang mengantarnya.
Sampailah mereka di sebuah restoran yang baru beberapa waktu lalu dibuka. Ia meminta kusir itu kembali tanpa harus menunggunya karena akan memakan waktu lama. Tanpa basa basi, kusir itu langsung kembali ke kediaman gadis tersebut, seakan tidak ingin bersama dengan mereka sejak awal.
Setelah kusir itu pergi, mereka bergegas pergi ke tempat tujuan mereka yang sebenarnya. Mengenakan jubah dan memesan kereta kuda baru, mereka pun pergi menuju sebuah pegunungan di bagian selatan kota.
Saat gadis itu masih belum bisa menenangkan rasa gugupnya, pelayan pribadinya memiliki kekhawatiran lain. Ia terus mengawasi bagian belakang memastikan bahwa tidak ada yang mengikuti mereka.
"Apakah ini cukup, Nona? Anda yakin tidak ada yang mengikuti kita?"
"Dia tidak akan peduli kemanapun aku pergi. Restoran itu hanya untuk antisipasi agar mereka tidak bergosip dan membuatnya penasaran." Jawab gadis itu.
Sekitar 30 menit kemudian, sampailah mereka di depan sebuah desa yang berada di kaki gunung Halla. Sebelum ada penduduk desa yang melihat, mereka langsung pergi ke arah hutan menuju gunung.
Jalan tanah yang tidak rata karena batu dan akar mempersulit perjalanan mereka. Gadis itu hanya bisa mengandalkan pelayannya yang berusaha keras mengendalikan kursi roda miliknya.
Beberapa kali terselip, tergelincir, bahkan hingga terjatuh, namun mereka tetap melanjutkan perjalanan yang melelahkan itu.
Lebih dari 2 jam mereka berada di dalam hutan namun belum juga sampai ke tujuan. Mereka memilih jalan yang lebih landai agar lebih mudah dilewati namun memakan waktu lebih lama.
Semakin lama, pelayannya semakin meragukan keberadaan tempat yang ingin dicapai gadis itu. Jelas gadis itu belum pernah pergi kesana, bagaimana bisa ia mengetahui keberadaan tempat itu.
"Anda yakin ada tower di sini, Nona?"
"Aku yakin."
"Bagaimana anda tahu ada tower di gunung ini?"
"Aku melihatnya."
Sebuah jawaban yang tidak cukup untuk meyakinkan pelayannya, namun ia sangatlah yakin.
Setelah mempelajari ilmu terlarang, ia diberikan sebuah gambaran di dalam mimpinya. Sebuah tower kosong di dalam hutan di tengah gunung. Sebuah altar yang biasa digunakan orang terdahulu untuk melakukan ritual.
Dalam mimpinya, ia melihat sekerumunan orang berjubah membawa obor melewati hutan menuju sebuah tower. Mereka kemudian melakukan persembahan dan upacara ritual di dalam sana.
Semua terlihat dengan jelas. Meja altar yang dikelilingi lilin-lilin, tembok batu tak bersudut yang juga dihiasi banyak lilin, tangga panjang melingkar yang menghubungkan lantai dasar dan satu-satunya ruangan disana, bahkan jalanan yang mereka tempuh, pepohonan dan sekitarnya.
Jalan yang saat ini ia lewati, sangatlah familiar di matanya. Ia yakin, ia melewati jalan yang sama.
Benar, beberapa saat kemudian, mereka melihatnya, sebuah tower yang tidak terlalu besar.
Dibukalah satu-satunya pintu itu, menampakkan bagian dalam tower yang cukup gelap karena hanya ada 2 jendela tempat masuknya cahaya. Pintunya sengaja dibiarkan terbuka agar pencahayaannya lebih baik.
Tidak ada apapun di sana, hanya tangga yang mengitari ruangan menuju atas sekitar 10 meter tingginya.
Degup jantung gadis itu kembali meningkat, namun kali ini karena antusias dalam dirinya. Semangat yang muncul karena ia seakan melihat kemenangan yang sudah ada di depan matanya.
Ia bangun dari kursi rodanya. Dipapah oleh pelayan pribadinya, selangkah demi selangkah mereka menaiki tangga menuju ruang altar.
Sangat lelah. Pelayan itu dibuatnya sangat kelelahan. Setelah kehabisan tenaga bergelut dengan jalan yang tidak mendukung selama lebih dari 2 jam. Kini ia masih harus memapah gadis itu menaiki ratusan anak tangga.
Tidak ada pegangan atau pagar pembatas pada tangga itu, jika terjatuh akibatnya akan sangat fatal. Pelayan itu berhenti. Kakinya gemetar kehabisan tenaga. Ia tidak ingin mengambil resiko yang dapat membuatnya kehilangan nyawa.
Memahami rasa lelah pelayannya, gadis itu memintanya untuk istirahat sejenak selagi ia merangkak naik melanjukan perjalanannya.
Sampailah ia di atas, disusul oleh pelayannya yang kemudian membantunya berdiri.
"Bantu aku kesana." Ucap gadis itu menunjuk meja altar yang ada di tengah ruangan.
Mereka berjalan perlahan, ruangan itu jauh lebih gelap karena tidak ada jendela sama sekali. Namun, karena mata mereka sudah menyesuaikan dengan minimnya cahaya, mata mereka mampu menangkap cahaya yang dipantulkan dari tangga.
Gadis itu duduk di sana dan meminta pelayannya menjauh dari lilin yang melingkari altar. Ia terdiam sejenak, merapalkan mantra yang telah ia pelajari.
Tiba-tiba satu persatu lilin yang mengelilingi gadis itu menyala. Hal itu membuat pelayan pribadinya takut. Ia berjalan mundur menjauhi gadis itu mendekati tangga, mengantisipasi sewaktu-waktu terjadi sesuatu, ia bisa melarikan diri dengan cepat.
Tak lama kemudian, angin berhembus kencang bergerak memutari ruangan. Anehnya, lilin disana tidaklah mati, justru apinya semakin membesar, perlahan-lahan mengelilingi gadis itu, membuatnya seperti berada di tengah tornado api.
Hanya sedikit yang pelayan itu tahu. Nonanya hendak melakukan sebuah ritual untuk memanggil Dewi Kehancuran. Dengan mempersembahkan jiwanya, ia meminta sang Dewi membalaskan dendamnya dengan memasuki tubuhnya. Kemudian sang Dewi akan kembali setelah mengabulkan permintaannya, meninggalkan tubuh pemohon yang sedari awal sudah tak bernyawa.
Setelah memberitahu apa yang hendak gadis itu lakukan, pelayan itu hanya diberi tugas untuk menyampaikan informasi terkait dunia ini kepada sosok yang akan ia panggil dan pergi dari kediaman, begitulah rencana mereka.
Ia tidak pernah memikirkan jika rutual pemanggilan itu akan terasa semagis ini.
Tanpa aba-aba, api itu pecah menyambar seluruh ruangan. Pelayan itu menutup kedua matanya sambil menyilangkan tangan berusaha menghalau meski tahu hal itu tidak akan berefek banyak. Namun, tidak ada yang ia rasakan selain hembusan angin.
Ia pun membuka matanya karena merasa aneh.
Seluruh lilin diruangan itu kini menyala, dan gadis itu tergeletak tak bergerak di atas meja altar. Lilin-lilin yang mengitarinya sudah terbakar habis, hanya menyisahkan lelehan dilantai.
Gadis itu sebelumnya mengatakan bahwa tidak ada jaminan jika ritualnya akan berhasil, meski begitu ia tetap ingin mencobanya, mempertaruhkan segala hal yang ia punya demi balas dendamnya.
Pelayan itu menjadi sedikit takut setelah melihat keanehan-keanehan tadi. Ia memilih untuk menunggu sejenak, memastikan ritualnya benar-benar sudah berakhir.
Sekitar 1 menit berlalu namun tidak ada hal lain yang terjadi, bahkan gadis itu tidak bergerak sama sekali. Pelayan itu pun mendekat untuk memastikan hasil ritualnya.
Dilihatnya bagian perut dan dada gadis itu, sama sekali tidak bergerak. Apakah berhasil? Ataukah gagal?
Dengan menahan rasa takut, ia memastikan sang Dewi telah bersemayam di dalam tubuh gadis itu.
"...Dewi?"
Ia terkejut dibuatnya. Mata gadis itu tiba-tiba terbuka, dan langsung menatap si pelayan.
Tatapannya tidak seperti biasanya, sangat tajam meski terlihat bingung sekaligus terkejut. Juga, terasa sangat mengintimidasi, seluruh tubuh pelayan itu merinding hanya dengan menatap matanya.
Saat itu pelayan itu sadar, yang berada disana bukanlah nonanya lagi, melainkan sang Dewi Kehancuran.
^^^Bersambung...^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Lee
hadir
2022-11-11
1
runi nisa
kayaknya seru nie cerita
2022-10-24
1
zida_mufida
up ....
2022-06-16
2