Sign Of Zodiac: Aries
Pemuda itu menghentikan langkahnya di atas bukit kecil yang tandus. Lagi-lagi ia hanya menemukan sebuah padang gersang. Telah lewat lima hari sejak ia meninggalkan rumah untuk menggembalakan domba-domba milik matunya[1]. Namun ia belum juga menemukan rumput hijau yang segar bagi kawanan domba itu. Sambil menghela napas pelan ia mulai menggiring kawanan domba menyusuri lereng bukit yang landai.
Berhari-hari ia telah berkeliling dari satu padang ke padang yang lain, namun tak satu tempat pun memiliki rumput yang layak dimakan oleh ternaknya. Semuanya telah layu dan mengering. Tak ada lagi warna hijau di tanah itu.
Bencana kekeringan yang berlangsung di Khitai selama bertahun-tahun telah mencekik denyut kehidupan dengan jari-jarinya yang keji. Pemuda itu sendiri telah kehilangan lebih dari separo kawanan ternaknya. Tidak hanya itu, bekal minum dan makannya sudah mulai menipis. Tak ada yang dapat diambil di alam yang kejam ini. Semua pohon meranggas, sungai mengering, bahkan udara pun terasa menyesakkan. Tanah tak lagi bersahabat, seakan sengaja ingin membunuh semua makhluk yang hidup di atasnya.
Akhirnya pemuda itu sampai di kaki bukit. Senja yang menguning, membuat pemandangan semakin tampak mati. Warna jingga di cakrawala tak lagi cantik karena beradu dengan tanah kering kecoklatan yang penuh retakan.
Sang pemuda kembali menghela nafas putus asa. Dibiarkannya para kawanan domba saling berebut sepetak rumput layu yang sudah separuh mengering. Ia sendiri harus beristirahat. Malam hampir menjelang dan ia harus mengumpulkan tenaga untuk mengusir segala ancaman yang biasanya datang saat malam tiba.
Ia sebenarnya bukan seorang penakut, namun desas desus mengatakan bahwa setelah matahari tak lagi bersinar, kinokambe[2] yang merajalela di tanah itu akan keluar dan memangsa apapun yang mereka temui. Tak ada satu orang atau binatang pun yang bisa selamat setelah bertemu dengan kinokambe.
Tentu saja ia tak percaya takhyul. Menurutnya ‘kinokambe’ yang banyak digosipkan itu tak lebih dari serigala hutan yang memang sering berkeliaran hingga ke desa-desa karena tak ada lagi buruan yang dapat mereka makan di hutan. Wajar saja, tak mungkin ada herbivora yang dapat bertahan hidup tanpa tumbuhan.
Pemuda itu tak terlalu peduli dengan ancaman serigala hutan atau kinokambe sekalipun. Meski hanya seorang gembala biasa, ia merasa cukup percaya diri dengan keahlian bela dirinya. Ia sering beradu pukul dengan beberapa pemuda lain di desanya. Bahkan ia pernah membuat seorang laki-laki yang merebut kekasihnya nyaris sekarat karena pukulannya.
Melawan serigala mungkin tidak lebih buruk daripada melawan manusia, pikir pemuda itu. Lagipula selama beberapa hari perjalanannya, tidak pernah sekalipun ia bertemu dengan serigala atau kinokambe yang banyak dibicarakan.
‘Mungkin hanya cerita rekaan untuk menakuti anak-anak di desa,’ pikir pemuda itu sambil mengumpulkan ranting-ranting kering yang banyak tersebar di dekatnya. Ia harus membuat api unggun. Serigala takut pada api.
Tekad kuat itulah yang akhirnya membuat api redup yang kian membesar berhasil menyala meski tanpa setetes minyak pun. Dengan puas pemuda itu menepuk-nepuk kedua tangannya lalu duduk bersandar pada sebatang pohon kering.
Malam mulai turun dan hawa dingin yang kontras dengan cuaca di siang hari yang terik mulai datang. Sejenak pemuda itu mengawasi kawanan dombanya yang sudah kehabisan rumput. Mereka mengembik gelisah seakan tak puas dengan porsi makannya beberapa hari ini.
Sang pemuda tak mengacuhkan rengekan domba-domba tersebut. Setidaknya mereka punya bulu-bulu tebal yang dapat menghangatkan tubuh mereka setiap malam datang. Ia sendiri hanya mengenakan pakaian berlengan panjang dari beludru berwarna abu-abu dengan kerah tinggi yang dipadukan dengan celana panjang dengan warna senada.
Pada ujung lengan, kaki, kerah serta dada berhiaskan ornamen khas sukunya yang berbentuk burung enggang berwarna merah dan kuning. Ia juga mengenakan tutup kepala berhiaskan bulu burung enggang yang mencuat memanjang ke atas.
Pakaian itu tidak setebal bulu-bulu domba. Hawa dingin dapat dengan mudah menelusup masuk dan membuatnya bergidik. Ia sedikit menyesal telah mengabaikan peringatan matunya untuk memakai pakaian yang lebih tebal.
Sudahlah, ia toh sebenarnya tidak ingin melakukan hal ini. Bila bukan karena permohonan uma[3]-nya, mungkin ia tidak akan pernah mau menggantikan pekerjaan matunya yang sedang sakit untuk menggembalakan domba-domba itu. Ia tak peduli meski nanti saat kembali tak ada satu domba pun yang bisa ia bawa pulang dalam keadaan hidup. Bukan salahnya bila semua padang rumput itu mengering. Ia justru senang bila semua dombanya mati. Sudah saatnya pekerjaan semacam ini ditinggalkan.
Ia tak habis pikir mengapa semua orang di desanya begitu bangga menjadi penggembala. Pekerjaan yang sama sekali tidak menantang. Pemuda itu baru berusia 16 tahun, dan ia sama sekali tidak ingin menyia-nyiakan masa mudanya untuk menjadi seorang gembala.
Ia selalu berangan-angan untuk bisa menjadi uluwero[4]. Uluwero adalah orang-orang yang bertugas untuk melindungi desa dari serangan suku-suku lain. Pekerjaan itu sangat dihormati oleh orang-orang di sukunya dan hanya orang-orang terpilih yang bisa menjadi uluwero. Mereka adalah ahli pertempuran laut, dan merupakan pelayar yang handal.
Desa suku Khitai, tempat pemuda itu tinggal adalah sebuah pulau kecil di tengah samudra Kanawallan. Khitai adalah salah satu dari dua belas suku di tanah Luteria yang terletak jauh di ujung selatan daratan besar. Kondisi geografis itu sedikit menguntungkan karena membuat suku-suku yang lain enggan menyerang daerah tersebut.
Meski begitu, peran uluwero tetap sangat disakralkan. Mereka merupakan simbol kekuatan dan kebanggaan suku Khitai yang mayoritas penduduknya adalah penggembala.
Menjadi uluwero. Itulah cita-cita pemuda itu. Ia kemudian mulai membayangkan dirinya bertempur di tengah laut dengan Mandau di tangan melawan orang-orang Leirus, Giyatsa atau Makhor. Khayalan itu membuai benaknya dan membuat semangat pemuda itu menggelora.
Sejenak ia melupakan hawa dingin yang menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Ia bahkan tidak menyadari bahwa suasana telah berubah sunyi. Rengekan domba-dombanya telah lama berhenti. Kegelapan total melingkupi pemuda itu dan cahaya api unggun mulai meredup seolah dikalahkan gelapnya malam. Entah apa yang terjadi pada para domba.
Biasanya mereka masih terus mengembik hingga tengah malam atau kadang hingga pagi menjelang. Kini domba-domba itu begitu tenang meski malam baru saja datang.
Bahkan angin pun berhenti bergerak membuat udara menggantung ganjil dalam kesunyian malam. Sekali lagi pemuda itu tidak menyadari keanehan yang tengah terjadi. Ia masih tenggelam dalam khayalannya sendiri.
Mendadak terdengar bunyi berderak keras yang mengejutkan pemuda itu dan membuyarkan lamunannya. Serta merta pemuda itu menyadari bahwa dirinya telah dilingkupi kegelapan. Api unggun yang sebelumnya menyala terang benderang kini sudah nyaris mati.
Para domba yang berubah tenang pun semakin membuat pemuda itu merasa tegang. Bahkan langit pun tampak sangat lengang tanpa bintang-bintang yang selama ini menjadi penunjuk jalan bagi pemuda tersebut.
Dengan gerakan pelahan, pemuda itu mencabut pisau kecil dari pinggangnya sambil berusaha menajamkan semua indranya. Nyala api unggun telah mati sepenuhnya dan di tengah kegelapan total itu, sang pemuda sama sekali tidak bisa melihat apapun.
Bahkan meski ia telah berusaha keras menajamkan pendengaran, ia sama sekali tidak mendengar desau angin. Keadaan ganjil yang menegangkan itu berlangsung selama beberapa saat, sampai akhirnya sang pemuda memutuskan untuk mengambil tindakan berani.
“Ewa kei heka?[8]” tanya pemuda itu sedikit keras.
Tak ada jawaban.
“Ewa kei heka?! [5]” pemuda itu kembali berseru dengan lebih berani.
Detik berikutnya suara geraman panjang yang mengerikan menjawab seruannya. Bulu romanya langsung berdiri dan detak jantung berdetum cepat di dadanya. Pemuda itu langsung melompat berdiri dengan pisau kecil terhunus di depannya.
“Ewa kotu?! Bayan kei hetu![6]” seru pemuda itu dengan suara bergetar.
Sekali lagi suara geraman menjawab seruannya. Meski gentar, pemuda itu tetap waspada. Ia berusaha mengira-ira sumber suara geraman itu, namun rasanya suara itu berasal dari segala arah. Tiba-tiba pemuda itu menyadari di hadapannya, kurang lebih lima meter di depannya, sepasang mata merah yang sangat besar dan bengis tengah menatapnya dengan hawa membunuh.
Mata yang sangat besar dan merah itu melayang di tengah kegelapan. Selama beberapa menit mengamati, pemuda itu menyadari bahwa ia tengah bertatapan dengan makhluk yang tingginya mungkin dua kali tinggi tubuhnya.
Untunglah, di saat yang tepat pemuda itu menemukan keberaniannya. Setidaknya ia kini tahu bahwa ia menghadapi semacam binatang hutan yang sedikit lebih besar darinya. Tapi itu bukan masalah, karena kedua mata merah besar itu terlihat jelas di tengah kegelapan dan dapat membantu sang pemuda melihat gerakan makhluk tersebut.
Sambil mengatur nafas untuk menenangkan diri, pemuda itu bersiap melancarkan serangannya. Namun, sebelum si pemuda sempat melakukan langkah pertamanya, makhluk tersebut sudah menerkamnya dengan kecepatan yang nyaris tak terlihat. Reflek pemuda itu membanting tubuhnya ke samping untuk menghindar di saat yang tepat. Nyawanya tertolong tapi bahu dan lengan kirinya terkena cakaran makhluk tersebut.
Rasa panas dan ngilu menyerang tubuh pemuda itu. Ia merasakan aliran darah mengucur deras melewati dada dan perutnya. Pemuda itu merintih pelan tapi segera berusaha berdiri dan menghadapi makhluk misterius tersebut.
Sekali lagi makhluk tersebut mengeluarkan suara geraman yang mendirikan bulu roma. Tapi sang pemuda tak lagi terlalu takut. Keberaniannya telah bangkit sepenuhnya. Malah kini ia merasa tertantang untuk mengalahkan makhluk asing tersebut.
Dengan penuh semangat, ia menerjang ke arah makhluk raksasa di hadapannya. Meski lengan kirinya mulai terasa kebas, ia tetap nekat. Namun, sebelum ia berhasil mencapai makhluk itu, tiba-tiba tubuhnya disambar oleh sesuatu yang lembut, hangat dan harum. Selama beberapa waktu ia terlena dengan wangi hutan tropis yang sejuk hingga merasa seperti melayang di udara.
Ia yakin sesuatu yang menyambarnya bukan makhluk yang tengah dilawannya, karena ia dapat melihat sepasang mata merah besar yang bengis itu menjauh darinya.
Detik berikutnya ia terlempar dari udara dan menghantam tanah kering yang keras. Rasa ngilu di bahunya menyadarkan pemuda itu kembali ke kenyataan. Sambil mengerang keras, ia kembali bangkit dan mencari keberadaan makhluk misterius yang menyerangnya.
Sayangnya kegelapan sepertinya telah menelannya. Kepalanya terasa begitu pusing dan berat. Pemuda itu pun kembali terjatuh menghantam tanah dan kehilangan kesadaran.
...***...
[1] matu: Ayah
[2] kinokambe: Roh jahat
[3] uma: ibu
[4] uluwero: Pasukan pelindung suku Khitai.
[5] Ewa kei heka?: Siapa di sana?
[6] Ewa kotu?! Bayan kei hetu! :Siapa kau?! Kalau berani, datang kemari!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 131 Episodes
Comments
Reno Sajalah
ini keren... serius deh...
2024-04-23
0
Iroshiki
burung enggang itu apaan kak?
2023-05-09
1
Muntiara suga
kenapa harus zodiak aries ka2??🤔
2023-04-17
0