Kavi menangis sesungukan. Wajahnya acak-acakan, rambutnya kusut dan di sebelah pipinya hitam bekas arang kebakaran.
Orang-orang telah berhasil memadamkan api tapi rumahnya tidak terselamatkan semuanya habis dilalap sijago merah apalagi rumahnya terdiri dari kayu yang sudah puluhan tahun.
Sekarang ia berada disamping ibunya yang masih pingsan karena asap dan luka bakar.
Ia tidak tau harus bagaimana lagi. Kemalangan datang dalam sekejap menimpa menyeret semua tenaga dan pikirannya.
"Sudah kau jangan menangis, ibumu tidak akan terbantu oleh air matamu itu lebih baik kau doakan dia agar cepat siuman"
Pria didepannya cerewet, tentu saja karena masalah ini tidak terjadi padanya makanya sok ksatria. Kebanyakan orang juga demikian. Kalau masalah terjadi pada diri orang lain maka ia akan bijaksana coba kalau menimpa dirinya maka ia akan kehilangan akal untuk menyelesaikan. Tapi kemalangan ini bukan untuk penyelesaian melainkan merubah seluruh alur hidupnya.
"Kau makin jelek kalau nangis"
Kavi masih khusuk dengan tangisannya menghiraukan ucapan sipria itu.
"Hey! cuci wajahmu sana"
Akhirnya Kavi kesal juga karena pria itu kenyinyiran pria itu. Ia menghapus air matanya.
"Terserah aku, aku bukan menangisimu! kau lebih baik pergi saja atau kau menunggu ucapan terima kasih dari aku?"
"Wuih pedas juga, kau banyak makan kerang asap ya?"
"Kami tidak pernah memasak kerang asap"
"Kau bohong! kau tidak mengaku kalau kau telah mengazab kerang untuk kau makan"
"Apa hubungannya? bodoh!"
"Hubungan persaudaraan mungkin, kau dan kerang sama-sama suka menangis untuk menjatuhkan mahkota"
"Dasar idiot sejak kapan kerang menangis?"
"Mana aku tau"
"Kau bodoh!"
Tanpa sadar kesedihan Kavi berkurang dan berganti dengan kekesalan dan tanpa sadar pula ia telah berhenti menangis. Pria didepannya hanya mengutuk jengkel. Ia tidak ahli membujuk wanita yang sedang sedih apalagi wanita macam kavi. Dibiarkan tidak tega dan di bujuk juga tidak bisa.
Serba payah!
"Harusnya kau beterima kasih padaku karena aku datang tepat waktu"
Kavi melihat ke ibunya, semua kejadian pahit sejenak terlupakan karena ibunya masih bisa diselamatkan.
"Aku benci kau!"
"Sama-sama, aku senang ada yang berterima kasih padaku itu berarti aku baik dan hebat" Dera mengabaikan kemarahan Kavi dan malah memuji dirinya sendiri.
"Makan saja pujianmu!"
"Tentu saja kau tidak akan merasakannya makanya jadi orang baik"
"Kelakuan kayak syetanpun mengaku baik" desis Kavi jengkel.
"Iya makasih, aku dengar kok!"
Dera beranjak dari kursinya dan bertanya "ngomong-ngomong calon suami kamu mana? dia tidak menemani kamu?"
Kavi tidak menjawab, Tomi pasti sedang ditahan ibunya. Ia mengerti kalau itu adalah hal yang pantas.
Dera nyelonong keluar dan tidak muncul lagi sedangkan Kavi duduk disebelah ibunya menamani. Hingga akhirnya seorang security datang kesana mengantarkan makanan. Katanya dari seseorang.
Entah seseorang siapa.
Mungkin makanan itu salah alamat.
Kavi meletakkan dinakas lalu kembali duduk merenung disebelah ibunya. Hingga akhirnya perutnya berbunyi minta diisi dan satu-satunya makanan yang ada disana adalah makanan yang berasal entah dari siapa itu.
Kavi memakan makanan itu. Semoga gak ada yang menuntutnya setelah ini.
Setelah perutnya kenyang ia bertarung dengan matanya yang ingin tertutup rapat.
Dan akhirnya ia kalah. ia terkulai disamping ibunya dan terbangun ketika mendengar suara berisik didekatnya. Ternyata ibunya sudah sadar dan suster memeriksanya. Kavi merasa bodoh karena tidak mengetahui ibunya siuman.
"Ibu sudah sadar?" Kavi langsung memeluk ibunya dengan erat.
"Bagaimana rumah kita kavi?" tanya Safa lemah. Hal yang pertama yang ia ingat adalah tempat dimana mereka bernaung, tempat penyebab dirinya masuk rumah sakit.
"Nanti kita bahas ibu"
"Apakah tidak terselamatkan?"
"Ibu" Kavi merasa serba payah untuk menjawabnya lalu ia menggeleng.
"Yang penting ibu baik-baik saja"
"Bagaimana pernikahan kamu? mana Tomi?"
"Ibu baru siuman nanti saja kita bahas" elak Kavi.
Safa belum tenang sebelum memastikan. Matanya berputar mencari sosok menantunya. Tidak ada Tomi disana.
"Aku dan Tomi gagal menikah" beritahu Kavi akhirnya.
Safa menghela nafas panjang.
"Ibu tidak usah cemaskan itu yang penting ibu baik-baik saja, perkara lain nanti saja ibu karena yang paling berharga bagiku adalah ibu, kalau ada ibu aku kuat menghadapi apapun"
Raut wajah Safa perlahan berubah. Wajah murungnya tergantikan dengan ucapan Kavi. Anaknya benar, kalau mereka baik-baik saja maka mereka akan kuat menghadapi dunia.
meskipun harta dan rumah mereka sudah ludes tanpa sisa. tapi harta yang paling berharga baik-baik saja. Mereka patut mensyukuri itu.
Sekarang mereka hanya perlu memikirkan untuk tinggal sementara. Tidak mungkin mereka pulang keperkampungan itu karena Kavi tidak jadi menikah dengan Tomi. Apalagi semua orang menganggapnya Kavi adalah wanita murahan hamil tanpa suami. takutnya segala bencana dikaitkan dengan kehadiran Kavi.
Kavi menjual antingnya untuk menebus obat-obatan ibunya dan sisanya ia gunakan untuk menyewa rumah sederhana agak jauh dari perkampungan.
Rumah itu melalui jalan kecil dan beda kampung dengan kampung mereka yang lama. Dan juga agak jauh dari tetangga sekitar. Semua itu mereka jalani dengan hati yang lapang demi Kavi dan calon anaknya.
Kecuali untuk pria bajingan yang telah membuat Kavi sengasara.
Safa menautkan pada Kavi erat-erat. mereka tidak akan memaafkan pria hina itu.
"Aku juga tidak akan memaafkan ibu, bagaimanapun caranya dia harus membayar semua perbuatannya didalam penjara" tegas Kavi.
"Kuatkan tekad kamu Kav, meskipun kita miskin tapi kita punya harga diri"
Kavi juga sudah merencanakan itu yaitu melapor polisi. Tapi bagaimana melapor tanpa bukti? ia tau pria itu bakal ngeles. Lihat saja cara dia bicara dan semua gayanya. Bisa-bisa semua laporan itu berbalik pada Kavi.
Melaporkannya harus dengan persiapan matang apalagi dia orang kaya. Orang kaya akan mudah memutar balikkan fakta dengan uang yang ia punya.
Untuk menyambung hidup, Safa kembali jualan makanan dibantu oleh Kavi. Mereka jualan dijalanan sebelah Timur dari arah Resort.
Jualan itu ternyata membosankan. Kavi tidak betah duduk berlama-lama apalagi pelanggan sangat lengang. Ia berjalan-jalan sepanjang laut dengan hati kosong.
Biasanya Tomi akan mencari dirinya jika ia menghilang sebentar saja. Tapi sampai sekarang Tomi tidak pernah lagi memperlihatkan batang hidungnya.
Angin laut menyibakkan rambutnya. Jejak-jejaknya dipantai terus dihapus oleh ombak tanpa sisa. Seandainya kesedihannya seperti jejak dipantai yang selalu terhapus oleh senyuman dengan mudah, semudah ombak membersihkan jejak.
Sekarang jejak itu menikam kuat. Hal yang ingin dilupakannyapun mengikat kuat bertahta erat. Ia belum menyukai apalagi mencintai apa yang ada dirahimnya. Tapi setidaknya ia bukan manusia berhati kejam.
Ia calon seorang ibu dan sekaligus singa yang siap menerkam.
Ia melihat resort didepannya dengan tangan terkepal penuh dendam.
Ini semua karena dia, awal kehancuran kehidupannya. Tunggu kehadiranku, akan aku kirim kamu ke neraka!!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments