Mata Dera tidak mau terpejam. Ia sudah bolak-balik diatas tempat tidur. Tubuhnya gerah padahal suhu ruangan sudah sangat dingin. Semua jenis makanan melintas dalam otaknya. Ada rujak pedas, makanan kuah pedas dan cemilan yang banyak.
Makin lama makanan itu makin menari-nari dan liurnya menetes. Tidak tahan dengan semua itu ia bangun dan meraih bajunya.
Jam menunjukkan pukul setengah satu malam. Ia meraih kunci mobilnya dan keluar dari kamar apartementnya.
Penghuni gedung itu sudah pada tidur. Detak sepatunya terdengar dilantai menuju lift.
Ketika tiba dibawah. Angin malam langsung menyambutnya menyibakkan belahan rambutnya.
Ia membiarkan atap mobilnya terbuka. Udara dingin menyatu dengan kulitnya tanpa dibaluti kain tebal. Dera memperhatikan toko pinggir jalan mencari apa yang ia mau.
Akhir-akhir ini seleranya jauh berubah. Ia suka ngemil, makanan pedas dan menginginkan rujak asam. Ia tidak tenang kalau makanan itu belum ada dihadapannya.
Ia berhenti disebuah toko memborong jajanan disana dan melemparkan kedalam mobil dan ngemil sambil nyetir. Rasanya nikmat sekali Seperti anak kecil yang suka jajan. Lalu beberapa menit kemudian ia berhenti , singgah direstorant dan minta makanan pedas.
Dua mangkok sup iga sapi dilahapnya sampai ludes. Bergerak saja tidak leluasa karena kekenyangan. Tidak ada lagi rasanya ruang untuk makanan lagi. Tapi begitu tiba dimobil seleranya masih menginginkan rujak pedas.
Ia kembali berputar mencari rujak dimalam dingin itu dan mendapatkan beberapa kilo meter, itupun hampir tutup. Ia rela membayar tiga kali lipat asal makanan itu ada untuknya.
"Untuk istrinya yang lagi ngidam ya pak?"
Dera hanya menanggapi dengan senyuman masam semasam makanan yang dimaunya. Istri apa? rujak itu untuknya tidak mungkin dia lagi ngidam, mana ada pria yang hamil.
Giginya ngilu memakan rujak tersebut karena udara dingin. Pemilik warung tersebut hanya melongo melihat Dera makan asam diwaktu yang tidak tepat apalagi Dera melandaskan semua yang ada dipiring itu.
Dera pulang dini hari. Setiba di apartement ia ngemil sampai pagi duduk didepan televisi.
Ia tau seleranya aneh tapi tidak bisa dikontrol. Tidak mungkin ia kesurupan seperti cerita-cerita horor disebuah negara bagian Timur.
Bel berdering didepan. Ia enggan beranjak. Setelah deringan kesekian kalinya barulah ia melongok lewat pengintai. Ada Sania disana. Untuk apa gadis itu datang pagi-pagi?
Waktu mereka masih bersama Sania akan langsung masuk tapi sekarang Dera sudah mengganti sandi pintu.
"Ya..ada apa?" tanya Dera dengan suara yang disengajakan lantang.
Wajah Sania yang tersungut bersirobok didepan wajahnya ketika pintu terbuka.
"Oh Sania?"
Dera masuk kedalam diikuti Sania.
"Silahkan duduk" ujar Dera menganggap Sania adalah tamunya. Dalam hati cewek itu tersinggung berat tapi ditutupi dengan senyuman.
"Belum lama tapi kamu sudah jauh berubah" desah Sania kecewa.
Ucapan Sania tidak lebih menarik dengan makanan yang ada dalam dekapannya bahkan ia tidak menawarkan Sania sedikitpun. Pelit emang.
"Aku kesini mau minta maaf"
Dera menelan mananan dimulutnya lalu minum. Setelah meletakkan gelas ke meja ia melihat ke Sania. Galaunya ditinggal pergi sudah reda mengapa Sania datang lagi.
"Ya sudah, aku maafkan..gak apa-apa, gak semua mantan saling musuhan kan? kita bisa berteman"
Ada ketekejutan diwajah Sania tapi gadis itu sangat bisa mengendalikan apa yang dirasakannya.
"Ya berteman,..kita bisa berteman" sahut Sania dengan suara berat dan senyuman terpaksa.
"Aku minta maaf, waktu itu kecewa bangat ... tanpa sadar, aku..."
"Aku tau, makanya aku tidak marah terhadap kamu" potong Dera. Sania yang berharap lebih tidak tau harus mulai dari mana karena dera terus memotong pembicaraannya.
"Hanya itu? kamu tidak niat untuk memperbaiki hubungan kita?"
Dera menatap Sania lalu menggeleng "lebih baik kita merenungi siapa diri kita dulu Nia, aku memperbaiki diri aku dan kamu juga..ini terlalu baru bagi kita"
"Apa itu berarti kamu menolak aku?"
"Untuk saat ini iya"
Sania kecewa dengan ketegasan Dera tapi Dera salut dengan pengendalian gadis itu. Ia merebut kotak kue ditangan Dera dan mencicipinya.
"Hueek pedas, kamu sejak kapan suka makanan pedas?" Sania mengipasi mulutnya dengan telapak tangan lalu kemudian berlari kedapur untuk minum. Mulutnya terasa terbakar karena saking pedasnya.
"Sumpah, pedes bangat! kamu kok makan makanan kayak gitu sih? perut kamu ntar sakit"
Dera tidak menghiraukan Sania yang penting apa yang ia makan pagi ini sangat pas dengan seleranya.
***
Hujan turun rintik-rintik pagi itu. Para nelayan berkumpul meramal hari takutnya akan terjadi badai. Mereka berkumpul dirumah tetua kampung itu minta petunjuk pada tetua itu.
Tetua yang dimaksud adalah seorang pria yang setengah baya yant dituakan dan dipercaya sebagai orang hebat mampu meramal apa saja dan tau semuanya. Sebelum melakukan sesuatu warga akan minta petunjuknya terlebih dahulu.
Tetua menghitung bulan tanggal dan hari sambil komat-kamit sementara itu para nelayan menunggu hasilnya dengan nafas tertahan. Suasana jadi hening dan khimad sampai tetua itu selesai.
Setelah meramal, tetua itu mengangguk. Wajah para nelayan jadi cerah. Itu berarti tidak akan terjadi apa-apa. Mereka sangat percaya pada tetua tersebut.
Para nelayan itu mengucapkan terima kasih lalu turun melaut.
Meskipun ramalan sangat baik tapi Feya ogah-ogahan untuk bekerja pagi itu. ia ingin menemani gulingnya tidur seharian tapi Kavi menariknya untuk ikut jua bekerja.
"Aku malas Kav, nanti celana aku berwarna merah kena hujan" ringis Feya "bukannya kamu juga lagi dapet?"
Kavi menggeleng.
"Kita biasanya kan sama, kok kamu enggak?..ayolah sekali-kali kita pensiun gak apa-apalah..ntar kita cari suami kaya biar kira kerjanya cuma meliara kuku doang"
Kavi melongo, bukan karena tentang suami kaya tapi karena sudah lama sekali ia tidak dapet, ia tidak menyadari. Apa mungkin karena ia sakit atau....
keringat dingin mengucur dari dahi Kavi, ...tidak mungkin karena kejadian itu. Langkahnya surut lalu berlari kerumahnya. Feya jadi bingung melihat tingkah Kavi.
"Kaaaav! kita jadi pergi?"
"Tidak!!"
Feya tersenyum akhirnya Kavi mengalah juga dan dia bisa melanjutkan untuk rebahan seharian dengan malas-malasan.
Setiba dirumah Kavi memeriksa perutnya. memang agak padat tapi masih rata. Ia mulai panik dengan keadaan. Seorang gadis hamil tanpa suami itu adalah aib. Ibunya akan malu dan akan dihujat oleh orang-orang. Mereka akan diremehkan dan dihina.
Ia ingat, Cica tetangga depannya pernah menggugurkan kandungan dengan nenas muda. Tanpa pikir pnjang Kavi mengambil pisau didapur lalu berlari ditengah gerimis yang mulai menjadi hujan lebat.
Ia menuju sebuah kebun nenas didataran. Nanas muda itu dimakannya mentah-mentah sampai mulutnya perih dan berdarah. Ia tidak mau menyimpan anak si brengsek ini dalam rahimnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments