Pagi mulai menjelang dan kabut dingin tersibak oleh hangatnya sinar matahari. Ānaru menguap pelan sambil menggeliat. Dia akhirnya setuju untuk membawa Airyung ke desa dan membantu menemukan orang yang dia cari.
Keduanya sudah mulai melakukan perjalanan kembali ke desa Khitai dengan menunggangi kuda milik Airyung. Kuda tersebut berwarna putih bersih dengan surai-surai perak yang berkilau setiap terkena cahaya matahari.
Airyung bilang kudanya yang bernama Tsagan itu adalah seekor kuda jantan yang masih muda. Dia tahu karena dialah yang membesarkan kuda itu sejak kecil.
Kuda tersebut memiliki badan yang kuat dan berotot serta mampu berderap begitu cepat. Ānaru menduga bila mereka terus berkuda tanpa istirahat mereka bisa mencapai desa hanya dalam waktu dua hari dengan kecepatan tersebut.
Meski begitu Ānaru sedikit cemas karena harus kembali ke rumah tanpa domba-domba milik matu-nya. Ānaru bergidik ketika membayangkan amukan matu-nya nanti. Meski ia tidak suka pekerjaan sebagai gembala, namun ia juga tahu bahwa domba-domba itu satu-satunya kekayaan keluarganya.
Mereka tidak punya apa-apa lagi selain domba. Dan Ānaru bahkan belum berhasil menjadi uluwero untuk dapat menafkahi keluarganya. Sedikit banyak Ānaru merasa bersalah.
“Airyung, sebelum kita sampai di desa, bisa aku bicara sebentar padamu?!” seru Ānaru di tengah suara derap Tsagan yang kuat.
Airyung menghela Tsagan untuk membuat kuda itu memelankan larinya.
“Kau bilang apa?” tanya Airyung menoleh ke arah Ānaru yang duduk di belakangnya.
“Aku ingin bicara padamu sebelum kita sampai di desa,” kata Ānaru tampak benar-benar serius.
“Katakan saja sekarang,” sahut Airung sambil mengendarai Tsagan agar tetap berjalan pelan.
“Mmm… begini, aku tahu aku sudah berjanji untuk membantumu menemukan orang yang kau cari. Tapi bukankah kesepakatan itu sedikit tidak adil untukku?” tanya Ānaru terus terang.
“Apa maksudmu?” Airyung balas bertanya.
“Kau tahu, biar bagaimanapun aku ini seorang gembala. Atau setidaknya putra dari seorang gembala…,” Ānaru benci mengakui bahwa dirinya adalah seorang gembala. “Intinya keluargaku adalah keluarga gembala.”
“Lalu?” tanya Airyung tak sabar.
“Lalu aku kehilangan domba-dombaku, yang artinya aku tidak bisa menjadi gembala lagi…”
“Tapi itu bukan salahku,” sergah Airyung kembali menoleh ke arah Ānaru.
“Aku tahu… aku hanya… membutuhkan sesuatu untuk mengganti kerugianku itu…” kata Ānaru hati-hati.
“Apa? Kau memintaku mengganti domba-dombamu? Jangan mimpi! Aku sama sekali tidak bertanggung jawab atas hilangnya dombamu,” kata Airyung kesal.
“Aku tidak memintamu untuk mengganti domba-dombaku,” bujuk Ānaru.
“Lalu apa maumu?” tanya Airyung masih kesal.
“Ajari aku menjadi petarung,” jawab Ānaru singkat.
Airyung melirik Ānaru tak percaya. Bahkan Tsagan pun menghentikan langkahnya. Untuk sesaat hanya suara desir angin di padang gersang yang terdengar.
Bulu burung enggang melambai-lambai gemulai di atas kepala Ānaru. Bahkan suara pasir yang tersapu angin bergemerisik pelan menambah kesan dramatis momen itu.
“Apa kau bilang?” tanya Airyung memecah keheningan.
“Aku ingin menjadi petarung,” ulang Ānaru mantap.
“Baru kali ini aku mendengar seorang gembala yang ingin belajar bertarung,” komentar Airyung sambil mendengus geli.
“Jangan merendahkanku. Leluhurku memang gembala, tapi aku akan menulis sejarahku sendiri,” sergah Ānaru.
“Memangnya kau bisa?" kata Airyung sarkastik.
“Kenapa tidak?! Aku akan menjadi seorang uluwero desa!” seru Ānaru sungguh-sungguh.
Airyung terkikik geli mendengar kata-kata Ānaru. Ia tidak bisa membayangkan gembala-gembala ini dapat bertarung seperti orang-orang di sukunya.
“Berhentilah tertawa. Aku tahu kau sedang mengejekku. Tapi aku benar-benar serius. Kalau kau tidak mau membantuku, aku juga tidak akan membantumu,” kata Ānaru kemudian melompat turun dari punggung Tsagan.
“Tunggu… tunggu… aku… tidak bermaksud mengejek. Hanya saja…” kata Airyung di sela-sela tawanya.
Ānaru benar-benar kesal sekarang ia berjalan meninggalkan gadis itu dengan marah. Airyung yang masih tertawa tanpa henti mengikuti pemuda itu dengan kudanya yang berjalan pelan, berusaha mengatur nafasnya agar sedikit lebih tenang.
“Ānaru … tunggu… aku hanya tak habis pikir. Kau selalu menganggap pasukan penjaga desamu itu sangat kuat. Oke, terus terang aku memang pernah bertemu dengan salah seorang uluwero ini.
"Ia langsung menyerangku bahkan sebelum aku selesai bicara. Dan kau tahu, ia tak jauh berbeda dengan gembala yang lain, hanya saja mereka membawa pisau yang lebih besar,” kata Airyung setelah berhasil menguasai dirinya.
“Mandau! Senjata itu bernama Mandau! Dan kau berbohong padaku! Kau bilang kau tidak bertemu dengan mereka!” seru Ānaru benar-benar marah.
“Aku bilang aku tidak bertemu dengan mereka di sepanjang pantai. Aku bertemu dengan salah seorang pasukan itu di dekat hutan di timur sana,” jelas Airyung.
“Bagaimana kau tahu dia seorang uluwero?” tanya Ānaru berbalik menghadap Airyung.
“Pakaian dan senjatanya berbeda dengan gembala yang lain. Mereka mengenakan celana pendek dan pakaian abu-abu tanpa lengan. Dadanya juga bergambar ornamen singa dihiasi manik-manik dan bulu burung enggang. Lalu ia tidak mengenakan penutup kepala melainkan ikat kepala tipis dengan bulu yang lebih panjang dari milikmu.
"Dengan pakaian seperti itu aku yakin dia bukan tipe orang yang bermalam di luar rumah bersama domba-domba seperti gembala pada umumnya,” jelas Airyung dengan analisis yang sangat akurat.
“La… lalu… kau… membunuhnya?” tanya Ānaru tergagap.
“Ck… tidak. Aku tidak membunuh orang tanpa perlu. Aku meninggalkannya dalam keadaan pingsan,” jawab Airyung pendek.
Ānaru menarik nafas panjang. Ia sedikit lega mendengar jawaban Airyung. Setidaknya kini ia sedikit percaya Airyung bukan orang yang kejam.
“Jadi kau mau membantuku atau tidak?” tanya Ānaru kembali ke topik sebelumnya.
“Kenapa aku harus membantumu? Bukan salahku kau kehilangan domba-dombamu. Justru kau yang berhutang nyawa padaku. Aku sudah menyelamatkanmu dari serangan chögörü,” sahut Airyung.
“Aku tidak memintamu untuk menyelamatkanku. Aku pasti bisa mengalahkan kinokambe itu bila kau tidak melemparku ke tanah,” sergah Ānaru tak mau kalah.
“Apa kau bilang…”
“Kalau kau tidak mau mengajariku bertarung, jangan harap aku akan membantumu menemukan orang terpilih atau apalah itu,” potong Ānaru tegas.
“Apa? Kau… kau mengacamku? Dengar, kau harus membantuku. Kau tahu misi ini adalah untuk kepentingan semua orang di Luteria, termasuk kau dan sukumu. Kalau kau tidak membantuku, sama saja kau menghancurkan sukumu sendiri,” desak Airyung balas mengancam.
“Aku tidak peduli. Itu bukan tanggung jawabku. Dan bagaimana aku bisa percaya kata-katamu itu memang benar,” balas Ānaru mendelik.
Airyung mendengus tak sabar.
“Baiklah kalau kau tak mau membantuku. Akan kucari orang lain yang lebih punya perasaan dan hati nurani,” kata Airyung menghela Tsagan dan berlalu dari hadapan Ānaru.
“Memangnya ada yang bisa mengerti bahasamu?” tanya Ānaru sambil berlari kecil mengejar Airyung dan Tsagan.
“Kalau kau bisa bahasa ini, pasti ada orang lain yang juga menguasainya. Setidaknya pasti ada seseorang yang mengajarimu,” jawab Airyung sambil lalu.
“I… itu… orang yang mengajariku sudah meninggal. Dia sudah sangat tua dan tidak ada orang lain yang bisa bahasa itu selain dia. Akulah murid satu-satunya,” kata Ānaru cepat-cepat. Ia menyembunyikan fakta bahwa para uluwero juga menguasai bahasa umum. Ia harus berhasil membuat gadis itu bersedia mengajarinya bertarung.
Sesaat Airyung menghentikan laju kudanya. Ia terdiam sejenak dan tampak berpikir. Memang sepertinya tampak sepele, tapi masalah bahasa ini memang bisa menjadi sangat serius.
“Benarkah… yang kau bilang itu?” tanyanya ragu.
“Tentu saja,” jawab Ānaru berusaha terdengar sungguh-sungguh. “Kau tidak akan berhasil tanpa bantuanku. Uluwero yang kau serang itu pasti sudah mengatakan pada Putri dan seluruh penduduk desa tentang keberadaanmu. Mereka akan menganggapmu sebagai ancaman dan alih-alih mempercayaimu, orang-orang di desa akan mengusirmu pergi.”
Airyung menghela nafas lemah. Ia tidak ingin mengambil resiko terburuk. Ia tidak mau misinya gagal. Rasa tanggung jawabnya terhadap misi tersebut begitu besar dan ia tidak dapat menerima kegagalan karena hal kecil semacam itu. Bagaimana pun misi ini benar-benar penting baik bagi dirinya sendiri maupun bagi seluruh umat manusia di tanah Luteria.
“Baik. Aku akan mengajarimu beberapa teknik pertarungan. Tapi aku tidak punya banyak waktu. Kalau kau tidak belajar dengan cepat, lebih baik urungkan niatmu menjadi seorang petarung,” kata Airyung akhirnya.
“Tenang saja, aku juga tidak punya banyak waktu. Perekrutan uluwero akan ditutup akhir bulan ini,” gumam Ānaru tersenyum simpul.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Kerta Wijaya
🤟🤟
2022-10-21
0
Jun!!!
Jadi keingat salah satu film gibli yang bagian suku itu, tapi ini masuk ke otak ku. Apa jangan" hahahahaha 😂, aku menyukai kisah fantasi yang ringan begini
2022-06-01
0
Jun!!!
Pen dipitak deh 😚
2022-06-01
0