Ānaru khawatir akan dua hal: kenyataan bahwa para uluwero juga menguasai bahasa umum, dan kemarahan matunya saat tahu Ānaru kembali dengan tangan kosong. Sungguh keputusan gegabah menyetujui usul Airyung. Tapi Ānaru sudah tidak bisa kembali. Ia dan Airyung sudah berjalan menuju desa utama suku Khitai.
Kaharap yang pingsan tersampir di punggung Tsagan. Airyung berjasa mengangkat tubuh pemuda itu naik ke atas kudanya. Ia mengangkat Kaharap semudah menyampirkan sehelai kain. Ānaru tak menyangka bahwa gadis muda bertubuh kecil itu sanggup melakukannya dengan enteng, tanpa bantuannya sedikitpun. Padahal tubuh Kaharap beberapa inci lebih tinggi dari Ānaru.
Kini ketiganya sudah hampir sampai di pintu masuk desanya. Ānaru cukup gelisah terutama membayangkan reaksi Airyung saat mengetahui bahwa para uluwero sebenarnya juga bisa berbicara bahasa umum. Bagaimana kalau nanti gadis itu berubah pikiran dan menolak melanjutkan pelatihannya?
Airyung bisa saja meminta bantuan uluwero lain untuk mencari orang yang dia butuhkan. Bahkan bukan tidak mungkin kalau ternyata orang dalam ramalan itu adalah salah satu uluwero. Bisa-bisa Airyung memilih melatih uluwero terpilih itu daripada melanjutkan mengajari Ānaru.
Beragam imajinasi terus melintas di benak Ānaru hingga tanpa terasa, mereka tiba di sebuah gerbang bambu setinggi dua meter. Gerbang itu terhubung langsung dengan pagar kayu yang melingkar mengelilingi desa seluas 15 mil itu. Gerbang bambu tersebut dianyam sedemikian rupa membentuk ujung segitiga runcing di atasnya. Ānaru langsung tahu kalau mereka sudah sampai di depan pintu masuk desanya.
Dua orang uluwero tampak berjaga di kiri kanan gerbang. Ānaru tidak melihat Ngaio. Meskipun memang mereka berjalan cukup cepat untuk mengimbangi Ngaio yang sudah berlari terlebih dahulu. Seharusnya jarak mereka tidak terlalu jauh, dan Ngaio yang panik kemungkinan besar sedang melapor pada uluwero penjaga gerbang. Nyatanya perempuan itu sama sekali tidak tampak batang hidungnya. Dan kedua uluwero penjaga gerbang juga masih tenang-tenang saja di posisi mereka, tanpa ada tanda-tanda kegaduhan.
“Ānaru, kotu mai kore koti[1],” seorang uluwero sepertinya mengenali Ānaru.
“Ngamea mat[2], “ Ānaru menjawab singkat.
“Ewa me kotu?[3]” Uluwero lainnya bertanya.
Ānaru menimbang-nimbang jawaban yang paling tepat di situasi itu. Para uluwero ini menanyakan asal usul Airyung yang berpakaian aneh. Sepertinya berbeda dengan dugaan Ānaru, Ngaio sama sekali tidak melapor pada uluwero tentang kejadian di pantai tadi.
“Ia Aroha tanema hiri[4],” jawab Ānaru kemudian. “Ia mai Giyatsa.[5]”
Jawaban jujur Ānaru tentang identitas Airyung menimbulkan reaksi waspada dari kedua uluwero itu. Mereka segera mencabut Mandau dengan garang, bersiap menyerang Airyung. Beruntung Airyung tidak segera membalas perlakuan itu dengan tindakan serupa. Gadis itu masih berdiri tenang seolah sangat mempercayai kemampuan diplomasi Ānaru.
“Ia hore kino. Ia maruha u kotu te kinokambe.[6]” kata Ānaru segera menghalangi tindakan mengancam para uluwero dengan kesaksian bahwa Airyung menyelamatkannya dari serangan kinokambe. Namun sepertinya kedua orang itu sulit diyakinkan. Mereka masih menampilkan gestur beringas sambil mewaspadai Airyung.
“Mite Kaharap. Ia ahmohi kea kinokambe[7],” ujar Ānaru mencoba mencari-cari alasan, berbohong bahwa Kaharap yang pingsan adalah bukti serangan kinokambe.
“Ānaru u tika. Kotu mite[8],” sebuah suara perempuan menengahi pembicaraan mereka. Ternyata Ngaio sudah mengintip dari balik gerbang, memberi kesaksian tentang pernyataan palsu Ānaru. Ānaru agak terkejut mendengar Ngaio yang mendukung kebohongannya. Tapi ia melihat itu sebagai kesempatan lolos dari kecurigaan para uluwero.
“Untuk apa kau datang ke Khitai? Apa kau mata-mata Giyatsa?”
Hal yang ditakutkan Ānaru pun terjadi. Salah seorang uluwero bicara bahasa umum pada Airyung. Ānaru melirik Airyung di sebelahnya. Gadis itu melotot galak pada Ānaru seolah berkata ‘apa-apaan ini?’. Ānaru hanya bisa meringis menanggapi tatapan tajam Airyung.
“Aku membawa pesan penting dari Giyatsa untuk kepala suku kalian,” jawab Airyung membaca situasi. Bila para uluwero ini bisa bahasa umum, artinya kepala suku mereka pasti juga menguasainya. Lebih bijak untuk membicarakan tentang ramalan itu kepada kepala suku daripada para bawahannya yang tampak beringas ini.
Kedua uluwero saling berpandangan. Mereka sepertinya mempertimbangkan kesaksian Ngaio dan pengakuan Ānaru. Salah satu dari mereka kemudian masuk ke dalam desa sementara yang lain masih mencegat rombongan Ānaru di luar gerbang. Tak berselang lama, sang uluwero yang masuk ke desa keluar menghampiri mereka lantas bertukar kode pada rekannya.
“Ayo ikuti aku,” ucap uluwero berbadan tinggi dengan rambut keriting ikal.
“Biar aku yang mengurus Kaharap dan kudamu.” Ngaio ternyata juga menguasai bahasa umum. Ānaru tidak pernah tahu tentang itu dan kini merasa terkhianati. Nanti dia harus mengurus beberapa hal dengannya, termasuk menanyakan alasan Ngaio membantu mereka. Untuk saat ini dia harus terus menempel pada Airyung agar gadis itu menganggapnya berguna dan tetap bersedia melatihnya bela diri.
Desa suku Khitai tampak lengang malam itu. Beberapa rumah bambu beratap jerami tampak berjajar rapi membentuk barisan bangunan berbentuk seragam. Setiap rumah dilengkapi kandang domba di belakangnya. Beberapa kandang tampak kosong, yang lainnya pun hanya berisi beberapa ekor domba kurus yang bergelung di atas jerami.
Di muka setiap rumah menyala obor kecil sebagai penerangan jalan. Uluwero berambut ikal tadi membawa mereka ke tengah desa, menuju satu bangunan yang paling besar dengan barisan obor di sepanjang jalan masuknya.
“Masuklah ke dalam sana. Putri Aroha sudah menunggu kalian. Dan kau, Ānaru, aku akan memberi tahu matumu kalau kau sudah kembali…,” kata uluwero itu. “… tanpa membawa seekor domba pun,” lanjutnya sambil menyeringai.
Hati Ānaru mencelos. Belum selesai masalah dengan Airyung, kini dia juga harus bersiap menghadapi kemurkaan matunya. Tapi Ānaru tidak membalas ancaman sang uluwero. Ia membiarkan pemuda berambut ikal itu melenggang pergi meninggalkan mereka berdua di depan rumah kepala suku.
“Ānaru, seharusnya aku tahu kalau kau memang selicik ini,” ucap Airyung sembari menoleh secara dramatis pada Ānaru.
“Aku tidak punya pilihan lain. Bila aku berkata jujur, kau tidak akan mau melatihku bertarung. Setidaknya aku sudah membantumu melewati para uluwero itu. Asal kau tahu saja, berkat kata-kataku, para uluwero ini akhirnya mengijinkanmu bertemu Putri Aroha. Kau setidaknya harus membalas budi padaku,” sergah Ānaru tak mau kalah.
Kata-katanya tidak sepenuhnya bohong. Ānaru memang sudah memberi alasan logis yang tidak sepenuhnya bohong. Airyung memang menyelamatkan dia dari kinokambe, meski kejadian itu bukan di pantai. Ānaru hanya sedikit memelintir fakta samnil dibantu oleh kesaksian Ngaio yang memperkuat kebohongan kecilnya.
Airyung berdecak tak sabar menanggapi. Ia sama sekali tidak memahami bahasa Khitai. Tapi memang benar, berkat Ānaru, ia bisa punya kesempatan untuk bertemu Kepala Suku Khitai. Sepertinya untuk saat ini, Airyung masih akan bekerjasama dengan Ānaru sambil mempertimbangkan sikap pemuda itu ke depannya.
[1] Kau kembali tanpa domba.
[2] Semuanya mati.
[3] Siapa orang yang bersamamu?
[4] Dia tamu penting Putri Aroha.
[5] Dia datang dari Giyatsa.
[6] Dia tidak jahat. Dia menyelamatkanku dari roh jahat.
[7] Lihat Kaharap. Dia pingsan diserang roh jahat.
[8] Ānaru benar. Aku melihat semuanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
ilfindazaka ochtafarela
ceritanya keren banget
2022-05-25
0