Ānaru terbangun oleh aroma sedap yang menggoda. Mendadak perutnya keroncongan menuntut sarapan. Hari masih sangat pagi ketika ia membuka mata. Di luar kabut tebal masih menyelimuti. Tapi Ānaru memilih untuk bangkit duduk dari alas bambu tempatnya tidur. Rasanya baru sebentar dia terlelap. Setelah pembicaraannya dengan Ngaio semalam, Ānaru tidur di ruang depan rumah Ngaio. Airyung tidur di kamar bersama Ngaio. Tapi Ānaru curiga Ngaio tidak tidur semalaman dan hanya sibuk menyiapkan sarapan beraroma lezat ini.
Di dapur, Ānaru menemukan Airyung sedang menggayung air panas dari kuali pendiangan. Dia dan Ngaio tengah menyiapkan hidangan sarapan bersama dengan mengenakan celemek coklat yang seragam. Pemandangan itu tampak janggal, terutama sangat aneh melihat Airyung yang berkulit pucat berada di dekat pendiangan yang gelap. Warnanya terlalu kontras.
“Apa yang kalian lakukan?” tanya Ānaru berjalan mendekati meja makan.
Ngaio menoleh menyadari kedatangan Ānaru. Kedua tangannya membawa sepiring besar masakan berupa sayur berwarna hijau dengan kuah pekat.
“Kau sudah bangun? Makanlah bersama nona Airyung, aku akan menyiapkan jerami untuk makan kuda kalian,” kata Ngaio sambil meletakkan piring di meja lantas melesat pergi.
“Dia gadis yang baik,” komentar Airyung turut duduk di dekat Ānaru, bersiap untuk sarapan.
Piring-piring tanah liat menjadi alas makan mereka. Di hadapan Ānaru kini tersaji beberapa masakan sayur dan daging domba. Ānaru menyodok beberapa potong daging domba panggang yang tampak nikmat.
“Dia bahkan memotong domba untuk kita semalam,” ujar Airyung melanjutkan komentarnya.
“Dia memang baik dari dulu,” kata Ānaru menanggapi.
“Sepertinya kau cukup dekat dengannya. Kenapa dia meninggalkanmu? Kurasa karena kau terlalu keras kepala dan licik.”
“Kau menguping pembicaraan kami semalam?”
“Rumah ini hanya berdiding bambu. Kau tidak bisa mengharapkan privasi dari sekat-sekat tipis seperti ini.”
“Kupikir kau sudah tidur.”
“Aku sensitif terhadap suara sekecil apapun, terutama saat aku tidur,” ucap Airyung mengangkat bahu. “Aku tidak berniat mendengar semuanya,” lanjutnya kemudian.
Ānaru tidak menjawab. Pemuda itu memutuskan untuk ikut menyodok daging domba dan sayur kesukaannya. Dulu Ngaio sering membuatkan masakan ini untuknya. Ia tidak mengira akan bisa mencicipinya lagi sekarang setelah mereka tak lagi bersama.
“Kenpa kau tidak memberitahuku tentang Kristal Carnelian?” tanya Ānaru mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Ia sebenarnya sudah penasaran sejak kemarin, namun baru sekarang saat yang tepat untuk mendiskusikannya.
“Untuk apa? Kau bahkan tidak tau tentang Kristal ini,” jawab Airyung ringan.
Airyung tidak sepenuhnya salah. Ānaru tidak tahu sejarah Kristal itu, jadi meski Airyung menunjukannya lebih awal juga tidak akan membawa dampak signifikan.
“Kenapa dia bisa menyala-nyala begitu. Apa memang ada kekuatan tersembunyi di dalam Kristal itu?” tanya Ānaru kemudian.
“Menyala? Batu itu sama sekali tidak menyala. Kekuatannya sudah lama hilang. Sekarang dia hanya batu biasa.”
“Tapi semalam aku melihat batu itu menyala kemerahan. Kadang cahanya berkilat-kilat, berputar-putar dalam batu kecil itu. Seperti akan meledak dari dalam,” ucap Ānaru bersikeras.
Airyung melirik Ānaru dengan alis bertaut. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dikatakan oleh Ānaru. Batu yang dipegangnya sama dengan batu-batu yang lainnya, hanya saja Carnelian berwarna oranye gelap. Entah bagian mana dari batu itu yang menyala menurut pandangan Ānaru. Gadis itu akhirnya hanya menggeleng-gelengkan kepala dan menanggapi Ānaru sambil lalu.
“Apa kaitan batu itu dengan orang dalam ramalan?” tanya Ānaru lagi, tidak menyerah meskipun Airyung tidak mengacuhkannya.
“Batu itu adalah salah satu Kristal Zodiak yang akan beresonansi dengan kekuatan Pahlawan Zodiak yang sesuai. Kristal itu mengandung kekuatan yang hanya bisa dibangkitkan oleh orang terpilih dari dua belas suku,” jelas Airyung panjang lebar. “Tapi seperti yang sudah kau lihat, kristal itu sekarang hanyalah batu biasa. Aku hanya ditugaskan untuk memberikan batu itu pada orang dalam ramalan setelah aku menemukannya nanti.”
Ānaru bertanya-tanya kenapa Airyung terus mengatakan bahwa Kristal Carnelian yang dia lihat semalam adalah batu biasa. Jelas-jelas Ānaru melihat kilatan-kilatan merah yang cukup terang untuk ukuran batu kecil. Mungkin di Giyatsa sana batu-batu memang pada umumnya bisa bersinar.
Waktu berlalu dengan cepat. Matahari sudah mulai muncul ke permukaan. Meski masih pagi, namun aktivitas penduduk Desa Khitai sudah mulai ramai. Para penduduk membawa ternak-ternak mereka ke padang gersang. Beberapa pedati datang membawa jerami kering dan sayur-sayuran yang mulai layu. Ānaru menjelaskan bahwa pedati-pedati itu berasal dari Barat. Kabarnya di Barat pulau masih ada tanaman yang berhasi dibudidayakan dengan teknologi penyulingan air laut. Sayur-sayur itu kemudian dikirim ke desa-desa lain dengan pedati. Namun karena jarak yang cukup jauh, sayuran itu sudah layu saat tiba.
Airyung memeriksa Tsagan yang tengah menghabiskan sisa-sisa jerami yang diberikan oleh Ngaio. Kuda itu tampak puas dan kenyang dengan porsi makannya hari ini. Ngaio dan Airyung tampak akrab karena ternyata Ngaio juga mempelajari bahasa umum dari kakak laki-laki Kaharap yang merupakan seorang uluwero.
Sehabis sarapan Kaharap datang. Ānaru sudah bersiap-siap akan datangnya masalah. Tapi ternyata Kaharap datang untuk berterimakasih pada Airyung. Ia sama sekali tidak mempedulikan Ānaru. Kaharap hanya melewatinya begitu saja seolah Ānaru tidak ada di sana. Ānaru cukup geram dengan sikap Kaharap. Tapi mengingat kejadian semalam saat Airyung memukul pingsan Kaharap di hadapannya membuat Ānaru sedikit terhibur dan melupakan kegeramannya.
Menjelang siang Airyung melepaskan tambatan kudanya, lantas menyuruh Ānaru untuk bersiap-siap. Airyung memintanya untuk mencari orang bernama Tangaroa, orang yang disebut-sebut merupakan orang terkuat di Khitai, sang pimpinan uluwero. Beberapa uluwero yang ditanyai Airyung mengatakan bahwa Tangaroa berada di Barat, tengah melakukan inspeksi terhadap subsidi pangan dari area itu.
“Tapi kapan kau akan melatihku bertarung? Sebentar lagi perekrutan uluwero dibuka. Dan aku harus sudah berada di sini saat itu. Perjalan ke barat memakan waktu lima hari. Itu artinya kita akan menghabiskan waktu sepuluh hari pulang pergi, ” kata Ānaru hendak protes.
“Aku bisa melatihmu sambil jalan. Kalau kita naik kuda, perjalanan lima hari bisa dilewati selama tiga hari paling lama,” sergah Airyung. “Aku berjanji akan melatihmu setiap malam, selama perjalanan itu,” lanjutnya.
Ānaru akhirnya menurut. Ia mengemasi beberapa barang dan pakaian layak pakai yang ada di rumah Ngaio – baju-baju milik matunya dulu saat masih hidup –. Ngaio juga membekali mereka dengan makanan-makanan lezat yang dibungkus dengan kantong kulit domba. Kaharap dan Ngaio melepas kepergian mereka. Tapi wajah Kaharap tampak cemberut, seolah tidak senang melihat Ānaru bertualang dengan seorang perempuan cantik dari suku lain.
Hingga kepergiannya, Ānaru sama sekali tidak kembali ke rumah. Pemuda itu juga sama sekali tidak melihat matu atau umanya. Ia hanya bisa berjanji dalam hati, saat kembali nanti, ia akan menjadi lebih kuat dan diterima sebagai uluwero yang membanggakan keluarga. Itu adalah sumpahnya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments