Ānaru dan Airyung tengah berdebat sambil keluar dari rumah Kepala Suku saat kemudian Ānaru menyadari di muka halaman sudah berdiri dengan marah matu danumanya. Ānaru menghela napas panjang, bersiap menerima segala serapah yang mungkin disemburkan matunya. Tanpa disuruh, Ānaru pun berjalan ke tempat kedua orang tuanya berdiri.
Sebuah pukulan mendarat di kepala Ānaru, disusul punggungnya, dan bertubi-tubi ke seluruh tubuh Ānaru. Ānaru membungkuk mencoba melindungi diri, namun tidak berniat membalas. Matunya menghardik Ānaru dengan bahasa Suku Khitai yang tidak dimengerti Airyung. Suara matunya terdengar sangat marah dengan nada tinggi yang keras. Melihat Ānaru yang terpojok, Airyung segera menahan pukulan lelaki tua itu dengan tangannya. Seketika ketiga orang yang berdiri di tempat itu mematung sambil menatap Airyung.
“Kenapa kau memukulinya?” tanya Airyung masih menggenggam pergelangan tangan matu Ānaru.
“Airyung, dia ayahku…” Ānaru mencoba menjelaskan.
Airyung segera melepaskan genggaman tangannya. “Maafkan ketidaksopananku, tapi anda tidak seharusnya memukuli Ānaru seperti ini.”
Sang ayah sepertinya tidak mengerti kata-kata Airyung dan malah mengomel lebih panjang lagi dengan bahasa suku Khitai. Akhirnya Ānaru membalas kata-kata matunya dan keduanya kini terlibat perang mulut. Airyung yang tidak mengerti satu katapun hanya menyaksikan pertengkaran mereka dengan bingung.
Cekcok itu pun akhirnya mencapai puncak. Ayah Ānaru menampar pipi pemuda itu dengan sangat keras hingga Ānaru terjatuh ke tanah. Airyung buru-buru membantu Ānaru berdiri sambil menatap garang ayah Ānaru, bersiap untuk melakukan serangan balik. Tapi Ānaru menahannya.
“He wheekadang! Kotu ore tok tamai! Kau toa haere ki whare![1]” seru sang ayah mengakhiri pertengkaran mereka. Laki-laki tua itu kemudian berbalik pergi meninggalkan mereka, disusul istrinya yang sedari tadi menangis tanpa melakukan apa-apa.
Ānaru terdiam melihat kepergian matu dan umanya. Mulutnya berdarah karena tamparan matunya dan sepertinya seluruh tubuhnya akan membiru karena pukulan tanpa ampun yang diterimanya tadi.
“Apa yang terjadi?” tanya Airyung kemudian, sambil menepuk-nepuk baju Ānaru yang sudah penuh tanah.
“Ayahku mengusirku dari rumah,” jawab Ānaru sembari menyeka darah dari mulutnya.
Airyung tampak prihatin dengan keadaan Ānaru. Sepertinya ayah Ānaru murka karena Ānaru pulang tanpa membawa domba seekor pun. Airyung agak merasa bersalah karena ia juga turut andil dalam membunuh dua domba terakhir Ānaru. Mungkin kalau setidaknya masih ada dua domba tersisa, ayah Ānaru tidak akan semarah itu.
“Sepertinya aku harus tidur di luar lagi,” kata Ānaru sambil meringis menatap Airyung.
“Kalian bisa tinggal di rumahku untuk beberapa saat,” sekali lagi Ngaio datang di saat yang tepat. “Kuda milik Nona ini sudah aku tambatkan di kandang dombaku. Aku juga tinggal sendiri karena orang tuaku sudah lama meninggal. Kalian bisa beristirahat dengan nyaman, setidaknya untuk malam ini.”
“Memangnya Kaharap tidak akan mengamuk kalau kami tidur di rumahmu?” tanya Ānaru.
“Kaharap sudah dibawa kakaknya tadi. Aku menjelaskan bahwa ia terkena serangan kinokambe dan diselamatkan oleh Nona dari suku Giyatsa. Saat sadar nanti Kaharap pasti merasa berhutang budi pada Nona, jadi ia tidak akan banyak protes kalau aku membantu kalian,” jelas Ngaio panjang lebar.
Ānaru menimbang-nimbang. Kenapa Ngaio bersikap baik padanya. Masa lalu mereka sebenarnya cukup buruk mengingat Ngaio memilih meninggalkannya dan justru menjadi kekasih Kaharap, musuh bebuyutan Ānaru. Tapi Ānaru sepertinya tidak bisa meratapi sakit hatinya lebih lama lagi, karena alih-alih menolak, Airyung justru menanggapi tawaran Ngaio dengan positif.
“Namaku Airyung. Panggil saja aku begitu. Kami akan sangat berterimakasih bila kau bersedia menampung kami selama beberapa waktu,” jawab Airyung tanpa berdiskusi dengan Ānaru. Ānaru tampak hendak protes, tapi Airyung memelototinya dengan galak dan membuat pemuda itu hanya berdecih ringan.
“Namaku Ngaio, tenako,” jawab Ngaio. Ketiganya pun akhirnya berjalan menuju rumah Ngaio.
“Kenapa kau membantuku?” tanya Ānaru saat Ngaio tengah menyalakan pendiangan di dapur rumahnya, mempersiapkan makan pagi untuk tamu-tamunya.
Ānaru menatap gadis itu dengan seksama. Sejak dulu Ngaio memang sangat rajin dalam hal rumah tangga. Kedua orang tuanya meninggal dua tahun yang lalu, dan sejak itu Ngaio tinggal sendirian. Karena itu Ngaio sangat cekatan untuk mengurus hidupnya sendiri.
“Aku hanya melakukan hal yang menurutku paling tepat. Nona dari suku Giyatsa itu tidak tampak jahat.”
“Airyung… namanya Airyung,” potong Ānaru mengoreksi.
Ngaio terdiam beberapa saat sambil menatap Ānaru. “Kau ternyata sangat peduli padanya,” komentar Ngaio.
“Dia… sudah banyak membantuku,” jawab Ānaru salah tingkah, seperti pencuri yang tertangkap basah.
Ngaio tersenyum kecil. “Aku senang kalau kau sudah menemukan orang lain yang lebih baik dariku. Sejujurnya aku merasa bersalah padamu karena pergi begitu saja tanpa penjelasan. Dan justru memilih Kaharap…” ujar Ngaio lirih.
Keretak kayu bakar di pendiangan menjadi latar perbincangan mereka. Airyung sudah tidur di kamar yang disiapkan Ngaio.
“Kau tidak perlu merasa bersalah. Kaharap… memang punya lebih banyak hal dari pada aku. Bahkan kakaknya adalah seorang uluwero dan keluarganya juga cukup terpandang. Aku tidak punya apa-apa untuk bisa menahanmu agar tetap bersamaku,” kata Ānaru kembali diliputi perasaan marah. Ia marah pada dirinya sendiri yang tidak punya apa-apa lagi. Bahkan sekarang ia sudah dibuang oleh keluarganya dan dikasihani oleh mantan kekasihnya, apa lagi yang lebih menyedihkan dari ini?
Ngaio meraih tangan Ānaru yang mengepal di atas meja kayu. Gadis itu kemudian membungkuk menatap Ānaru yang tengah duduk di depan pendiangan.
“Ānaru, kau adalah orang paling berani yang pernah ku kenal. Kau punya kekuatan itu di dalam hatimu, dan itulah yang membuatku jatuh cinta padamu. Aku mungkin tidak bisa berada di sisimu saat ini. Tapi percayalah, kau pasti menemukan orang lain yang jauh lebih baik dariku,” ucap Ngaio tampak sungguh-sungguh.
Nyala api pendiangan yang berkobar-kobar membuat siluet wajah Ngaio bergerak-gerak. Namun hal itu tidak lantas melebur kecantikan parasnya. Ānaru menatap balik ke mata Ngaio yang legam. Kecantikannya masih sama, bahkan jauh lebih cantik dari ingatan terakhir Ānaru. Rambut panjang bergelombang yang dulu sering dibelai oleh Ānaru, kini tak lagi dapat disentuhnya. Ānaru menarik napas panjang, lantas menarik kepalan tangannya dari genggaman Ngaio.
“Rupanya kau membantuku karena perasaan bersalah. Kau tidak perlu mengasianiku, Ngaio. Aku bisa menjaga diriku sendiri,” ucap Ānaru yang kemudian beranjak berdiri, hendak meninggalkan Ngaio. “Tapi aku tetap berterimakasih atas bantuanmu. Terutama saat kau bersaksi atas kebohonganku tentang adanya kinokambe di pantai tadi.”
Ngaio tampak kebingungan. “Tapi memang ada kinokambe di sana. Aku dan Nona Airyung melihatnya. Dia juga yang membunuh kinokambe itu tepat sebelum makhluk itu menyerang Kaharap.”
Kini Ānaru yang balik terkejut. “Tapi aku tidak melihat apapun,” sergahnya tak percaya.
“Kau sedang membungkuk karena pukulan Kaharap. Dan kinokambe itu berubah menjadi asap hitam setelah Nona Airyung membunuhnya. Serangannya nona itu kemudian mengenai Kaharap dan membuatnya pingsan,” jelas Ngaio.
Ānaru hanya bisa melongo mendengar penjelasan Ngaio. Sepertinya gadis itu memang tidak berbohong.
...***...
[1] Dasar sialan! Kau bukan anakku! Jangan berani-berani pulang ke rumah!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments