"Kalau mau berubah itu, jangan karena akhwat, Mas. Tapi karena Allah." nasihat Heri, teman Yasmin saat menjadi guru. Aku sengaja memilihnya sebab dulu Yasmin pernah mengatakan bahwa lelaki itu baik agamanya. Ia juga sudah punya keluarga, jadi tidak punya tujuan lain selain ingin membantu Yasmin yang saat itu mengalami masalah di pekerjaan.
"Iya, aku berubah bukan hanya karena Yasmin. Tapi aku benar-benar ingin jadi orang baik. Tapi nggak salah juga kan, berharap mendapatkan Yasmin setelah menjadi baik. Seperti sambil menyelam minum air," kataku.
"Hahaha, ada-ada saja mas Qret ini. Terserahlah embel-embel belakangnya. Tapi tetap harus karena Allah!"
"Iya ... iya ustad. Lalu sekarang aku harus bagaimana?"
"Ya mas Qret harus mulai belajar salat, ngaji, puasa, serta ibadah-ibadah lainnya."
Heri menjelaskan secara ringkas tentang kewajiban orang-orang muslim. Kewajiban kepada Allah, yaitu salat, ngaji, puasa, bayar zakat.
"Satu hal lagi. Sebaiknya mas Qret menghentikan usaha barnya."
"Kenapa?"
"Haram mas. Haram!"
Yasmin juga pernah mengatakan hal itu. Dosa jariyah akan terus mengalir jika aku tetap menjalankan bisnis di dunia hitam. Memfasilitasi orang-orang untuk tetap berbuat dosa. Maka aku pun akan menerima dosa yang sama. Mengerikan sekali.
"Lalu aku harus bagaimana?"
"Cobalah cari pekerjaan yang halal. Atau membuka usaha yang halal. Tidak harus saya uraikan, kan, mas?"
"Iya ... iya. Faham!"
Pembicaraan kami terhenti sejenak saat istri Heri datang membawa dua cangkir teh dan cemilan untuk kudapan kami. Setelah istrinya berlalu, pembicaraan kami lanjutkan.
Heri menyarankan agar aku mulai salat dan melaksanakan salat taubat. Benar-benar minta ampun sama Allah. Saat ini fokus belajar ibadah dulu. Lupakan Yasmin sejenak untuk menjaga niat.
Berat memang. Tapi aku harus melakukannya demi mendapatkan cinta yang paling agung. Cinta dari pemilik sementara alam. Cinta dari pemilik kehidupan ini. Semoga bisa.
Heri memberiku bekal satu buah buku tipis berisi panduan salat. Katanya itu buku milik putri sulungnya yang berusia tujuh tahun. Buku itu sengaja dihadiahkan untukku karena anaknya sudah hafal diluar kepala.
"Nah, mas Qret juga harus menghafalnya. Jangan mau kalah dengan anak kelas satu SD!" ungkap Heri, memberikan semangat.
"Iya ... iya."
"Kalau ada masalah. Jangan sungkan menghubungiku."
Sebelum pergi, tidak lupa kusalami selembar amplop di tangannya. Amplop yang cukup tebal sebagai bayaran atas pelajaran yang diajarkannya.
"Tidak usah begini, mas. Saya ikhlas mengajarkan mas Qret. Saya harap mas bisa jadi orang baik. Saya mendukung mas dengan Yasmin. Ia harus bahagia. Yasmin sudah saya anggap seperti adik kandung sendiri." ungkap Heri.
Mendapatkan dukungan itu, aku semakin semangat. Tetapi cepat-cepat kutepiskan bayangan wajah Yasmin. Ingat, harus fokus. Hanya memikirkan Allah saja. Kata Heri, Tuhan itu pencemburu. Kalau kita lebih mencintai makhluk-Nya ketimbang Dia, maka mudah baginya untuk memisahkan.
Lagipula aku sudah bertekad ingin menjadi orang baik. Meski kelak tidak mendapatkan Yasmin. Aku tidak ingin lagi hidup sia-sia.
***
Selembar sajadah sudah digelar di atas lantai kamarku. Sajadah yang dibeli di toko perlengkapan haji. Pelan, dengan membaca basmalah, kubuka ke bar demi lembar halaman buku panduan salat. Pertama-tama aku ingin melaksanakan salat taubat dulu. Dua rakaat.
Meski canggung karena baru kembali salat setelah usia sepuluh tahun, tapi aku tetap mencoba. Tapi baru takbir, rasanya tidak pantas.
Dosaku banyak. Aku penjahat. Entah sudah berapa orang yang hidupnya terlilit hutang berbunga hancur olehku. Mereka semua sengaja ku jebak.
Ya Tuhan, aku tidak pantas. Tidak. Tidak pantas!
"Aaaaaaa!" aku berteriak histeris hingga pintu kamar diketuk beberapa orang.
"Qret," ibu pertama kali masuk, diikuti oleh Riana dan Deni. "Kenapa nak?"
"Qret pendosa Bu, Qret banyak salah. Qret penjahat!" rengekku.
"Ya Tuhan, Qret. Jangan bicara seperti itu,"
"Kita tidak akan dapat ampunan Tuhan, Bu. Tidak akan!" aku mulai menangis.
"Qret," ibu ikut-ikutan menangis.
"Bu, apa kita akan masuk neraka? Kita akan dibakar, Bu? Qret tidak sanggup Bu. Tidak!" aku terus menceracau. Persis anak kecil yang ketakutan.
"Ibu juga Qret," ibu ikut-ikutan histeris.
Tangis kami berdua pecah. Pelukan ibu tidak ku lepaskan. Aku benar-benar takut. Khawatir mati dalam keadaan penuh dosa.
"Qret kamu bicara apa?" tanya Riana.
"Kita semua akan masuk neraka Riana. Kau juga Deni. Kita semua!" ungkapku.
"Tapi tuan, saya hanya menuruti perintah anda!" Deni membela diri.
"Kau sudah dewasa, sudah bisa mempertanggungjawabkan pilihanmu sendiri!" aku balik menyerangnya.
"Tapi tuan," Deni terlihat memucat. "Saya hanya nyari makan!"
"Ya sama saja. Aku juga cuma cari makan!" ungkapku.
"Lalu bagaimana, tuan?" Deni semakin panik.
"Aku tak tau Deni. Tapi aku tak sanggup!" aku masih menangis.
"Hentikan!" Riana membentak. "Kalian bicara apa, sih?" kini Riana meminta penjelasan ku. "Kau terlalu banyak bergaul dengan perempuan itu. Yasmin sudah mencuci otakmu Qret. Lihatlah, kau sampai kacau seperti sekarang ini!"
"Bukan Riana. Bukan hanya karena dia. Tapi aku benar-benar tidak ingin lagi jadi penjahat." kataku dengan lirih.
"Apa maksudmu, Qrery?"
"Aku juga tidak tahu."
"Kalau begitu diamlah. Tunggu sampai ayah ke.bali dari Surabaya, baru kita bicarakan!" Riana hendak berlalu. "Kau Deni, jangan ikut-ikutan stres seperti Qret!" pesan Riana pada Deni.
"Tuan?" Deni menatapku.
"Aku tidak tahu Deni. Aku bingung." kataku.
"Qret, apa sebaiknya kita cari guru mengaji?" usul Ibu.
"Ya Bu," jawabku.
Setelah kejadian itu, aku memilih mengurung diri di kamar. Aku benar-benar dalam keadaan takut, cemas dan sedih yang luar biasa.
Takut kalau nyawaku berakhir. Cemas jika tidak ada lagi jalan untukku bertaubat, sedih mengingat dosa-dosa di masa lalu yang sangat banyak.
Hijrah itu butuh tekad yang kuat untuk tidak lagi mengulangi kesalahan di masa lalu. Bertekad untuk melepaskan diri dari dosa-dosa. Memang tidak mudah, tapi hasilnya akan indah. Kau hanya perlu Istiqomah. Itu adalah pesan Heri yang selalu kuingat-ingat.
Benarkah aku ingin hijrah? Sudah siapkah aku kehilangan semua kesenangan duniawi yang selama ini kudapatkan? Lalu, apakah aku bisa Istiqomah?
Lagi-lagi aku menangis sedih membayangkan betapa banyaknya dosa yang bertaburan. Dosa-dosa itu jika dikumpulkan pasti jumlahnya sangat banyak. Mungkin lebih tinggi dari gunung berapi. Lalu, sanggupkah aku memikulnya?
"Menangis saja mas Qret. Tangisi saja dosa-dosa antum. Kelak, air mata itu akan bersaksi bahwa mas takut kepada Allah dan tidak sanggup memikul dosa yang banyak itu." nasihat Heri lewat telepon saat aku mengungkapkan keresahanku.
"Apa dosaku bisa diampuni? Taubatku bisa diterima?"
"Allah itu maha pengampun, mas. Maha penyayang. Kalau kita datang padaNya, maka Dia akan menyambut kita. Asal jangan pernah kembali lagi dalam kubangan dosa itu!"
Heri menceritakan padaku kisah orang-orang pada zaman Rasulullah. Tentang mereka yang berdosa. Tetapi Allah ampuni dosa-dosanya. Bahkan seorang Umar bin Khattab saja dahulu begitu banyak dosanya. Tetapi oleh Allah dijadikan salah satu sahabat yang dijanjikan surga sebab beliau bertaubat dan membantu agama Allah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Yenni Kurniati D
Mantap kk,,,
2021-09-17
0
Yuni Odih Al Oza
🤣 🤣 🤣 Bikin ngakak tapi terharu juga, lagian si deni apaan sih
2021-05-19
0
Eulis Nurhayati
bodor c qret sama c deni mah
2021-04-10
0