Tiga hari berlalu dengan cepat. Airyung sama sekali tidak menyia-nyiakan waktunya. Sepanjang hari ia berkuda dan hanya berhenti saat makan siang. Ketika hari mulai gelap, Airyung menghentikan perjalanannya dan mulai melatih Ānaru dengan beragam benda berat – batu, karang atau kayu – ditambatkan pada lengan dan kakinya. Airyung mulai mengajari gerak-gerak dasar serangan dan kuda-kuda yang baik. Sesekali Airyung mulai serius menyerang Ānaru untuk melatih pertahanan pemuda itu. Namun hal itu selalu berkahir dengan tubuh Ānaru yang terlempar sejauh tiga meter, membuat punggungnya lebam-lebam karena mencium tanah berkali-kali.
Kekuatan fisik Airyung memang tidak bisa diremehkan. Setelah berkuda seharian, Airyung masih sanggup untuk melatih Ānaru hingga jauh malam. Kemudian di pagi buta gadis itu sudah bangun untuk menyuling embun bahkan sebelum matahari benar-benar terbit. Ritme hidup Airyung mau tak mau mempengaruhi Ānaru. Meski awalnya ia menderita nyeri di seluruh tubunya, terutama bagian pinggul dan punggung karena efek berkuda tanpa henti, namun Ānaru akhirnya mulai terbiasa.
Perjalanan mereka ke Barat melalui jalur pesisir pantai. Tidak banyak pemukiman yang mereka lewati. Terkadang sesekali mereka bertemu dengan para uluwero. Tapi para uluwero ini sama sekali tidak menghalangi perjalanan mereka. Sepertinya kabar menyebar dengan cepat di pulau kecil ini. Semua orang yang mereka temui sudah mengetahui tentang misi Airyung menemukan Pejuang Zodiak di suku Khitai. Karena itu kebanyakan dari mereka justru menyapa Airyung dengan ramah.
Malam di hari ketiga sudah turun. Sesuai dengan prediksi Airyung, mereka sudah mencapai tujuan di hari ketiga saat senja hari. Sebuah desa nelayan kecil menyambut kedatangan mereka. Para uluwero penjaga mempersilakan Ānaru dan Airyung masuk ke desa tanpa banyak pertanyaan. Mereka juga memperisapkan tempat tinggal di salah satu rumah warga yang sudah cukup renta.
“Aku mencari Tangaroa, pimpinan kalian yang kabarnya sedang berada di sini,” kata Airyung pada salah seorang uluwero penjaga yang sedang mengantarnya ke rumah tempat mereka akan tinggal.
“Tangaroa pergi melaut hari ini. Dia baru saja berangkat. Mungkin akan kembali dini hari nanti,” jawab uluwero dengan rajah singa di pundak kirinya. Rajah itu memanjang hingga ke punggung dan kakinya. Beragam bentuk singa besar dan kecil tersusun rapi membentuk pola yang indah di tubuh uluwero itu. Rajah setengah badan menunjukkan bahwa posisi uluwero itu cukup penting. Di Khitai, rajah merupakan penanda posisi kekuatan. Semakin banyak rajah yang ditatahkan di tubuh, maka semakin kuat orang itu.
Airyung mengeluh pelan karena harus menunggu lagi. Tapi ia tidak berkata apa-apa sampai mereka tiba di rumah tempat mereka akan tinggal. Berbeda dengan kediaman Ngaio, rumah di desa ini jauh lebih kecil dan agak reot. Kandang-kandang domba berubah menjadi kebun kecil berisi tanaman hijau yang tumbuh rendah. Rumah yang akan mereka tinggali termasuk rumah yang paling bersih di antara yang lain. Meski begitu kayu-kayu penyangganya tampak sudah lapuk karena usia.
Seorang wanita tua beruban berjalan bungkuk keluar dari rumah untuk menyambut mereka. Sang uluwero menjelaskan kepada wanita itu dalam bahasa Khitai tentang tamu-tamunya yang baru datang. Perempuan tua itu tampak mengangguk-angguk paham, lantas tersenyum dan menyambut mereka dalam bahasa Khitai. Ānaru membalas sapaannya dengan bahasa yang sama.
“Argh punggungku…” rintih Ānaru sambil memijit punggungnya. Ia kemudian merebah di kursi bambu panjang yang ada di samping ruangan. Airyung di sisi lain, tengah melucuti kudanya dari pelana dan kantong-kantong kulit yang menggantung. Tsagan kemudian ia tambatkan pada sebuah kandang kosong yang sepertinya bekas kandang domba yang sudah lama tidak dipakai.
“Ayo kita lanjut berlatih di pantai sambil menunggu Tangaroa,” ajak Airyung kemudian.
“Tidak bisakah kita beristirahat sebentar. Pinggangku rasanya mau patah,” rengek Ānaru.
Airyung menghela napas pendek menanggapi. “Bagaimana kau akan menjadi kuat kalau semalas ini,” kata Airyung.
Ānaru mendesah putus asa. Beruntung keadaannya diselamatkan oleh kedatangan wanita tua pemilik rumah.
“Tone kao horoi katu kai he roto[1],” ucap wanita itu.
“Maruui [2],” jawab Ānaru sumringah. “Dia menyuruh kita untuk mandi lalu makan malam, Airyung. Kita tidak boleh menolak kebaikan orang tua yang sudah bersusah-susah menyiapkan makanan,” lanjut Ānaru riang karena berhasil mendapat alasan untuk menunda waktu latihannya dengan Airyung.
Airyung berdecak kesal. Ānaru memang orang yang gigih, namun terkadang ia mudah mengeluh dan bersikap seenaknya. Airyung akhirnya mengalah. Ia menurut lalu masuk ke rumah dan bersiap makan malam.
...***...
... ...
Debur ombak menjadi latar latihan mereka malam itu. Di atas pasir putih yang basah, Ānaru memasang kuda-kuda. Lautan tampak berkilau karena cahaya bulan sabit yang bersinar di langit.
“Kuatkan lagi kaki kirimu! Tekuk lutut lebih dalam!” seru Airyung memberi perintah.
Ānaru menurut. Lengan dan kakinya kini dibebat menggunakan batu-batu karang keras yang tajam di setiap sisinya. Kulit lengannya terluka dan lebam karena latihan keras menggunakan karang. Rasa perih itu semakin menjadi setiap gelombang air laut menyapu pinggir pantai dan terciprat mengenainya. Tapi Ānaru memilih menahan segala bentuk siksaan itu.
“Sekarang serang sisi kiriku dengan tangan kananmu. Lakukan dengan cepat agar aku tidak bisa menghindar,” perintah Airyung lagi.
Ānaru melancarkan pukulan tangan kanannya secepat yang dia bisa. Airyung menghindar dengan lentik. Namun Ānaru tak habis akal, belum selesai pukulan tangan kirinya menggapai tubuh Airyung, Ānaru segera bermanuver lantas mengubah serangannya dengan memutar tubuhnya dan melancarkan tendangan dengan kaki kiri. Upaya ini sepertinya tidak diduga oleh Airyung. Gadis itu terkena tendangan Ānaru dengan telak lantas terdorong sekitar satu meter, sebelum akhirnya mampu menguasai diri dan tetap berdiri meski agak terhuyung.
“Bagus Ānaru! Manuver yang luar biasa. Kau sudah bisa berpikir cepat untuk menyerang bagian yang terbuka. Gerakanmu juga semakin cepat meski menggunakan pemberat batu karang,” puji Airyung yang tampak puas.
Ānaru tersengal dengan napas putus-putus karena kelelahan. Namun pujian itu cukup melambungkan hatinya. Rasanya semua keletihan dan kerja kerasnya terbayar saat mendengar pujian kecil Airyung.
“Tapi jangan cepat puas. Perjalananmu masih panjang untuk menjadi kuat,” kata Airyung mengingatkan, lalu kembali memasang kuda-kuda untuk bersiap menyerang.
Namun, belum sampai Airyung melancarkan serangan, tiba-tiba suasana pantai berubah. Cahaya bulan meredup, seolah ada awan gelap berarak menutupi langit. Laut tampak lengang dan riak-riak air tidak lagi berkilau. Api unggun yang dinyalakan Airyung meredup dengan cepat, nyaris mati. Airyung segera berubah waspada. Secara instingtif ia tahu apa yang tengah menghampiri mereka. Ānaru yang sudah pernah mengalami hal serupa pun turut waspada. Sebentar lagi, ancaman yang lebih berbahaya mungkin akan datang.
...***...
[1] Silakan membasuh diri lalu makan malam di dalam.
[2] Terimakasih.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
ilfindazaka ochtafarela
nice story
2022-05-25
0