Udara menggantung dengan ganjil, seolah tak bergerak. Angin laut yang seharusnya bertiup di tepi pantai seperti dipaksa berhenti. Ānaru mengenali tanda-tanda ini. Kegelapan yang seolah menelannya bulat-bulat, juga udara menyesakkan yang mendirikan bulu roma. Kedatangan kinokambe. Pemuda itu mencabut pisau kecilnya yang tersarung rapi di pinggang. Begitu pula Airyung. Keduanya kini berdiri saling memunggungi, menanti kedatangan bahaya yang entah dari mana munculnya.
Tiba-tiba suara menggeram yang khas mulai terdengar, diikuti beberapa pasang mata berwarna merah yang menyorot ke arah mereka. Celakanya tidak hanya satu, melainkan tiga makhluk raksasa berbulu legam tengah menggeram mendatangi Ānaru dan Airyung yang terpojok. Jantung Ānaru berdetak tak wajar karena kengerian yang mulai menjalari. Kedua tangan dan kakinya masih dibebat dengan batu karang, tak ada waktu untuk melepasnya. Dengan sisa-sisa keberaniannya, Ānaru hanya bisa merapalkan doa-doa kepada dewa dewi pelindung Khitai.
Detik berikutnya, ketiga makhluk itu menerkam serempak ke arah Ānaru dan Airyung. Airyung dengan gesit menyabetkan dua pedang panjangnya ke arah dua makhluk di hadapannya. Sial untuk Ānaru, seekor makhluk lainnya tidak dapat ia hadapi dengan sempurna. Pedang kecilnya terlalu tumpul untuk menusuk kinokambe yang menyerangnya. Tidak ada waktu untuk menghindar!
Pada saat yang tepat tiba-tiba sebuah Mandau besar melesat dari arah lautan, menancap langsung di bola mata kiri kinokambe yang hendak menerkam Ānaru. Kinokambe itu terlempar ke samping lantas menggerung marah, mengeluarkan suara yang sangat mengerikan. Spontan Ānaru menoleh ke arah datangnya Mandau. Samar-samar dari arah lautan, muncul tiga perahu nelayan kecil yang mulai menepi di piggir pantai. Salah satu sosok pemilik Mandau itu sangat dikenali Ānaru. Tangaroa.
Seperti menyibak kegelapan, kemunculan Tangaroa membawa harapan bagi Ānaru. Pria itu bertubuh besar dengan otot-otot kekar yang terlihat kuat. Di kanan kiri pinggangnya, terdapat dua sarung Mandau yang terukir dari kayu. Salah satu Mandau ada di tangannya, yang lainnya tertancap di mata kinokambe yang menyerang Ānaru.
“Tangaroa!” seru Ānaru tampak bersemangat.
“Kau baik-baik saja?” tanya Tangaroa. Suaranya dalam dan berwibawa. Tangaroa lantas membantu Ānaru berdiri lalu, bersiap menyerang kinokambe yang sudah melesat ke arahnya.
Pertempuran sengit pun terjadi antara Airyung dan Tangaroa melawan tiga ekor kinokambe yang menyerang membabi buta dalam kegelapan. Ānaru tidak bisa melihat dengan jelas karena pertempuran terjadi sangat cepat ditambah ketiadaan cahaya yang menerangi. Ia hanya sesekali melihat kelebat-kelebat hitam dan putih yang berseliweran di sekitarnya. Suara geraman beradu dengan desau pedang membelah udara menjadi latar pertempuran sengit itu.
“Nak, ayo kemari. Kau harus menyingkir agar tidak terluka,” tiba-tiba sebuah suara berbahasa Khitai berbicara pada Ānaru.
Ternyata di belakangnya sudah ada seorang nelayan yang menariknya mundur, menjauh dari tempat pertarungan. Namun Ānaru menepis uluran tangan nelaya itu. Alih-alih, ia malah melepas bebat batu karang di tangan dan kakinya.
“Aku juga seorang petarung,” ucap Ānaru tanpa ragu.
Pemuda itu lantas berdiri, menggenggam pisau kecilnya dengan erat dan mencoba berfokus pada gerakan makhluk yang membabi buta. Sang nelayan yang berniat menolong Ānaru akhirnya menyerah untuk membujuknya. Ia kembali berlari menyingkir untuk menyelamatkan diri.
Sesosok kinokambe akhirnya tertangkap mata Ānaru, melesat melewatinya dengan cepat. Ānaru segera melompat sambil menancapkan belati kecilnya ke punggung kinokambe itu. Alhasil tubuh Ānaru ikut terbawa gerakan makhluk tersebut. Bau bacin segera menyergap hidung Ānaru saat tubuhnya menempel di punggung kinokambe. Bulu-bulunya tajam seperti duri yang langsung menusuk-nusuk kulit Ānaru.
Ānaru berusaha mempertahankan posisinya dengan menggenggam sejumput bulu makhluk itu. Keputusan fatal, karena kegiatan itu membuat telapak tangannya terluka parah terkena tusukan bulu sang kinokambe. Tapi Ānaru bertahan. Ia kemudian mencabut belatinya lantas menusuk-nusukkannya ke sekujur tubuh kinokambe tersebut. Raungan dahsyat segera menggema memekakkan telinga. Ānaru refleks melepaskan pegangannya karena terkejut mendengar raungan itu. Ia terjatuh dan tubuhnya terlontar beberapa meter di atas pasir.
“Ānaru! Kau baik-baik saja?” suara Airyung terdengar khawatir. Gadis itu menggenggam dua pedang panjangnya.
Belum sempat Ānaru menjawab, seekor kinokambe melesat hendak menerkam mereka. Airyung dengan gesit mengayunkan salah satu pedangnya dengan gerakan memotong. Pedang yang lainnya segera ia tusukkan tepat mengenai sudut di antara kedua mata kinokambe itu. Kinokambe tersebut segera berubah menjadi asap hitam lantas menghilang.
Airyung segera mengangkat lengan Ānaru, membantu pemuda itu berdiri. Ānaru sedikit lega karena setidaknya salah satu kinokambe berhasil ditumbangkan. Namun kelegaannya tidak berlangsung lama. Hanya dalam jarak beberapa meter dari tempat ia dan Airyung berdiri, Ānaru menyaksikan pergulatan Tangaroa yang dikeroyok oleh dua ekor kinokambe. Keadaan Tangaroa tidak terlalu baik. Pria itu jelas tampak terdesak.
Airyung segera berlari hendak membantu Tangaroa ketika mimpi buruk itu terjadi. Peristiwa itu terjadi begitu cepat hingga Airyung pun tidak dapat mencegahnya. Salah satu kinokambe yang berdiri di belakang Tangaroa tiba-tiba menyergap pria itu saat tengah bergulat dengan makhluk lainnya. Melesat secepat badai, kinokambe itu melahap Tangaroa dalam sekali telan. Tidak ada darah, tidak ada sisa tubuh apapun. Tangaroa lenyap begitu saja di depan mata Ānaru dan Airyung.
Airyung berteriak murka melihat kejadian itu. Teriakan itu diikuti sabetan pedang yang sangat mematikan dan langsung mengenai kinokambe yang memakan Tangaroa. Detik berikutnya Airyung kembali mengayunkan pedangnya yang berkekuatan dahsyat untuk menyerang makhluk lainnya yang masih hidup. Kedua kinokambe itupun berubah menjadi asap gelap lalu menghilang.
Sekonyong-konyong cahaya bulan kembali tersibak. Api unggun yang nyaris mati mulai berkobar lagi dengan terang, seolah tidak terjadi apa-apa. Angin laut kembali berhembus dan debur ombak terdengar lagi. Bau bacin dari tubuh kinokambe-kinokambe itu juga telah sirna, digantikan aroma laut yang asin.
Ānaru masih terperangah dengan peristiwa yang barusan dia saksikan. Seorang pria bertubuh besar yang Ānaru yakini merupakan orang terkuat di Khitai, lenyap begitu saja dimangsa oleh kinokambe. Ānaru seperti kehilangan kata-kata. Tubuhnya yang penuh luka dan berdarah di segala tempat sama sekali tidak ia hiraukan. Ini kali pertama Ānaru menyaksikan bagaimana kebuasan dan kebengisan Roh Jahat itu. Mereka menebar horor pada semua makhluk hidup. Ini tidak bisa dibiarkan.
“Ānaru? Kau baik-baik saja? Kau berdarah banyak sekali. Ayo kita kembali ke desa. Lukamu harus segera diobati.” Airyung segera menghampiri Ānaru, memapah pemuda itu menuju desa.
“Airyung, apa yang terjadi pada Tangaroa?” tanya Ānaru masih mengumpulkan sisa kesadarannya.
Airyung mendesah pelan. “Dia mati,” jawabnya singkat.
“Kenapa kau tidak menyelamatkannya?!” sergah Ānaru dengan nada tinggi.
“Aku tidak bisa bertarung sambil menjaga dua orang lemah! Melawan tiga chögörü! Kau pikir hanya kau yang bisa marah?! Aku terancam gagal menyelamatkan orang dalam ramalan!” seru Airyung tak kalah murka.
Ānaru termangu. Ia marah pada dirinya sendiri. Seandainya ia lebih kuat, ia tidak akan menjadi beban dan ia pasti bisa melindungi Tangaroa.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
ilfindazaka ochtafarela
good story
2022-05-25
0