Seperti hari sebelumnya, Airyung kembali menyuruh Ānaru berlari mengejarnya yang mengendarai Tsagan. Kudanya itu berderap dengan kencang. Tanpa ampun, Airyung sama sekali tidak memberikan kelonggaran sekalipun Ānaru sedang tidak berada dalam kondisi prima.
Ānaru di sisi lain, tampak kepayahan mengikuti laju tunggangan Airyung. Meski begitu, kekuatan mental Ānaru sama sekali tidak bisa diremehkan. Walau kadang tertatih dan kesulitan mengimbangi jarak, Ānaru terus berlari hingga senja tiba.
Matahari sudah hampir terbenam ketika Ānaru akhirnya merebah sempurna ke tanah kering. Napasnya tersengal putus-putus. Ia sama sekali tidak mengerti manfaat latihannya dua hari belakangan. Ia hanya terus berlari dan Ānaru semakin yakin bahwa Airyung sebenarnya sama sekali tidak berniat melatihnya dengan serius. Berkali-kali Ānaru berniat menyerah.
Namun semakin lama ia berlari, semakin ia ingin membuktikan pada Airyung bahwa ia cukup kuat untuk menjadi petarung. Keadaan saat ini bukan lagi tentang keinginan Ānaru untuk menjadi uluwero. Ini adalah perang harga diri, dan Ānaru sama sekali tidak berniat kalah terlebih oleh seorang perempuan.
“Hari ini cukup sampai di sini. Ayo kita makan malam.” Airyung menghela kudanya menuju pohon kering tempat Ānaru terbaring pagi tadi. Gadis itu kemudian mulai mengumpulkan ranting lantas menyalakan api unggun.
Udara malam yang dingin mulai melingkupi Ānaru. Tubuhnya sudah sempurna terbakar matahari karena berlari di siang yang terik dua hari berturut-turut. Meski sudah di ambang batas kelelahan, Ānaru masih bisa menyeret tubuhnya mendekat ke api unggun yang dibuat Airyung. Gadis itu tidak berkata apapun saat Ānaru merebah di sebelahnya. Peluh Ānaru masih tersisa dan menetes di sekujur tubuh.
Airyung menghela napas pelan, lalu mengeluarkan selembar kain putih lembut yang dia simpan di balik mantel bulunya.
“Berbaliklah,” ucap Airyung.
Ānaru menurut. Ia membalikkan tubuhnya yang sudah bertelanjang dada. Airyung menyeka tubuh Ānaru dengan lembut. Meski hanya dua hari berlari tanpa tujuan jelas, otot-otot Ānaru sudah terasa semakin kuat. Airyung cukup terperangah melihat kondisi fisik Ānaru.
Pemuda itu sebelumnya bertubuh ringkih dengan otot lemah. Namun setelah dua hari berlatih fisik, badannya sudah terasa lebih kokoh. Ini benar-benar kejadian yang mustahil. Bahkan Airyung yang sudah kuat sejak lahir butuh waktu satu bulan untuk membentuk otot semacam ini, dan dengan latihan yang tepat tentu saja.
Airyung kemudian beralih ke luka di punggung Ānaru. Sekali lagi, secara mengejutkan luka-luka Ānaru sudah mulai mengering dan tidak lagi meradang. Gadis itu kembali bertanya-tanya apakah manusia bisa menyembuhkan diri hanya dengan kekuatan tekad.
Mau tak mau Airyung pun mengakui bahwa Ānaru memang berbeda dengan kebanyakan penggembala yang dia temui sebelumnya. Setelah menjelajahi suku Khitai selama hampir dua minggu, Airyung hanya bertemu dengan orang-orang lemah yang selalu berlari kabur saat melihatnya. Bahkan uluwero yang selalu dibanggakan Ānaru pun langsung tumbang dalam sekali pukulan.
Sementara pemuda di hadapannya ini berbeda. Ānaru sepertinya punya potensi yang mungkin tidak dia sadari. Bukan hanya soal tekad, tubuh Ānaru menyimpan kemampuan yang kuat.
“Apa kau pernah melatih tubuhmu dengan serius sebelum ini?” tanya Airyung saat kembali mengoleskan ramuan penyembuh.
“Aku kadang bertarung dengan beberapa uluwero sombong yang menyebalkan,” ungkap Ānaru sembari membayangkan Kaharap, musuh bebuyutan yang sudah merebut kekasihnya.
“Domba-dombamu bahkan lebih kuat dari uluwero-uluwero itu,” sanggah Airyung. “Maksudku lebih dari itu. Seperti misalnya, latihan fisik yang lebih berat.”
Ānaru menggeleng. “Aku kadang mengangkat beberapa domba yang akan disembelih. Atau domba yang mati kelaparan. Apa itu termasuk latihan?”
Airyung berdecak kesal. Tak ada jawaban Ānaru yang memuaskan. Bagaimana mungkin ia tidak mengenali kemampuan Ānaru saat pertama bertemu? Kekuatan tubuhnya seperti tertidur lama dan baru bangkit karena latihan keras dua hari belakangan.
“Apa ini yang disebut kemampuan bertahan hidup makhluk lemah?” Airyung bergumam pada dirinya sendiri.
“Hah, apa kau bilang?” tanya Ānaru yang hanya samar-samar mendengar gumaman Airyung.
“Ah, tidak. Bukan apa-apa,” sergah Airyung kemudian. “Coba kau ceritakan tentang dirimu, Ānaru.”
“Tidak ada yang menarik dalam hidupku. Apa yang kau harapkan dari seorang penggembala. Hanya domba-domba dan rutinitas yang sama setiap hari,” jawab Ānaru tampak bosan.
“Aku justru ingin mendengar ceritamu yang sepertinya lebih menarik. Bagaimana kau sampai disini? Bukankah suku Giyatsa tinggal jauh di utara? Apa kau menunggang kuda sejauh itu sampai menyeberang laut? Bagaiamana kehidupan di suku Giyatsa? Kudengar kalian gemar berburu hewan-hewan buas.” Ānaru balik memberondong Airyung dengan pertanyaan bertubi-tubi.
“Sepertinya tubuhmu sudah membaik. Atau kau memang selalu cerewet saat malam datang?” komentar Airyung geli.
“Aku hanya pensaran.” Pendek, Ānaru menjawab.
Airyung tersenyum kecil menanggapi kepolosan Ānaru.
“Aku adalah salah satu anggota Têmir, kelompok pemburu elit di Giyatsa. Semenjak chögörü merajalela, anak-anak suku Giyatsa diwajibkan mengikuti pelatihan Têmir. Kami terpaksa berpisah dengan keluarga kami semenjak usia lima tahun, dan harus tinggal di barak pelatihan di hutan Pegunungan Putih. Tidak semua anak lolos seleksi Têmir. Beberapa dari kami meregang nyawa karena pelatihan yang berat atau serangan chögörü.” Airyung memulai ceritanya.
“Pada usia tertentu setelah kami dinyatakan lulus dari serangkaian tes, anak-anak akan mendapatkan kuda masing-masing yang akan menemani kami sepanjang hidup. Aku sendiri mendapatkan Tsagan dari ayahku. Tsagan adalah keturunan kuda terbaik keluargaku. Dia sudah bersamaku sejak masih sangat muda.”
Kuda putih Airyung mendengus seolah tahu bahwa Airyung tengah membicarakannya. Airyung menepuk-nepuk moncong kudanya dengan sayang.
“Karena sudah terbiasa hidup dengan keras sejak kecil, kami bisa mengitari benua hanya dengan kuda. Jadi benar yang kau bilang, aku memang menunggang kuda untuk sampai di sini. Apakah ceritaku sudah menjawab pertanyaan-pertanyaanmu?,” kata Airyung menutup penjelasannya.
Mata Ānaru tampak berbinar-binar. Cerita hidup Airyung ternyata sangat menarik. Berbeda dengan hidupnya yang membosankan, Airyung tumbuh dengan masa kecil yang begitu menantang.
“Pantas saja kau bisa sehebat ini, Airyung. Setelah mendengar ceritamu tadi, juga melihat kemampuanmu, aku jadi semakin mengagumimu. Mulai sekarang aku akan menghormatimu sebagai guruku. Aku benar-benar beruntung bisa bertemu denganmu,” kata Ānaru tulus.
Wajah Airyung tiba-tiba merona mendengar jawaban Ānaru. Ia tidak mengira Ānaru akan berkata seperti itu setelah mendengar ceritanya. Masa kecilnya yang mengerikan justru membuat Ānaru lebih menghargainya. Entah kenapa kini masa lalu kelam Airyung itu tidak lagi terasa buruk.
“Itu… itu bukan apa-apa. Ada banyak anak-anak lain yang lebih hebat dariku. Mereka dikirim ke suku-suku yang lebih berbahaya dari pada Khitai. Aku… tidak sehebat itu,” sahut Airyung tergagap karena tidak terbiasa mendapat pujian tulus semacam itu.
“Bagiku kau adalah guru yang paling hebat, Airyung, Aku merasa bahwa aku bisa belajar banyak hal darimu.” sekali lagi kata-kata Ānaru membuat wajah Airyung yang seputih salju semakin memerah.
“Bukannkah aku sudah banyak menyiksamu dua hari ini?” tanya Airyung kemudian.
“Bila dibandingkan dengan yang sudah kau alami, latihanku ini bukanlah apa-apa. Dan mengingat aku baru mulai latihan setelah cukup dewasa, tidak mengherankan kalau tubuhku kepayahan. Tapi setelah ini, aku akan berlatih lebih keras lagi agar tidak mengecewakanmu.”
Senyuman lebar merekah di wajah Airyung. Padahal pagi tadi Ānaru masih menyumpahinya dengan bahasa suku Khitai. Tapi malam ini pemuda itu menobatkan Airyung sebagai gurunya. Senyuman Airyung berubah menjadi gelak tawa setelah mengingat hal itu. Pemuda di hadapannya ini entah terlalu polos atau terlalu bodoh. Sepertinya satu-satunya hal yang ada dipikiran Ānaru adalah untuk menjadi kuat.
Karena itu, meski Airyung sudah menyiksanya sedemikian rupa, Ānaru masih dapat berpikir sepositif ini. Airyung agak merasa bersalah karena dua hari belakangan ia sudah berusaha membuat Ānaru menyerah. Kini di mata Airyung, kesan menyebalkan Ānaru agak sedikit memudar. Sepertinya ia bisa melatih Ānaru dengan lebih serius setelah ini.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Iroshiki
Ehemm.. merona
2023-05-13
0
Ryoka2
Mampir lagi Thor 👍
2022-05-26
0
ilfindazaka ochtafarela
keren banget ceritanya
2022-05-25
0