Pemuda itu bermimpi menjadi seorang uluwero. Dalam mimpinya, ia mengenakan seragam kebesaran pasukan Khitai tersebut – celana pendek dan pakaian abu-abu tanpa lengan dengan ornamen berwujud singa berwarna merah dan kuning berhiaskan manik-manik serta bulu burung enggang –.
Ia tengah berada dalam ritual penobatan. Di depan tahta batu berbentuk punden berundak, pemuda itu berlutut khusyuk. Putri Aroha, pemimpin suku Khitai, menyematkan ikat kepala berhias bulu burung enggang ke kepalanya sambil mengucapkan sumpah penobatan.
Pemuda itu benar-benar bangga. Di sudut matanya ia melihat matu dan uma-nya tersenyum bahagia. Akhirnya ia dapat membuktikan pada semua orang bahwa ia memang seorang uluwero. Ia adalah laki-laki terhormat. Di sudut lain matanya pemuda itu juga melihat Kaharab, laki-laki yang telah merebut kekasihnya, Ngaio.
Kaharap berdiri di samping Ngaio dengan wajah masam. Jelas terlihat ia merasa iri dengan posisi yang tidak dimilikinya. Ia hanya seorang gembala biasa. Pemuda itu tampak puas. Diliriknya Mandau yang tersarung rapi di pinggangnya. Ia benar-benar telah menjadi seorang uluwero.
Samar-samar pemuda itu mendengar suara derak kayu dan mencium aroma daging panggang. Mungkin uma-nya tengah memasak domba panggang untuk merayakan penobatannya. Bahkan cuaca terasa bersahabat. Ia merasa sangat hangat meski hanya mengenakan celana pendek dan pakaian tanpa lengan.
Tunggu. Apa?! Hangat? Penobatannya dilakukan siang hari. Seharusnya matahari yang terik terasa membakar di siang hari. Bagaimana bisa ia merasa hangat? Mendadak rasa panas mulai menjalar dari bahu kirinya, disusul nyeri yang tak tertahankan. Pemuda itu mengerang keras lalu terbangun.
Di hadapannya kini sudah menyala api unggun besar dengan sebongkah daging domba tengah dipanggang di atasnya. Tutup kepala burung enggangnya berada tak jauh darinya, tergeletak begitu saja di atas tanah. Dengan bingung pemuda itu berusaha bangun dari posisi tidurnya.
Namun rasa nyeri di bahu dan lengannya membuat pemuda itu akhirnya memutuskan untuk tetap pada posisi semula. Ia hanya menoleh ke segala arah untuk mencari penjelasan akan kondisinya. Tak berapa lama kemudian ia melihat seorang gadis berpakaian aneh duduk di sisi seberang.
Gadis itu mengenakan mantel bulu aneh dan topi yang memiliki ekor. Jelas bukan jenis pakaian yang dapat ditemukan di pulau tersebut.
“Ewa kotu?” tanya pemuda itu setengah mengerang.
Gadis itu mendongak menatap sang pemuda dengan sepasang mata abu-abu cemerlang. Senada dengan warna matanya, rambut gadis itupun berkilau keperakan dan tergerai sepanjang punggung. Namun meski rambutnya berwarna putih keperakan, sepertinya gadis itu seumuran dengannya.
“Ewa kotu? He nare tok saba?[1]” ulang pemuda itu.
Gadis itu tetap terdiam sambil menatapnya. Pemuda itu mendengus putus asa. Sepertinya sia-sia bicara dengan gadis itu. Entah ia memang bisu atau menolak bicara dengannya, yang jelas sepertinya gadis itu tidak berniat buruk terhadapnya.
“Tok ara Ānaru. Tēnāko[2],” kata pemuda itu mencoba ramah.
Gadis itu tampak menghela nafas lelah. Ia kemudian mulai menyodok-nyodok kayu yang membara di tengah api.
“Dengar. Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kau katakan. Aku juga tidak yakin kau mengerti kata-kataku. Tapi setidaknya aku harus mencoba bicara. Bila memang kau tak mengerti apa yang kukatakan…” kata gadis itu kemudian membuat tanda silang di depan mulutnya dengan dua jari telunjuk.
“… lebih baik kita tidak saling bicara,” lanjut gadis itu pendek. Ia kemudian mulai membalik bongkahan daging domba yang sudah mulai matang.
Di sisi lain, pemuda itu, Ānaru, tampak terperangah. Ia menatap gadis itu dengan tatapan tak percaya. Seharusnya ia tahu gadis itu tidak berasal dari Khitai. Pakaian serta penampilannya tidak seperti orang Khitai. Orang-orang Khitai memiliki rambut hitam dan mata yang juga hitam cemerlang, seperti milik Ānaru.
Pemuda itu pun memiliki rambut cepak yang sedikit berantakan serta bola mata hitam yang selalu penuh semangat. Orang-orang Khitai juga rata-rata berkulit kuning langsat, sementara kulit gadis itu seputih awan yang berarak di langit siang.
“Kau bukan orang Khitai…” desah Ānaru takjub. Sebenarnya banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan Ānaru. Namun hanya satu kalimat itu yang berhasil terucap di bibirnya.
“Apa kau bilang?” tanya gadis itu kemudian. Ānaru buru-buru mengerjap untuk menyadarkan pikirannya.
“Maaf, seharusnya aku tahu kau tidak mengerti bahasa Khitai. Mmm… Namaku Ānaru… senang bertemu denganmu,” kata Ānaru terbata-bata.
“Oh syukurlah kau bisa bahasa umum. Hampir semua gembala yang kutemui sebelum ini tidak mengerti apa yang kukatakan. Syukurlah aku bertemu denganmu,” kata gadis itu tampak benar-benar gembira.
Ānaru tersenyum kecil. Tentu saja ia bisa bahasa umum. Ia sudah menghabiskan puluhan ekor domba matu-nya untuk membayar seorang uluwero agar mau mengajarinya bahasa tersebut. Itu adalah salah satu syarat untuk menjadi seorang uluwero, jadi ia benar-benar berusaha keras untuk menguasainya. Ānaru memang serius ingin mewujudkan cita-citanya.
“Pulau Khitai memang jauh dari daratan Luteria. Tidak ada banyak interaksi dengan orang di luar pulau ini, karena itu tidak banyak orang merasa perlu belajar bahasa umum,” kata Ānaru menjelaskan.
“Yah, aku tahu. Itu salah satu kendala yang cukup serius,” sahut gadis itu mengangkat sebelah alisnya.
Ānaru mendengus kecil. Ia tak menyangka akan mengalami petualangan hebat ini setelah enam hari meninggalkan rumahnya. Ia bertemu makhluk buas kemudian gadis dari suku lain.
“Tunggu. Kalau kau tidak berasal dari sini, berarti kau adalah orang dari suku lain. Kau adalah musuh Khitai! Bagaimana kau bisa memasuki pulau kami dan melewati penjagaan para uluwero?!” seru Ānaru terperangah. ia segera terbangun dari tidurnya dan sejenak melupakan rasa sakit di bahunya.
Keputusan itu berakibat fatal, karena detik berikutnya bahunya kembali berdenyut-denyut nyeri. Tapi Ānaru tak peduli. Sebagai calon uluwero, ia harus melindungi sukunya dari penyelundup asing.
Tapi sepertinya gadis itu tampak tenang-tenang saja. Ia malah sempat mengiris daging domba dengan belatinya dan memberikan potongan daging itu pada Ānaru. Tapi pemuda itu bergeming. Ia masih menatap si gadis dengan curiga. Akhirnya gadis itu menyerah. Ia mengela nafas sejenak lalu kembali ke tempat duduknya.
“Itulah yang kubenci dari suku kalian. Orang-orang Khitai selalu curiga pada orang asing. Kalian terlalu menutup diri dan menganggap diri kalian hebat. Kutanya padamu, apa untungnya menyerang Khitai? Kalian sudah tidak punya apa-apa lagi.
Padang rumput yang subur dan kawanan ternak yang melimpah itu hanya masa lalu. Kini semuanya sudah hilang. Kalian bahkan tidak punya gaya hidup yang cukup beradab,” komentar gadis itu sambil menggigit potongan daging dombanya.
“Apa kau bilang?! Kami tidak beradab?! Lihat siapa yang bicara?! Diam-diam menyusup kemari tanpa identitas yang jelas. Aku yakin kau sudah membunuh pasukan uluwero yang berjaga di pintu masuk Khitai untuk bisa sampai kemari!” seru Ānaru penuh emosi.
Ia kemudian bangkit berdiri dan mencari-cari pisau kecilnya. Tapi sepertinya gadis itu telah menyembunyikan pisau itu. Ānaru memutuskan untuk menyerang gadis itu dengan kepalan tinjunya. Tapi dengan lincah gadis itu berkelit menghindari serangan-serangan Ānaru, bahkan sambil masih menggigiti daging dombanya.
[1] Apa yang terjadi padaku?
[2] Namaku Ānaru. Salam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Iroshiki
keren... aku takjub kak
2023-05-10
0
Kerta Wijaya
🤟🤟
2022-08-23
0
Ryoka2
Tulisannya rapi, suka❤️
2022-05-25
0