Ānaru harus memilih dua opsi: bertahan atau menyerah. Umumnya Ānaru bukan tipe orang yang dapat bertahan melakukan perintah tak masuk akal dari orang lain. Apalagi apa yang ia kerjakan benar-benar tak berguna. Alih-alih belajar teknik-teknik bela diri, Ānaru hanya melakukan hal remeh yang sia-sia dan begitu menyiksa.
Terlebih orang yang terus menyiksanya adalah seorang perempuan yang tingginya sejengkal lebih pendek dari tubuh Ānaru. Padahal Ānaru tergolong pendek untuk ukuran pemuda seumurannya. Belum lagi perempuan itu juga lebih kecil dari Ānaru yang sebenarnya juga tidak bisa disebut berisi.
Tapi Ānaru tidak mau menyerah. Ia harus bertahan meskipun seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk oleh ribuan jarum. Ia tetap akan bertahan dari segala tindakan kejam yang dilakukan oleh Airyung.
Semenjak permintaan Ānaru untuk menjadi seorang petarung, Airyung benar-benar serius melatihnya. Bahkan kadang Ānaru curiga sebenarnya Airyung berniat balas dendam padanya dan berusaha membuat pemuda itu menyerah.
Seletah pembicaraan mereka kemarin, Airyung akhirnya setuju untuk menunda perjalanan mereka dan melakukan latihan intens selama satu minggu sebelum acara perekrutan uluwero di desa.
Ānaru berjanji bila ia berhasil menjadi seorang uluwero, ia akan bicara pada Putri Aroha tentang ramalan suku Ehawee. Dengan begitu Airyung bisa leluasa mencari sang terpilih ke seluruh pelosok desa.
Meskipun tampak tak yakin dengan janji yang diucapkan Ānaru – sekalipun sebenarnya lebih tidak meyakinkan Ānaru dapat diterima menjadi uluwero – namun Airyung tak punya pilihan lain. Keduanya pun memilih menetap di sebuah hutan mati yang jauhnya kurang lebih empat hari perjalanan jalan kaki ke desa Kitai.
Disebut hutan mati karena di tempat itu ditumbuhi banyak sekali pohon-pohon kering tanpa daun yang berwarna coklat kehitaman. Hanya ada satu dua pohon yang masih memiliki daun meski sebagian besar telah mengering. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di hutan mati tersebut selain beberapa serangga yang bisa bertahan di tempat kering.
Tempat itulah ‘neraka penyiksaan’ bagi Ānaru. Airyung tampaknya tidak membuang-buang waktu untuk mulai melakukan latihan intensif bagi Ānaru. Ia menyuruh Anaru berlatih di bawah hujaman sinar matahari yang terik dengan bertelanjang dada.
Dari waktu ke waktu Airyung hanya menyuruh Ānaru berlari kesana kemari sementara Airyung berkuda di belakangnya. Pemuda itu berlari dari satu pohon ke pohon yang lain.
“Ini benar-benar tidak masuk akal! Aku ingin bertarung, bukan melarikan diri!” seru Ānaru sambil terus berlari. Nafasnya putus-putus karena kelelahan.
“Kadang kau perlu melarikan diri ketika bertemu lawan yang terlalu kuat,” jawab Airyung ringan.
“Tidak akan,” kata Ānaru terengah-engah. Ia menghentikan larinya lalu rebah di atas tanah yang panas. Bahkan tanah kering yang terbakar matahari itupun tak lagi terasa panas di tubuhnya. Punggungnya sepertinya sudah mati rasa karena hujaman sinar matahari yang menyengat.
“Siapa yang menyuruhmu malas-malasan?” Airyung menghela Tsagan untuk berjalan mengitari pemuda itu.
“Sebenarnya apa gunanya latihan ini? Seharian aku hanya berlari kesana kemari…” keluh Ānaru kesal.
“Jangan manja. Kecepatan adalah yang utama untuk penunggang kuda,” jawab Airyung asal-asalan.
“Kau pikir aku kuda!” sergah Ānaru emosi.
“Itulah masalahnya. Karena kau tidak punya kuda kau harus bisa berlari secepat kuda,” sahut Airyung nyaris tanpa berpikir.
“Jangan main-main…”
“Sudahlah. Lakukan saja perintahku. Latihan ini juga bisa meningkatkan staminamu. Ini baru hari pertama tapi kau sudah merengek seperti seorang gembala. Ah maaf, kau memang seorang gembala,” ejek Airyung sambil terkekeh.
Ānaru bangkit berdiri karena kemarahan. Ia bersiap untuk mengejar Airyung namun gadis itu telah lebih dulu menghela kudanya untuk berlari menjauh dari Ānaru.
“Kalau kau memang begitu marah coba tangkap aku dengan tanganmu sendiri!” seru Airyung sambil terus berkuda menjauhi Ānaru.
“Aku benar-benar akan melumatmu dengan tinjuku begitu berhasil kutangkap!” seru Ānaru geram. Pemuda itu pun kembali berlari mengejar Airyung.
Ānaru terus menyumpah sepanjang malam. Meski fisik dan mentalnya benar-benar lelah, tapi tampaknya mulutnya bisa terus bicara. Mungkin itu satu-satunya cara untuk mengungkapkan kemarahan dan emosinya yang meledak-ledak.
Tidak ada bagian tubuh lain selain mulutnya yang masih bisa ia gerakkan. Seluruh persendiannya sakit dan punggungnya melepuh. Ia hanya bisa tidur tengkurap dengan Airyung duduk di sampingnya sambil mengoleskan ramuan penyembuh dari sukunya.
Airyung yang semula tampak puas bisa mengerjai Ānaru kini tak lagi gembira. Sebaliknya ia malah merasa kesal karena pemuda itu menjadi begitu berisik dengan melontarkan makian-makian yang tak dimengertinya. Gadis itu menarik nafas panjang setiap beberapa menit sekali dan menahan keinginannya untuk berhenti mengoleskan ramuan penyembuh.
“Ini minumlah dulu. Kau pasti haus terus bicara selama berjam-jam,” kata Airyung yang dengan sabar menuangkan air hasil sulingan embun yang ia kumpulkan setiap pagi.
“He wheekadang! Kotu wkara kotu ewa?! Tia maku tok inu![1]” geram Ānaru menepis wadah minum bambu yang disodorkan Airyung. Air dalam wadah itu tumpah di atas tanah kering yang dengan cepat menyerapnya hingga tak bersisa.
Airyung menghela nafas tak sabar. Ia memungut kembali wadah bambunya dengan tangan bergetar menahan amarah.
“Kau tahu bagaimana sulitnya aku mengumpulkan embun setiap pagi. Kau tidak perlu bertingkah terlalu dramatis begitu kan? Kau mau kita mati kehausan?” kata Airyung mencoba bicara baik-baik dengan mulut nyaris terkatup.
“Pale! Pirou tagata koruu uloh mat![2]”
“Terserah! Bicara saja terus sesukamu! Aku tak peduli!” seru Airyung melempar sisa-sisa ramuan penyembuh yang becek ke punggung Ānaru dengan kekuatan penuh. Ānaru mengerang kesakitan. Ia lalu bangun dari posisinya lalu duduk menghadap ke arah Airyung yang telah berjalan ke sisi lain api unggun.
“Sakit tahu!” protes Ānaru marah.
Airyung diam saja dan berpura-pura tak mendengar.
“Kau pikir masuk akal membuatku berlari sepanjang hari?! Hanya berlari! Kau sudah berjanji untuk mengajariku bertarung bukan untuk melarikan diri!” seru Ānaru yang sudah naik pitam.
“Aku memang mengajarimu bertarung. Dasar-dasar pertarungan adalah kelincahan. Dengan berlari lebih cepat kau sudah melatih kelincahanmu. Berlari juga bagus untuk membentuk stamina. Aku cuma punya waktu tujuh hari untuk melatihmu. Ini adalah cara terbaikku mengajarimu dalam waktu yang sempit,” jawab Airyung beralasan.
“Tapi aku sama sekali tidak mempelajari gerakan apapun. Menebas, memukul atau teknik-teknik yang lebih berguna lainnya!”
“Kau bisa menyerang dengan instingmu sendiri nanti. Untuk saat ini yang terpenting adalah kelincahan. Kalau kau sudah cukup gesit, kau bisa menghindari atau menyerang uluwero-uluwero lemah itu,” Airyung terus bersikeras.
“Uluwero tidak lemah! Kau saja yang terlalu kuat! Dasar tidak manusiawi!” serapah Ānaru kembali merajam.
Airyung sudah malas berdebat. Ia hanya ingin segera menemukan orang dalam ramalan. Tapi sekarang langkahnya justru harus dibebani oleh pemuda menyebalkan yang ngotot tanpa bisa mengukur kemampuannya sendiri. Karena lelah mendengar ocehan Ānaru, akhirnya Airyung memilih pergi tidur lebih dulu malam itu. Satu hari lagi terlewat tanpa meghasilkan apa-apa
...***...
[1] He wheekadang! Kotu wkara kotu ewa?! Tia maku tok inu! : Dasar sialan! Kau pikir kau siapa? Aku tidak butuh air mimummu!
[2] Pale! Pirou tagata koruu uloh mat! : Masa bodoh! Orang busuk sepertimu pantas mati!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Iroshiki
kak. itu Anaru pake bahasa apa ya?
2023-05-13
0
Kerta Wijaya
🤟
2022-10-21
0
ilfindazaka ochtafarela
good story
2022-05-25
0