“Ini juga yang kubenci dari orang Khitai. Kalian sama sekali tidak bisa mengukur kemampuan kalian sendiri. Kau tahu, pasukan-apalah-itu yang kau sebut tadi, aku sama sekali tidak kesulitan menghadapi mereka. Kurasa tak ada satupun orang dari suku kalian yang bisa menjadi petarung, bagaimanapun kalian hanyalah suku penggembala,” kata gadis itu mengejek.
Ānaru semakin terbakar emosi. Serangannya semakin membabi buta. Ia sudah sepenuhnya melupakan rasa sakit di tubuhnya. Ia kini hanya berfokus untuk menyerang gadis yang sudah menghina sukunya dan mengalahkan pasukan uluwero. Namun gadis itu benar-benar lincah. Ia melompat, berkelit dan menangkis serangan Ānaru dengan sangat baik. Sejauh ini Ānaru hanya menjadi bulan-bulanan gadis tersebut.
Akhirnya setelah beberapa menit yang melelahkan, pergulatan tak seimbang tersebut diakhiri dengan hantaman keras oleh gadis itu tepat di dada Ānaru, dan membuatnya terdorong jatuh sejauh dua meter. Ānaru terbatuk pelan karena hantaman itu. Ia benar-benar lelah dan nyaris tak sanggup berdiri lagi. Akhirnya ia pun merebahkan diri di tanah kering yang keras. Anehnya, ia tidak lagi merasakan nyeri di bahunya.
“Dengar dan perhatikan,” kata gadis itu tiba-tiba.
Tapi Ānaru tidak mengacuhkannya. Ia kini duduk dan benar-benar terkejut melihat luka di bahunya sudah sembuh sempurna, bahkan tak berbekas. Bagaimana hal semacam ini bisa terjadi?
“Ānaru!” seru gadis itu tampak kesal.
“Ah, ya,” kata Ānaru yang masih mengagumi keanehan tubuhnya.
“Tidak perlu terkejut. Aku yang baru saja menyembuhkan lukamu,” kata gadis itu malas.
“Hah? Kau? Bagaimana bisa?” tanya Ānaru bingung.
“Itu salah satu kemampuan suku kami,” jawab gadis itu kemudian kembali mengiris daging domba. “Duduklah dengan tenang. Akan kuceritakan semuanya,” lanjut gadis itu sembari menyodorkan potongan daging domba pada Ānaru.
Ānaru menurut, lalu kembali duduk di depan api unggun sambil menikmati daging domba yang sedap. Ia memutuskan bahwa ternyata sia-sia saja melawan gadis itu sendirian. Mungkin sebaiknya ia menuruti gadis itu untuk beberapa saat sambil memikirkan cara untuk kembali ke desanya secara diam-diam dan memanggil para uluwero untuk menangkapnya. Lagipula Ānaru juga menyadari bahwa ternyata perutnya benar-benar lapar.
“Namaku Airyung. Aku berasal dari suku penunggang kuda Giyatsa. Aku kemari untuk melakukan sebuah misi penting. Tapi sebelum aku menceritakan tentang misiku, aku ingin meminta bantuanmu,” kata gadis yang ternyata bernama Airyung tersebut.
“Bontuon opo?” tanya Ānaru dengan mulut penuh makanan.
“Aku harus mencari seorang Khitai yang sangat penting. Orang itu memiliki kekuatan untuk mendatangkan perdamaian di tanah Luteria ini,” kata Airyung sungguh-sungguh.
“Orang penting di Khitai? Maksudmu Putri Aroha? Dia memang sangat penting bagi suku kami, tapi aku tak yakin dia bisa mendatangkan perdamaian di Luteria,” jawab Ānaru setelah berhasil menelan daging domba di mulutnya.
“Aku tidak tahu. Dia bisa saja Putri atau gembala biasa. Dia adalah orang yang ditakdirkan untuk melawan chögörü[1] dan memanggil ‘jiwa sang raja’ untuk memerintah Luteria,” jelas Airyung.
“Chögörü?” Tanya Ānaru tak mengerti.
“Roh jahat yang mengutuk tanah Luteria,” terang Airyung pendek.
“Maksudmu kinokambe?” sahut Ānaru memastikan.
“Yah, mungkin itu sebutannya di sini. Roh-roh jahat itu punya banyak sebutan yang berbeda di setiap daerah.”
“Kalian orang Giyatsa juga percaya omong kosong semacam itu?”
Airyung tampak marah mendengar komentar Ānaru. Gadis itu mendelik tajam menatap Ānaru yang tampak tidak acuh.
“Chögörü itu bukan omong kosong. Salah satu dari mereka baru saja menyerangmu,” kata Airyung serius.
“Apa? Makhluk yang menyerangku tadi kinokambe?” tanya Ānaru terkejut.
Airyung mengangguk pelan.
“Dan kau mengalahkannya seorang diri?” lanjut Ānaru tampak sedikit kagum.
“Tentu saja. Aku terlatih untuk melakukannya. Aku adalah anggota suku penunggang kuda. Pertempuran kecil semacam itu tidaklah sulit,” jawab Airyung sambil mengangkat bahu.
Ānaru tampak sedikit mengagumi gadis itu. Ia menyesal tidak bisa melihat secara langsung pertempuran Airyung dengan kinokambe yang menyerangnya.
“Tanah Luteria benar-benar telah dikutuk,” kata Airyung tiba-tiba. Roman mukanya kini berubah muram.
“Padahal Luteria sangat makmur sebelumnya. Tapi karena suatu ketika…” lanjut Airyung yang tak bisa menyelesaikan kalimatnya.
“Ya… ya… aku tahu cerita itu. Pada jaman dahulu, dua belas suku di Luteria hidup berdampingan dalam damai. Tanah Luteria begitu subur dan kaya hingga membuat semua penduduknya hidup sangat sejahtera. Namun suatu ketika dua belas anak dari dua belas suku tak sengaja membuka tabir keramat di pohon Koror dan membebaskan Roh-roh jahat yang terkunci di dunia bawah.
"Sejak saat itu tidak ada lagi kedamaian di tanah Luteria. Bencana kekeringan, kelaparan serta wabah menghantui setiap pelosok Luteria. Suku-suku saling berperang satu sama lain. Dan roh-roh jahat itu, yang berkeliaran setiap malam tiba, akan memangsa siapapun yang ditemuinya. Cerita selesai,” dongeng Ānaru panjang lebar.
“Tidak ada satu kata pun dalam cerita tersebut yang masuk akal bagiku,” lanjut Ānaru berkomentar. Ia kemudian kembali menikmati daging dombanya yang tersisa separuh.
Airyung menarik nafas dengan sabar. Tampaknya ia harus berusaha lebih keras menyakinkan satu-satunya pemuda yang mungkin dapat membantunya.
“Aku mengerti kalau kau tidak percaya pada kisah yang sudah terjadi puluhan tahun yang lalu. Tapi ceritamu itu belum sepenuhnya selesai. Lanjutan dari cerita itu adalah sebuah ramalan mengenai masa depan. Ramalan yang diucapkan oleh seorang gadis suku Ehawee tepat sebelum bencana di tanah Luteria terjadi,” ujar Airyung bagitu meyakinkan.
“Romolon suku Ehowo?” tanya Ānaru lagi-lagi dengan mulut penuh makanan. Ia mencaplok habis semua daging dombanya dan menyisakan sebuah tulang paha besar.
“Benar. Kau juga pasti tahu Ehawee adalah kota suci di Luteria. Mereka menghormati para gadis perawan yang memiliki kemampuan meramal. Dan ramalan gadis-gadis itu memang selalu tepat.”
“Jadi, apa isi ramalan itu?” tanya Ānaru setelah bersusah payah menelan daging domba di mulutnya.
Airyung memejamkan mata sejenak lalu menarik nafas panjang. Ia kemudian berbicara dengan nada khusyuk.
...“Saat bulan Skirof berakhir di tahun kabisat ke dua belas...
...Gerbang Orion akan terbuka...
...Dua belas kesalahan akan ditebus...
...Oleh dua belas bintang dari dua belas penjuru...
...Mengundang murka sang pencuri kedamaian...
...Hanya dua belas atau tidak sama sekali”...
... ...
Airyung kembali membuka matanya dan melihat Ānaru yang melongo dan menatapnya dengan pandangan kosong.
“Mmm… maaf, bisakah kau langsung menjelaskan artinya saja? Aku tidak berbakat dalam hal ramal meramal,” kata Ānaru kemudian.
Airyung memutar matanya dengan kesal. Ia benar-benar lelah menghadapi orang-orang di pulau ini. Sepertinya memang tidak ada gembala yang cukup waras di suku ini.
“Baiklah, akan kujelaskan. Tahun ini adalah awal tahun kabisat ke dua belas dari sejak ramalan itu dituturkan. Dan kita baru saja memasuki awal bulan Hekat. Menurut ramalan itu, dua belas bulan dari sekarang, atau akhir tahun ini tepatnya di bulan Skirof, gerbang Orion akan terbuka dan menebus kesalahan dua belas anak yang membuka tabir keramat pohon Koror.
"Namun gerbang tersebut hanya dapat dibuka oleh dua belas orang terpilih dari dua belas suku. Dua belas orang itu akan membangkitkan kemarahan roh-roh jahat yang mengutuk tanah Luteria karena mereka dapat membuat roh-roh jahat tersebut kembali ke dunia bawah. Karena itu roh-roh jahat juga akan berusaha mencari keduabelas orang terpilih itu untuk membunuh mereka,” jelas Airyung panjang lebar.
[1] Chögörü: Roh jahat dalam bahasa Giyatsa
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Iroshiki
ampun suhu
2023-05-10
0
Jun!!!
Mulai dari sini aku banmyangin suasana dan bajunya ala suku dayak, ya ampun 😂
2022-05-30
1
Jun!!!
Dia terlalu sombong
2022-05-30
0