Ānaru kini sepenuhnya memperhatikan penjelasan Airyung. Selain karena makanannya sudah habis, juga karena ia mencium bau kepahlawanan dalam cerita Airyung. Ānaru sangat menyukai cerita kepahlawanan. Ia sendiri ingin menjadi pahlawan yang dihormati oleh banyak orang.
“Lalu apa arti kalimat terakhir? ‘Hanya dua belas, atau tidak sama sekali’?” tanya Ānaru yang mulai tertarik.
“Artinya gerbang itu hanya bisa dibuka bila dua belas orang terpilih itu bersatu. Dan bila satu saja orang terpilih itu tidak ada, maka gerbang Orion tidak akan terbuka sama sekali,” jawab Airyung.
“Jadi para kinokambe… maksudku roh-roh jahat itu hanya perlu membunuh satu orang saja dan mereka bisa tetap bisa merajalela di Luteria?”
Airyung mengangguk mantap.
“Karena itu, kami, dua belas penunggang kuda terbaik dari Giyatsa, bertugas untuk mencari orang-orang terpilih itu dan melindungi mereka hingga saatnya gerbang Orion terbuka,” terang Airyung.
Ānaru tampak mengangguk-angguk paham. Bila memang gadis itu berkata jujur, berarti kedatangannya sama sekali tidak mengancam keselamatan warga desa. Meski begitu Ānaru merasa perlu meyakinkan diri dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang masih menganggunya.
“Dari apa yang kutangkap, kau harus menemukan satu orang terpilih dari sukuku, dan kau membutuhkan bantuanku untuk menemukannya?” tanya Ānaru kemudian.
Sekali lagi Airyung mengangguk.
“Meski begitu aku tidak bisa langsung percaya padamu. Aku ingin tahu tentang beberapa hal dan kau harus menjawab sejujur-jujurnya,” kata Ānaru dengan nada mengancam.
“Silakan saja. Aku berjanji tidak akan berkata bohong. Aku bersumpah demi kehormatan suku Giyatsa,” sahut Airyung.
“Kenapa suku Giyatsa percaya pada ramalan orang-orang Ehawee?”
“Suku-suku di dataran besar berperang dengan membentuk kubu dan berkoalisi dengan suku lain yang memiliki tujuan yang sama. Giyatsa, Ehawee dan Leopolis berada di kubu yang sama.”
Ānaru memang tidak terlalu mengetahui kondisi di daratan besar Luteria. Ia tidak dapat memastikan kebenaran kata-kata Airyung. Ānaru pun memutuskan melanjutkan ke pertanyaan selanjutnya.
“Bagaimana caramu melewati para uluwero di sepanjang pantai?”
“Uluwero? Oh yang kau bilang pasukan pelindung Khitai. Sejujurnya aku tidak bertemu dengan mereka di sepanjang pantai. Aku berlayar dengan aman melewati Samudra Kanawallan hingga berlabuh di pantai utara pulau ini.”
“Kau bohong! Armada uluwero selalu berjaga di sepanjang pantai dan tepi laut!” seru Ānaru marah.
“Aku tidak bohong. Mungkin pasukan itu hanya berjaga di siang hari. Aku mendarat saat tengah malam dan aku tidak menemukan siapapun di sepanjang pantai.”
Ānaru terdiam sejenak. Memang benar, pasukan uluwero hanya berjaga di siang hari. Cerita tentang kinokambe membuat pasukan uluwero sekalipun memilih berlindung alih-alih menjaga desanya dari kemungkinan sergapan musuh.
“Apa yang terjadi padaku? Kenapa lukaku dapat sembuh secepat ini?” Ānaru melanjutkan pertanyaannya.
“Lukamu tidak terlalu dalam. Aku hanya mengoleskan ramuan khas sukuku dan selama kau pingsan ramuan itu bekerja dengan baik. Aku hanya memberi sentuhan terakhir saat kau menyerangku tadi dengan menyalurkan sedikit energi hidupku untuk menyempurnakan penyembuhan lukamu,” jelas Airyung
“Kau bisa melakukan itu?” tanya Ānaru takjub.
“Itu mudah bila kau sering berlatih,” sahut Airyung ringan.
“Baiklah. Untuk hal itu aku bisa percaya Sukumu memang terkenal dengan kemampuan penyembuhnya,” balas Ānaru tersenyum simpul.
“Ku anggap itu pujian,” ujar Airyung membalas senyuman Ānaru. “Jadi, apa kau mau membantuku?” lanjut Airyung bertanya.
“Tunggu. Aku masih punya satu pertanyaan lagi. Dimana domba-dombaku?” tanya Ānaru yang sedari tadi tidak melihat ataupun mendengar suara satu dombapun.
“Ah itu… sebagian besar sepertinya telah dimangsa oleh Chögörü… maksudku roh jahat yang menyerangmu. Saat aku sampai di sini hanya ada dua ekor yang masih hidup. Dan… karena tidak ada makanan lain… aku… memasaknya,” kata Airyung sambil meringis penuh penyesalan. “Tapi kau juga ikut memakannya barusan,” tambah Airyung cepat-cepat.
“Kau makan dua ekor domba hanya dalam waktu semalam?” tanya Ānaru tampak benar-benar terkejut.
“Apa maksudmu semalam? Kau pingsan selama tiga hari,” sergah Airyung.
Ānaru melongo tak percaya. Rasanya baru kemarin ia kehilangan kesadaran. Tapi gadis itu ternyata sudah menjaganya selama tiga hari.
“Apa kinokambe yang menyerangku kemarin datang lagi?” tanya Ānaru masih dalam kebingungannya.
Airyung menggeleng. “Tidak ada banyak makhluk hidup di padang gersang ini. Kurasa chögörü pun tidak berminat untuk berkeliaran di area ini. Mereka mungkin bersembunyi di dekat-dekat desa,” terang Airyung.
Desa-desa kecil di suku Khitai memang tersebar di seluruh pulau dan terutama banyak yang memilih bermukim di pesisir pantai. Salah satu alasannya karena sumber makanan di laut kini lebih melimpah daripada di daratan.
Hutan-hutan sudah meranggas dan padang rumput mengering membuat orang-orang semakin sulit memelihara domba. Kebanyakan ternak mereka juga mati karena kelaparan. Ternak yang tersisa sudah menjadi sangat kurus dan beberapa kali menghilang dimangsa kinokambe.
“Apa menurutmu kinokambe ini juga bisa menyerang di laut?” tiba-tiba Ānaru merasa khawatir bila sumber makanan di laut juga menjadi langka. Bisa-bisa suku Khitai akan benar-benar musnah.
“Kurasa tidak. Chögörü hanya muncul di daratan. Mereka tidak biasanya muncul di perairan kecuali ada yang sengaja menyelinap di kapal-kapal. Tapi bukankan sukumu ini sudah memutus akses ke daratan Luteria? Aku tidak melihat dermaga di sepanjang pantai.”
Ānaru mengangguk. “Kami sesekali menangkap ikan kalau sangat terpakasa. Keluarga-keluarga yang sudah tidak memiliki domba biasanya pergi menjala ikan di laut Kanawallan. Bahkan beberapa keluarga ada yang mulai membentuk kelompok nelayan dan menjual domba-domba mereka untuk membuat perahu,”
Airyung ber-hmm pendek mendengar penjelasan Ānaru. Pantas saja ia bertemu beberapa perahu nelayan saat datang kemarin. Awalnya Airyung mengira mereka kelompok bajak laut suku Murano. Tapi bentuk perahunya terlalu sederhana dan sama sekali tidak tampak berbahaya.
“Sebenarnya seperti apa wujud kinokambe itu?” tanya Ānaru kemudian.
“Chögörü bisa memiliki banyak wujud. Tapi umumnya mereka berwana gelap, sangat gelap, berukuran besar hingga mencapai tinggi lima meter. Ganas dengan taring-taring dan kuku-kuku yang tajam. Kedatangan chögörü ditandai dengan datangnya kegelapan, seolah mereka menyerap semua cahaya di sekitarnya. Mereka juga sangat gesit.”
Ānaru mengangguk lagi menanggapi. Ia belum pernah bertemu langsung dengan kinokambe selain pada malam ia diselamatkan oleh Airyung. Mungkin karena lebih ada banyak domba di suku Khitai, sehingga kasus kematian manusia di Khitai tidak terlalu banyak. Kebanyakan orang hanya mengaku kehilangan ternak-ternak mereka di malam hari.
“Sudah malam. Kau tidurlah. Aku akan berjaga sebentar,” ucap Airyung kemudian.
“Kau sudah menjagaku selama tiga hari. Memangnya kau tidak kelelahan. Biar aku yang menggantikanmu berjaga.”
Airyung menggeleng. “Memangnya apa yang bisa dilakukan oleh gembala sepertimu. Aku juga akan tidur sebentar lagi.”
Ānaru menghela napas kesal karena kata-kata Airyung yang meremehkan gembala seperti dia. Tapi pemuda itu tidak berkomentar apa-apa lagi. Tubuhnya memang sudah mulai mengantuk. Ia jatuh tidur tak lama setelah merebah di tanah kering.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Iroshiki
Ah, coba gitu ada romantisnya dikit
..
2023-05-10
0
Iroshiki
awokwokwok
2023-05-10
0
Kerta Wijaya
🤟
2022-10-21
0