Seharian penuh Ānaru berlatih dengan pohon stigi di tangan dan kakinya. Sekarang bahunya terasa lemas dan seperti lepas dari engselnya. Ānaru merebah di pasir putih yang dingin. Malam sudah datang. Airyung membuat api unggun dan membakar beberapa ekor ikan kecil yang ia tangkap di laut dangkal. Daging domba asapnya yang keras sudah habis saat sarapan tadi.
“Di mana kau menaruh perahumu saat sampai di sini, Airyung?” tanya Ānaru.
“Di balik rumpun stigi itu. Aku mendarat di pantai ini,” jawab Airyung menyodorkan salah satu ikan yang sudah matang. Ānaru menerimanya lantas meniup-niup ikan itu agar segera dingin. Perutnya sudah keroncongan sejak sore tadi. Terlebih setelah latihan fisik berat seharian.
Ānaru makan dengan lahap seolah tidak ada hari esok. Api unggun berderik tertiup angin laut yang sesekali berhembus. Airyung menambatkan Tsagan di pokok pohon stigi terdekat. Kuda itu sepertinya tidak mudah lapar. Ānaru jarang melihatnya merumput. Atau mungkin Airyung memberi makan kuda itu saat Ānaru tidak melihatnya.
“Ada berapa bayak desa di suku Khitai?” tanya Airyung sambil menyodok api unggun agar tetap menyala.
“Sejauh yang ku tahu ada tujuh desa besar dan sekitar dua puluh tiga kelompok kecil yang tersebar di seluruh pulau. Aku tidak tahu pasti sekarang. Tapi mungkin matuku lebih tahu. Kami tinggal di desa yang sama degan tempat Kepala Suku, Putri Aroha tinggal,” jawab Ānaru.
Airyung menarik nafas berat. Ia berhitung. Khitai mungkin memang suku yang relatif kecil dibandingkan suku-suku lain di dataran utama, tapi tetap saja pulau ini cukup luas dengan populasi yang tidak sedikit. Kondisi desa-desa kecil yang menyebar juga membuat Airyung harus menghabiskan waktu untuk berkeliling.
“Seperti apa ciri-ciri orang yang kau cari?” tanya Ānaru kemudian.
Airyung menggeleng. “Aku juga tidak tahu. Dalam ramalan tidak disebutkan mengenai ciri-ciri orang terpilih.”
“Lalu bagaimana kau akan menemukannya kalau kau bahkan tidak tahu apa yang kau cari?” ujar Ānaru yang secara mengejutkan dapat berkomentar sarkastik. Sehari-hari Ānaru tidak pernah peduli pada urusan orang lain. Tapi sepertinya ia mulai tertarik pada topik ini.
“Kepala suku hanya berkata bahwa aku akan langsung mengenalinya bila sudah bertemu. Tapi sejauh ini aku sama sekali tidak menemukan orang yang mendekati petunjuk itu. Bukankah setidaknya orang dalam ramalan itu minimal harus kuat?”
Ānaru berdecak kesal. Sekali lagi Airyung meremehkan sukunya. Kenapa Airyung terus-terusan menganggap orang suku Khitai lemah? Hanya karena Airyung kebetulan bertemu orang yang tidak terlalu kuat, bukan berarti keseluruhan uluwero itu lemah. Namun Ānaru mengurungkan niatnya untuk mendebat pendapat Airyung. Pemuda itu memilih untuk mengambil satu tusuk ikan bakar lagi.
“Siapa orang terkuat di suku Khitai?” tanya Airyung sembari memperhatikan Ānaru yang menggigiti ikan bakar seukuran kepalan tangan.
“Orong torkoat?” Ānaru tampak berpikir keras. Bila membicarakan kekuatan tubuh mungkin Tangaroa, sang pimpinan uluwero, sepertinya cocok dengan kriteria itu. Badannya tinggi besar dengan tubuh dipenuhi rajah bersimbol hewan-hewan kuno suku Khitai.
“Apa tidak ada?” Airyung kembali bertanya karena Ānaru tidak segera menjawab.
“Euhm bokon…” Ānaru berusaha bicara dengan mulut penuh. Setelah berhasil menelan akhirnya Ānaru bisa bicara dengan jelas. “Tangaroa. Dia pemimpin uluwero,” jawab Ānaru.
“Apa dia sangat kuat?” tanya Airyung memastikan.
Ānaru megangguk. “Tangaroa bisa menggotong lima domba sekaligus sendirian.”
Usaha Ānaru mendeskripsikan kekuatan sang pimpinan uluwero justru membuat Airyung menghela napas lelah. Kalau kekuatan orang suku Khitai hanya diukur dengan berapa banyak domba yang bisa dia angkat, maka mungkin Airyung bisa menjadi orang terkuat di pulau ini. Ia bahkan bisa mengangkat kuda.
“Bukankah terlalu sederhana bila mengukur kekuatan hanya dengan jumlah domba yang bisa diangkat?” Airyung mencoba berkomentar tanpa menyinggung, meski sulit sekali mencari pilihan kata yang tidak terdengar meremehkan.
“Domba-domba yang sehat sangat berat, Airyung. Apalagi yang bulunya belum dicukur,” ujar Ānaru terdengar sangat yakin.
Airyung hanya mengangguk-angguk pasrah. Sepertinya memang standar kekuatan orang Khitai berbeda dengan di Giyatsa, tempat asalnya. Tapi tidak ada salahnya Airyung mencoba bertemu dengan orang bernama Tangaroa ini. Kalau memang untuk ukuran Khitai dia adalah orang yang tekuat, bisa jadi pejuang dari suku ini memang hanya sebatas itu.
Tiba-tiba semak di belakang mereka berkerasak keras. Airyung dengan sigap segera melompat berdiri. Di sebelahnya, Ānaru pun berdiri waspada sambil masih menggenggam ikan tusuk. Detik selanjutnya, dua orang pria dan wanita berpakaian khas suku Khitai muncul dari semak-semak sambil saling berpelukan rapat. Kedua orang itu sepertinya terlalu sibuk dengan urusan mereka sampai-sampai tidak menyadari bahwa ada orang lain – bahkan api unggun dan kuda – di belakangnya.
“Kaharap!” seru Ānaru terdengar murka.
Pria dan wanita itu menghentikan kegiatan pribadi mereka lantas menoleh ke arah suara Ānaru.
“Kotu?! Ānaru!” seru sang pria tak kalah terkejut. Bahkan perempuan yang bersamanya tampak kaget dan menutup mulutnya dengan kedua tangan.
“He kotu mahe kei kone, Kaharap?![1]” seru Ānaru berteriak marah. “Ma Ngaio?[2]”
Lelaki bernama Kaharap meludah ke tanah, lantas berjalan membusungkan dada mendatangi Ānaru.
“He ahwa? Maku e pai [3]?” Kaharap tampak menantang Ānaru dengan ekspresi meremehkan. Emosi Ānaru tersulut. Sambil melotot marah Ānaru melancarkan pukulan ke arah wajah Kaharap. Namun Kaharap menghindar di saat yang tepat sambil balik memukul perut Ānaru. Ānaru tak sempat menghindar. Ia terbungkuk karena hantaman di perutnya yang menimbulkan rasa mulas. Ngaio, perempuan yang bersama Kaharap berteriak nyaring.
Kaharap sudah akan melancarkan serangan kedua saat tiba-tiba Airyung melesat sambil melancarkan pukulan mematikan ke arah kepala Kaharap. Pria itu seketika jatuh tersungkur, pingsan. Ngaio berteriak lebih keras dan nyaring lantas segera berlari pergi meninggalkan tempat itu, ketakutan.
“Urgh… apa yang kau lakukan?” ujar Ānaru yang masih membungkuk menahan rasa sakit di perutnya.
“Dia menyerangmu,” jawab Airyung membela diri. “Dia juga kelihatan menyebalkan,” tambah Airyung sambil mengernyit.
“Pfft…” Ānaru tidak bisa menahan tawanya. “Dia memang menyebalkan. Tapi kalau kau langsung memukul pingsan seorang uluwero begini bukankah itu akan menambah reputusai burukmu?”
“Aku tidak berpikir sejauh itu. Jadi bagaimana?”
“Kita harus pergi dari sini sebelum Ngaio memanggil orang-orang,” ujar Ānaru mencoba mempengaruhi Airyung agar tidak segera kembali ke desa. Ānaru masih harus berlatih bersamanya.
“Tapi bukankah itu malah memperburuk keadaan? Kau bisa menjelaskan situasinya pada orang-orang desa. Kau ‘kan mengenal mereka,” tanggap Airyung logis.
“Tapi aku akan kesulitan menjelaskan tentang dirimu. Kalau… kalau aku sudah cukup kuat, dan membuktikan pada orang-orang desa, aku bisa berkata kalau kau guruku. Tapi aku masih lemah.”
“Tidak usah beralasan! Aku tahu kau hanya tidak ingin aku pergi ke desa dan berhenti melatihmu, ‘kan?” sergah Airyung yang langsung bisa membaca pikiran Ānaru. “Kau licik sekali, Ānaru,” lanjut Airyung sambil berdecak pelan.
“Kau! Kau lebih licik! Kau sudah berjanji padaku! Tapi kau cuma bermain-main dan tidak serius melatihku! Aku sudah bersedia membantumu. Seharusnya kau juga bersungguh-sungguh membantuku!” Ānaru tampak putus asa. Ia tidak ingin kesempatannya menjadi kuat hilang begitu saja.
“Baik, baik. Begini saja, bawa aku ke desa dan kau jelaskan situasi ini. Aku berjanji aku akan tetap melatihmu setelah kita kembali ke desa. Bukankah itu lebih efektif? Sambil aku mencari orang yang kubutuhkan, kau bisa menemaniku dan berlatih. Aku juga bisa melatihmu lebih lama. Kapan perekrutan uluwero itu?”
“Akhir bulan ini.”
“Berarti masih ada waktu dua puluh hari. Itu lebih dari cukup untuk membuatmu menjadi kuat. Bagaimana?” Airyung mencoba meyakinkan Ānaru. Iming-iming di kalimat terakhir Airyung tampaknya cukup berdampak pada Ānaru. Pemuda itu segera mengangguk setuju.
...***...
[1] Apa yang kau lakukan disini, Kaharap?
[2] Dengan Ngaio?
[3] Kenapa? Tidak suka?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
KANG KOMEN
lanjutkan thor, ceritanya bagus
2022-05-25
0
ilfindazaka ochtafarela
ceritanya bagus banget
2022-05-25
0
𝕮𝕽𝕽.𝕽 𝖋𝖙. [𝐻𝐼𝐴𝑇𝑈𝑆]
Semangat
2022-05-20
2