Di pagi hari ketiga latihan, tubuh Ānaru sudah lebih baik. Nyeri ototnya tidak separah sebelumnya dan luka punggungnya yang melepuh sudah membaik. Ānaru merasa seperti terlahir kembali. Hari itu dia mulai berlari sendirian sebelum disuruh oleh Airyung. Gadis itu tidak ada saat Ānaru membuka mata. Sepertinya Airyung pergi mengumpulkan embun dan makanan sejak dini hari.
Setelah dua hari dipaksa berlari mengejar – atau dikejar – Tsagan, kuda tunggangan Airyung, Ānaru kini sudah sedikit terbiasa. Kakinya terasa lebih ringan dan menurutnya, kecepatan larinya juga bertambah. Ia mengitari hutan mati selama beberapa saat, sampai akhirnya suara derap kuda terdengar mendekat.
Matahari sudah mengintip di ufuk timur ketika sosok Airyung yang menunggangi Tsagan muncul mendekati Ānaru. Ānaru mengurangi kecepatan berlarinya lantas mendatangi Airyung.
“Hari ini kau bangun pagi,” komentar Airyung begitu keduanya sudah berada dalam jarak yang cukup dekat.
“Kondisi tubuhku membaik,” jawab Ānaru. “Rasanya aku sedikit lebih kuat.”
Airyung mendengus kecil. “Aku tidak tahu kalau kau ternyata orang yang cepat puas.”
“Bukan begitu maksudku. Mungkin karena ceritamu semalam, aku jadi lebih bersemangat.”
Airyung masih tersenyum simpul mendengar jawaban Ānaru.
“Naiklah,” perintah Airyung kemudian.
“Kita mau kemana?” tanya Ānaru sambil menuruti perintah Airyung. Pemuda itu memanjat punggung Tsagan lantas duduk di belakang Airyung.
“Kita ganti suasana,” jawab Airyung lalu menghela kudanya berlari ke utara.
“Kau tidak berniat membawaku kembali ke desa sekarang, kan? Aku belum berlajar apapun untuk bertarung!” sergah Ānaru khawatir.
“Aku akan membawamu ke tempat lain. Kita akan berlatih di sana.”
Ternyata Airyung membawa Ānaru ke laut. Pesisir pantai yang dipilih Airyung berada di sisi Timur pulau Khitai. Pantai itu cukup dekat dari desa tempat tinggal Ānaru, namun tidak banyak didatangi orang karena jauh dari tempat tinggal kelompok nelayan. Derap Tsagan teredam pasir. Kuda itu melambat setelah mencapai bibir pantai.
Pantai itu dikelilingi dinding karang tinggi yang memecah gelombang menghasilkan suara debur yang keras. Sekumpulan stigi laut tumbuh di pesisir timur pantai itu, memanjang hingga ke gunung karang di sebelahnya.
Meski dekat dengan desanya, Namun Ānaru belum pernah ke pantai itu semata-mata karena memang tidak ada urusan di tempat itu. Para penggembala umumnya suka menjelajah di padang rumput daripada di pantai yang panas dan lengket. Angin laut membuat kulit Ānaru tidak nyaman.
“Kenapa kau membawaku kesini?” tanya Ānaru saat Airyung mulai menghentikan langkah-langkah Tsagan.
“Turunlah dan mandi dulu di laut. Badanmu sangat kotor,” kata Airyung sambil melompat turun dari kudanya.
Ānaru mengikutinya turun dari pelana. Benar juga, setelah dua hari berkeringat karena latihan kecepatan – akhirnya Ānaru memberi nama pada latihan tak masuk akalnya dua hari belakangan – Ānaru memang belum membersihkan diri.
Umumnya Ānaru memang jarang mandi bila sedang menggembala domba di padang-padang yang jauh. Tapi ia biasanya tidak melakukan banyak aktivitas yang bisa membuatnya banyak berkeringat. Dulu saat sumur-sumur di padang masih mengeluarkan air, Ānaru biasanya membasuh diri di sana. Sekarang semua mata air di Khitai sudah surut, bahkan hilang sepenuhnya.
“Ayo, mandilah! Baumu sudah seperti tikus mati.” Airyung mengernyit karena melihat Ānaru yang lelet.
Ānaru menurut. Ia sudah bertelanjang dada sejak kemarin karena pakaiannya tidak layak pakai saking kotornya. Sambil membawa baju kotornya, Ānaru membenamkan diri di dalam air. Air laut itu terasa menyejukkan. Tubuhnya seperti dibasuh oleh kesegaran yang lama ia lupakan.
Airyung turut menuntun kudanya masuk ke dalam air. Dengan sikat besar yang dia keluarkan dari kantong pelana, Airyung menyikat tubuh Tsagan dengan lembut.
“Airyung, kapan kau mandi?” tanya Ānaru polos.
Airyung mengangkat sebelah alisnya menanggapi.
“Jangan bermimpi bisa mengintipku mandi,” sergah Airyung masih sibuk membasuh Tsagan.
“Bukan begitu. Maksudku, kau selalu beraroma harum seperti hutan tropis. Dan kau juga selalu terlihat bersih. Bahkan baju-bajumu yang penuh bulu itu tidak terlihat kumal sama sekali,” jawab Ānaru.
“Ah, karena itu,” jawab Airyung pendek. Gadis itu kemudian berjalan menuju kantong pelananya yang tergeletak di pasir. Setelah mengambil bungkusan kecil berwarna coklat, Airyung menghampiri Ānaru.
“Kau bisa memakai ini. Ini ramuan hasil sintesis kulit citrus dan beberapa bahan lain yang kubawa dari Giyatsa. Gunakan pada tubuhmu lalu basuh dengan air,” jelas Airyung menyerahkan bungkusan kecil beraroma wangi itu.
Ānaru menerima bungkusan itu lantas membukanya. Di dalamya terdapat bubuk berwarna kuning gelap yang terasa licin saat terkena air. Ānaru mencoba menggunakan bubuk itu di tubuhnya dan ajaibnya bubuk itu mengeluarkan busa saat digosok di kulit.
“Apa ini sabun bubuk? Aku tidak pernah tahu sabun bisa beraroma seenak ini,” komentar Ānaru senang. Ia segera membaluri tubuhnya dengan sabun bubuk dari Airyung.
“Kau bisa memakainya sesering yang kau mau. Aku punya banyak,” ujar Airyung yang sejujurnya ingin mendorong Ānaru agar lebih sering membersihkan diri. Pemuda itu benar-benar kotor dan sejujurnya ia sudah nyaris tidak tahan dengan aroma Ānaru yang menyengat. Tapi sepertinya Ānaru tidak mengetahui maksud tersembunyi Airyung.
Setelah selesai membersihkan diri, Airyung mengembalikan belati kecil Ānaru yang dia ambil saat serangan chögörü tempo hari. Ānaru menerima belati itu dan megusapnya penuh perhatian seolah bertemu dengan kawan lama.
“Coba serang aku dengan belati itu,” kata Airyung kemudian.
Ānaru tampak kebingungan pada awalnya, namun wajahnya berubah antusias. Ia menjadi bersemangat karena Airyung akhirnya akan mengajarinya dengan sungguh-sungguh. Ia akan melakukan pertarungan terbuka.
Tanpa menjawab, Ānaru segera menerjang Airyung sambil menhujamkan belatinya. Gesit, Airyung mengelak dengan mudah. Anaru kembali menyabetkan belati ke arah Airyung. Sekali lagi Airyung melompat mengelak. Ke kanan, kiri, atas, bawah, kemana pun arah Ānaru menyerang, semua dapat dihindari Airyung seolah gadis itu bisa membaca gerakannya.
Selama beberapa waktu Ānaru menolak menyerah. Ia mulai menendang, mencoba memukul dengan tangan kirinya, tapi sia-sia. Airyung bergerak seperti angin. Meliuk dengan mudah bahkan melompat nyaris terbang. Gerakan Airyung sangat ringan. Sementara Ānaru kesulitan menapak dengan kokoh karena kepadatan pasir yang membenamkan tumpuan kakinya.
Ānaru mulai frustasi. Ia berteriak marah lantas membanting belatinya dengan kasar. Ia merajuk seperti anak kecil yang sadar kalau dirinya tengah dikerjai. Airyung memungut belati yang dibuang oleh Ānaru dengan ekspresi geli. Sepertinya ia sudah keterlaluan lagi hari ini. Tapi tentu saja Airyung tidak akan mengakui bahwa dirinya memang sedang bermain-main dengan pemuda itu.
“Kuncinya adalah kecepatan, Ānaru. Bukan kekuatan. Kau membuang-buang tenagamu untuk melancarkan serangan, tapi tidak memperhatikan kecepatan gerakanmu. Berdiri di atas pasir seperti ini bagus untuk melatih kuda-kudamu agar lebih kokoh,” panjang lebar Airyung menjelaskan.
“Bagaimana cara meningkatkan kecepatanku?” tanya Ānaru kemudian.
Airyung memungut dahan pohon stigi yang berukuran cukup besar dan terlihat berat. Dahan itu dia potong menjadi dua lantas diikatkan ke kedua lengan Ānaru. Airyung melakukan hal yang sama pada kedua kaki Ānaru.
“Sekarang, serang aku lagi,” perintah Airyung kemudian.
“Kau pasti bercanda,” sergah Ānaru yang kini kedua tangan dan kakinya dibebani dahan berat yang sangat mengganggu. Tapi Airyung tidak berkata apa-apa. Ānaru akhirnya melancarkan serangan pertamanya.
...***...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
🌹*sekar*🌹
😂😂😂😂😂
2023-03-23
0
想像力(Sōzō-ryoku)
mantap thor
2022-05-26
0
ilfindazaka ochtafarela
bagus banget ceritanya
2022-05-25
0