Seorang perempuan paruh baya menyambut kedatangan Ānaru dan Airyung di dalam rumah bambu utama Desa Khitai. Perempuan itu mengenakan terusan berwarna gelap dengan ornamen singa khas suku Khitai tersemat di bagian dada, serta ornamen burung enggang di bagian rok bawahannya.
Bulu burung enggang dirangkai sedemikian rupa menjadi mahkota di atas kepala perempuan itu. Rambutnya hitam dengan beberapa helai yang sudah memutih. Di kanan kiri perempuan itu berdiri dua orang lelaki bertubuh besar mengenakan seragam uluwero. Keduanya membawa tombak panjang, alih-alih Mandau seperti uluwero lain.
“Tenako, Aroha-tanema.” Ānaru membungkuk sambil mengangkat kedua tangannya, salam khas suku Khitai.
Sang perempuan paruh baya mengangkat sebelah tangannya lantas diletakkan di atas kepala Ānaru.
“Tu ki runga[1],” ujar sang putri kepada Ānaru.
Ānaru kembali menegakkan badan, lantas melirik Airyung yang memberi salam dengan menangkupkan kepalan tangan di dadanya, salam khas suku Giyatsa.
“Salam, Putri Aroha. Saya Airyung, penunggang kuda suku Giyatsa,” ucap Airyung sambil menundukkan kepalanya.
Putri Aroha tersenyum sekedarnya, lantas berbalik dan kembali duduk di singgasana nya di ujung ruangan. Dua uluwero yang mengawalnya kemudian berdiri di belakang singgasana. Singgasana itu berwujud kursi besar dengan bantalan bulu domba sebagai tempat duduknya. Sandarannya dilapisi kain hitam dengan ornamen singa dan burung enggang terbuat dari manik-manik berkilau.
Sang Putri memasang wajah datar saat menatap Airyung. Sejujurnya Airyung tidak mengira kalau Kepala Suku Khitai adalah seorang perempuan paruh baya. Saat Ānaru menyebutkan putri, Airyung pikir usianya masih muda, setidaknya beberapa tahun di atasnya. Tapi kenyataannya beliau sudah cukup berumur. Kenapa mereka menyebutnya putri alih-alih ratu? Mungkin memang ada alasan tersendiri. Airyung tidak punya waktu untuk mengulik hal-hal di luar kepentingannya.
“Apa tujuanmu berada di Khitai?” tanya Putri Aroha kemudian.
“Saya membawa pesan dari daratan Luteria berupa ramalan Suku Ehawee mengenai masa depan benua ini. Saya harap Putri bersedia mendengarkannya,” jawab Airyung sambil masih menunduk dengan kepalan tangan di dada.
Sang Putri mengangguk pelan. “Katakanlah.”
Airyung kembali mengulang kata-kata ramalan Suku Ehawee yang sudah pernah dia ucapkan di depan Ānaru tempo hari. Sekali lagi matanya terpejam, seakan menghayati kata demi kata yang dia ucapkan.
...“Saat bulan Skirof berakhir di tahun kabisat ke dua belas...
...Gerbang Orion akan terbuka...
...Dua belas kesalahan akan ditebus...
...Oleh dua belas bintang dari duabelas penjuru...
...Mengundang murka sang pencuri kedamaian...
...Hanya dua belas atau tidak sama sekali”...
Airyung menyelesaikan kata-katanya lantas membuka mata. Ditatapnya sang Kepala Suku yang balas menatapnya tanpa ekspresi. Putri Aroha tampak sangat berwibawa dan kharismatik. Masih tersisa tanda-tanda kecantikan di wajahnya, dan raut ketegasan ditambah sorot mata yang tajam membuat penampilannya secara keseluruhan mengundang keseganan lawan bicaranya.
“Bagaimana aku bisa mempercayai kata-kata ramalan itu?” tanya Putri Aroha setelah beberapa saat mencermati Airyung.
Airyung lantas mengambil sesuatu dari balik kantong mantel bulunya. Tangannya kemudian keluar dengan sebuah bungkusan kecil berwarna coklat pudar. Dengan hati-hati Airyung menyerahkan bungkusan itu kepada Putri Aroha. Kedua uluwero yang menjaga Putri Aroha segera maju menghalangi Airyung. Salah satu di antara mereka mengambil bungkusan di tangan Airyung kemudian membukanya di depan sang Putri.
Sebuah batu permata berwarna merah berkilau dalam bungkusan itu. Batu itu relatif kecil, hanya sebesar buah beri. Ānaru memperhatikan batu kecil itu. Rasanya seperti ada yang tidak lazim dari batu itu. Sesekali, secara misterius, batu itu berkilat kemerahan, seolah mengeluarkan cahaya. Ānaru merasa di dalam batu itu seperti tersimpan cahaya yang berontak ingin keluar.
Ānaru belum pernah melihat batu semacam itu. Airyung tidak memberitahunya tentang batu itu kepadanya sebelum ini. Ia juga tidak tahu apa kaitan ramalan itu dengan batu merah yang kini tengah diamati oleh Putri Aroha. Namun sepertinya sang Putri sangat tertarik dengan barang yang diberikan oleh Airyung. Air muka Putri Aroha berubah melembut. Ia yang awalnya tampak sedikit terkejut saat melihat isi bungkusan itu, kini justru tampak bersahabat.
“Carnelian,” ujar Putri Aroha pendek.
Airyung mengangguk membenarkan. Gadis itu kembali mundur ke tempatnya dan membiarkan sang Kepala Suku mencermati Batu Carnelian itu lebih lama. Putri Aroha mengambil batu itu lantas mngangkatnya ke atas, ke arah cahaya obor di dinding belakang singgasananya. Ia seolah tengah mengonfirmasi sesuatu dan tampak puas akan hasilnya.
“Batu ini adalah simbol suku Khitai. Ini adalah potongan terakhir yang leluhurku berikan saat Benua Luteria masih dalam kedamaian. Keduabelas suku memberikan batu lambang suku masing-masing, serta mengirimkan keduabelas pahlawan suku untuk menjaga perdamaian Luteria. Namun batu ini kehilangan kekuatannya saat kinokambe berkuasa,” ucap Putri Aroha sambil mengenang masa lalu.
“Oleh karena itu saya berada di sini untuk menemukan pemilik batu ini, Putri. Pejuang Aries dari Suku Khitai,” kata Airyung kemudian.
Ānaru sekali lagi tidak pernah tahu bahwa ternyata ada legenda semacam itu di masa lalu. Setelah mendengar cerita tersebut, Ānaru menjadi begitu tertarik dengan Batu Carnelian yang dibawa sang Putri. Batu itu tampak berkilat-kilat secara harafiah. Seperti ada cahaya yang terkurung di dalamnya, dan tengah memaksa keluar. Ānaru menatap takjub pada batu bercahaya itu, yang seolah-olah batu itu memang benar-benar hidup.
“Bagaimana kau akan menemukan pemilik kekuatan batu ini?” tanya Putri Aroha yang sepertinya sudah mempercayai Airyung. Batu Carnelian itu asli. Dan hal itu sudah cukup menjadi bukti bahwa Airyung memang datang sebagai utusan. Keduabelas Batu Kristal Suci memang semestinya disimpan oleh para Peramal Suci Suku Ehawee. Tidak sembarangan orang bisa membawa-bawa batu Kristal itu kemanapun, kecuali memang dengan tujuan yang penting.
“Saya mungkin harus bertemu dengan orang-orang terkuat di Khitai,” jawab Airyung kemudian.
“Meskipun kau bilang seperti itu, orang-orang suku kami sudah lama kehilagan kekuatan. Kinokambe telah memusnahkan banyak hal dari suku ini. Dan orang-orang terbaik kami telah lama gugur melawan kinokambe. Apa kau yakin kau akan menemukannya sebelum akhir tahun ini?”
“Saya harus mencobanya terlebih dahulu. Ramalan itu tidak mungkin salah. Saya pasti bisa menemukan Pejuang Aries.” Airyung tampak yakin. Keyakinan yang dipaksakan. Setelah melihat bagaimana kualitas orang-orang Khitai, ia memang sedikit banyak menjadi ragu. Tapi misi tetaplah misi. Ia harus menemukan orang yang dia cari, bagaimanapun caranya.
“Baiklah kalau begitu, aku mengijinkanmu untuk mencari ke seluruh pulau. Atas kuasaku, kau bebas memasuki desa manapun dan bertemu dengan siapapun di pulau ini. Pergilah dengan gembala yang bersamamu. Dia mengenal seluk beluk pulau ini. Kudengar kau juga telah menyelamatkannya dari kinokambe.”
Airyung otomatis menoleh pada Ānaru. Pemuda itu sepertinya tidak terlalu mendengarkan percakapan mereka, dan justru fokus pada batu yang dipegang Sang Putri. Airyung menahan diri untuk tidak mengeluarkan decak sebal. Ia kemudian kembali menghadap Putri Aroha sambil melakukan salam suku Giyatsa.
“Terimakasih atas kepercayaan Putri. Saya akan pergi bersama Āna… gembala ini untuk menemukan orang dalam ramalan,” jawab Airyung kemudian.
Putri Aroha tersenyum puas. Ia lantas mengembalikan Kristal Carnelian kepada Airyung. Mata Ānaru terus terpaku pada Kristal itu dan baru tersadar setelah Airyung dengan sengaja menginjak kaki Ānaru keras-keras. Mereka harus segera undur diri.
...***...
[1] Bangunlah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
kucingOren
up thor!
2022-05-14
1