Ānaru terbangun oleh cahaya matahari yang menyilaukan. Ia mengerjap beberapa kali, berusaha untuk membuat pandangannya yang buram menjadi lebih jelas. Matanya pedih karena udara kering mengambang di sekelilingnya. Saat berusaha bangkit, tiba-tiba nyeri di tubuhnya kembali datang. Ānaru segera mengingat kejadian hari sebelumnya saat Airyung menyiksanya dengan latihan yang tak berperikemanusiaan.
Ānaru mengerang lemah, mendapati punggungnya yang melepuh masih menyisakan luka basah yang terasa perih setiap kali ia berusaha bergerak. Kakinya lemas dan terasa nyeri seperti ditusuk-tusuk. Bahkan lengannya tak kuasa ia gerakkan. Ānaru sekali lagi mengerahkan usaha terakhirnya. Sia-sia. Tubuhnya terlalu lemah bahkan setelah tidur yang cukup.
Tak berapa lama kemudian, Airyung datang menunggangi Tsagan. Kudanya berderap pelan lantas berhenti di dekat pohon kering tempat Ānaru dibaringkan. Prihatin atas keadaan Ānaru, Airyung akhirnya mendekati pemuda itu dan membantunya duduk bersandar pada batang pohon. Ānaru mengumpat pelan dengan bahasa sukunya saat punggungnya yang penuh luka menyentuh dahan pohon.
“Menyerahlah. Tubuhmu ini tidak terlatih sebagai petarung. Lihatlah luka-luka di punggungmu ini. Aku sudah mengoleskan ramuan penyembuh dan rutin mengganti kain pembebat lukanya. Tapi luka-luka ini tidak kunjung mengering. Dan sekarang otot-otot lemahmu itu bahkan tidak bisa digerakkan. Bagaimana mungkin kau bisa menjadi petarung hanya dalam waktu satu minggu,” Airyung mulai mencerocos.
Ānaru tidak berkata apa-apa untuk menanggapi. Ia masih kesal dengan perlakuan Airyung tempo hari. Sudah jelas bahwa Airyung memang sengaja membuatnya tersiksa agar ia menyerah dan memutuskan untuk berhenti berlatih. Tapi Ānaru bukanlah pemuda Khitai biasa. Ia punya lebih dari sekedar kemauan. Ānaru adalah pemuda keras kepala yang tidak akan menyerah pada apapun keinginannya. Sifatnya itu sepertinya cukup untuk bisa melawan kelicikan Airyung.
“Aku baik-baik saja. Kalau luka-luka kecil seperti ini membuatku menyerah, aku tidak akan bisa menjadi seorang uluwero sejati. Aku hanya akan berhenti kalau aku mati,” sergah Ānaru tak mau kalah.
Airyung berdecak tak sabar lalu berjalan mengambil kantong-kantong kulit dari pelana kudanya. Gadis itu kemudian mengeluarkan wadah minum bambu dari salah satu kantong kulit berukuran sedang. Sepertinya ia baru saja selesai menampung embun.
“Ini, minumlah.” Airyung menyodorkan wadah bambunya kepada Ānaru. Ānaru berusaha meraihnya, namun sekali lagi tenaganya tak cukup kuat untuk mengangkat tangan.
Airyung kembali bedecak pelan. “Asal kau tahu saja, aku sama sekali tidak ada rencana menambah jumlah hari latihan kita. Kau bilang cukup seminggu, jadi aku tetap hanya akan melatihmu selama seminggu, apapun keadaannya. Tidak lebih.”
Ānaru mengangguk pelan. Meskipun ia sendiri tidak yakin bisa menjadi lebih kuat hanya dalam waktu satu minggu, tapi mungkin ini kesempatan terakhirnya mendapat mentor berkualitas dari suku penunggang kuda. Kapan lagi ia bisa punya kesempatan emas semacam itu. Khitai sudah seperti suku terbuang. Kemungkinan adanya orang-orang dari suku lain yang datang memasuki Khitai sepertinya lebih kecil dari lubang jarum.
“Aku tidak apa-apa. Ayo kita lanjut berlatih,” kata Ānaru parau, setelah Airyung berhasil meminumkan sulingan embun ke bibir Ānaru.
“Memangnya latihan macam apa yang bisa dilakukan seorang pasien yang tidak bisa bergerak begini? Kau mau berlatih meditasi? Aku bukan ahli kultivasi seperti orang-orang suku Tungsik. Aku tidak bisa mengajarimu teknik pernapasan apapun,” kata Airyung sambil tergelak.
Ānaru sekali lagi tidak berkomentar mendengar ejekan Airyung. Ia masih harus bersabar. Meski harus menahan sakit di tubuhnya, tapi mentalnya sekuat baja. Airyung kini mulai menyuapi Ānaru dengan buah-buah beri layu yang mulai mongering. Rasanya hambar dan sedikit pahit.
Gadis itu mengeluh panjang karena alih-alih menemukan orang yang dia cari, kini ia justru harus merawat pemuda menyebalkan yang lemah seperti bayi. Setidaknya ia harus bertahan selama seminggu agar Ānaru menyerah dan mau membantunya tanpa syarat aneh lainnya.
“Sementara kau makan buah-buah ini, aku akan memanggang sisa daging dombamu untuk sarapan. Akan sedikit keras karena aku sudah mengasapinya selama empat hari,” ujar Airyung yang kemudian beranjak mengasapi daging domba kering.
Ānaru mengamati gadis itu bergerak dengan gesit mengeluarkan daging domba dari kantong kulitnya yang lain. Tidak ada bumbu yang ia gunakan, dan daging itu bahkan sudah menghitam karena dibakar berkali-kali. Ānaru membayangkan bertapa keras dan hambarnya rasa makanan itu. Beruntung rahang Ānaru masih bisa bekerja dengan baik.
Lima belas menit kemudian energi mulai terisi di badan Ānaru. Tubuhnya pun mulai terbiasa dengan rasa ngilu. Sedikit demi sedikit Ānaru mulai bisa bergerak. Airyung kembali mengoleskan ramuan penyembuh lantas membebat tubuhnya dengan kain yang baru. Lukanya mulai membaik karena Airyung akhirnya bersedia mengalirkan energi hidupnya pada Ānaru.
Teknik penyembuh itu juga merupakan ciri khas suku Giyatsa. Mereka memang punya spesialisasi di bidang penyembuhan mengingat pekerjaan utama mereka adalah memburu hewan berbahaya dan karena itu mereka rentan terluka.
Ānaru iri sekali dengan kemampuan Airyung. Baik kemampuan bertarung maupun kemampuan penyembuh Airyung terlihat sangat hebat. Seandainya saja ia tidak terlahir di suku Khitai, ia pasti bisa menjadi orang sehebat Airyung. Suku Khitai adalah suku paling lemah di benua Luteria. Mereka tidak punya kemampuan apapun selain menjadi gembala.
Dulu saat dunia belum sehancur sekarang, suku Khitai adalah suku terkaya. Khitai menyuplai bulu dan daging domba ke suku-suku lain di benua. Perdagangan sangat lancar dan orang-orang Khitai sangat kaya raya. Namun karena terlena oleh hal itu, orang-orang suku Khitai melupakan hal paling mendasar yaitu kekuatan militer.
Sekarang, saat dunia diserang kinokambe, kejayaan suku Khitai lambat laun meredup. Dan karena tidak punya keterampilan lain selain menggembala, nasib orang-orang Khitai pun semakin memprihatinkan karena jatuh dalam kemiskinan.
Matahari sudah terik saat akhirnya Anaru mampu berdiri dengan kedua kakinya. Perutnya cukup kenyang walaupun hanya mengonsumsi makanan yang tidak enak. Namun tenaganya sudah pulih dan tubuhnya sudah bisa menoleransi rasa sakit dengan lebih baik. Meski masih lemah tapi Ānaru tidak mengeluh.
“Ayo kita mulai latihan lagi,” ujar Ānaru kemudian.
Airyung yang tengah sibuk menumbuk bahan-bahan ramuan aneh beraroma kuat mendongak tak percaya mendengar kata-kata Ānaru.
“Apa aku tidak salah dengar? Kau mau berlatih kondisi seperti itu?” tanya Airyung tak percaya.
Ānaru mengangguk mantap. “Aku sudah cukup istirahat.”
“Istirahat saja tidak cukup! Kau butuh memulihkan diri dulu,” gerutu Airyung.
Ānaru menggeleng. “Aku tidak bisa menyia-nyiakan kesempatanku untuk berlatih dengan orang dari suku lain. Aku tidak akan berhenti kecuali aku mati.”
Airyung segera menghentikan kegiatannya menumbuk ramuan. Sambil menghela napas panjang gadis itu pun kemudian berkemas dengan cepat lantas turut berdiri menghadapi Ānaru yang keras kepala.
“Baik. Ayo kita lihat sampai dimana kau akan bertahan hari ini,” tantang Airyung kesal.
...... ***......
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
🌹*sekar*🌹
ky kblikan antra "lolas & arael"😁
2023-03-23
0
ilfindazaka ochtafarela
nice story
2022-05-25
0
weemora
mental baja banget anaru
2022-05-10
0