Selama tiga hari aku terbaring di tempat tidur. Saat badan ini mulai bisa diajak bangkit, akupun langsung turun dari tempat tidur tanpa mempedulikan perkataan Deni dan Riana yang protes. Aku sudah bosan menjadi pasien. Tiga hari terkurung di kamar tanpa melakukan apa-apa. Hanya berbaring, minum obat dan makan bubur yang rasanya tidak karu-karuan.
"Kau mau kemana, Qret? Jangan keras kepala seperti ini. Kau belum sembuh betul!" Riana mencoba menahan langkahku, tetapi ia tidak bisa mencegah saat aku bersiap pergi dengan mobil.
"Urus semuanya, aku pergi sebentar," kataku pada Deni dari balik jendela mobil.
"Qret!" Riana terus saja protes.
Jendela langsung tertutup secara otomatis, lalu kuinjak gas hingga melaju meninggalkan rumah. Terus membelah jalanan kita Jakarta. Meski hanya terkurung tiga hari, tetapi rasanya sudah lama tidak melewati jalan ini.
Begitu memasuki kawasan kumuh, mobil ku parkir di tempat biasa, dekat yang rumah Yasmin. Lalu lanjut jalan kaki.
Langkahku terhenti saat melihat Yasmin tengah berbincang dengan seseorang yang sudah tidak asing bagiku. Jimmi, ketua polisi yang bertemu denganku di penjara. Ia tampak bicara serius dengan Yasmin.
"Tuan?" Yasmin menyadari kedatanganku. Ia terlihat kaget.
"Kita bertemu lagi," Jimmi mengulurkan tangannya. Tetapi lagi-lagi kuabaikan.
Untuk apa anak Wijaya itu ke sini? Bukankah kata Yasmin mereka hanya teman sewaktu sekolah. Tidak terlalu akrab. Lalu mengapa ia berada di sini? Dahulu ayahnya mengambil ibu dari sisiku. Sekarang apa anaknya juga akan mengambil Yasmin dariku? Tidak semudah itu. Dahulu aku pernah kalah, terapi sekarang tidak akan bisa lagi.
"Tuan, bukannya anda masih sakit? Mengapa ke sini?" tanya Yasmin.
"Dia sendiri untuk apa ke sini?" tanyaku, tanpa melihat ke arah polisi tersebut.
"Ada yang harus kami bicarakan." jawab Jimmi.
"Yasmin masih harus membayar hutang-hutangnya padaku. Jumlahnya tidak sedikit. Tiga milliar. Sampai hutangnya lunas, aku yang akan mengatur kehidupannya. Sekarang aku perintahkan padamu, Yas, suruh dia pergi karena kau harus bekerja!" lagi-lagi aku bicara tanpa melihat wajahnya.
"Eh, ada tuan Qret," pak Bimo keluar dari dalam rumah. Ia langsung menyambutnya, mempersilakan masuk ke dalam rumahnya.
Entah apa yang dikatakan Yasmin pada polisi itu, tidak berapa lama lelaki itu pergi meninggalkan rumah Yasmin. Meski begitu aku belum terlalu lega sebab bisa saja besok-besok ia datang lagi.
"Yas, ayo masuk, bicaralah dengan tuan Qret," pinta ayahnya.
"Pak, jangan panggil saya tuan. Panggil saja Qret." kataku.
"Baik ... baik, nak Qret." meskipun canggung, akhirnya Pak Bimo memanggil namaku langsung.
Aku memang sudah mengizinkan pak Bimo pulang sesuai keinginan Yasmin. Agar ia tidak kembali berulah, pak Bimo membantu putrinya untuk mengurus jahitan. Pria enam puluh tahun itu memang punya keahlian menjahit yang ia dapatkan di bangku sekolah dasar.
Setelah punya kesibukan, ia tidak lagi berkeliaran kemana-mana seperti yang dahulu dilakukannya. Sehingga bisa menghilangkan rasa khawatirku ia akan berulah lagi.
"Bagaimana kabar kalian?" tanyaku pada Yasmin, setelah ayahnya berlalu ke dalam.
"Baik tuan. Ayah membantuku menjahit. Kami juga sering berbicara. Perlahan hubungan kami mulai membaik. Sekarang aku menyadari, ayah hanya butuh teman bicara. Sepeninggalan ibu, sepertinya ayah kesepian." tutur Yasmin.
"Baguslah kalau begitu. Semoga ia tidak membuat masalah lagi untukmu."
"Anda sendiri bagaimana, tuan? Sudah baikan?"
"Kau masih ingat aku? Tiga hari aku sakit tapi kau tidak datang membesuk. Terlalu sekali. Atau jangan-jangan kau ingin aku mati ya supaya hutangmu lunas?"
"Tidak sama sekali tuan. Aku datang beberapa kali, bahkan menitipkan masakan buatan ku untuk anda. Kata orang-orang, pasien penyakit typus biasanya nafsu makannya hilang, makanya aku memasakkan bubur ayam untuk anda. Apa mbak Riana tidak menyampaikannya?"
Riana benar-benar keterlaluan. Awas saja nanti, kalau aku bertemu dengannya akan kuberikan ia pelajaran supaya tidak lagi ikut campur urusanku.
Tetapi ada perasaan senang juga saat tahu ternyata Yasmin datang. Ia bahkan memasakkan makanan untukku. Ia juga berdoa agar aku lekas sembuh. Hatiku yang semula kesal menjadi berbunga-bunga olehnya.
"Mungkin berkat doamu, makanya aku sembuh." ucapku secara spontan.
Setelah itu kusampaikan pada Yasmin apa yang tengah mengganjal hatiku sehingga harus datang ke rumahnya dalam kondisi seperti ini. Tentang mimpi dan bayangan orang tuaku yang membuat resah beberapa hari terakhir semakin bertambah-tambah.
"Tuan, apa anda tidak bisa memaafkan mereka?" tanya Yasmin.
"Mereka tidak minta maaf padaku," jawabku, seperti anak kecil yang merajut karena dijahati teman-temannya.
"Memberi maaf tidak harus karena seseorang memintanya pada kita. Kadang, banyak orang yang tidak tahu, dengan memberikan maaf, memutuskan tidak menyimpan dendam pada siapapun menjadikan hidup kita lebih ringan. Bayangkan saja, ketika kita membenci seseorang terlepas ia berbuat salah atau tidak akan membuat hati lelah. Setiap hari penuh prasangka dan kebencian. Akhirnya hati jadi sakut, merembet pada bagian tubuh lainnya."
"Kau tidak berada di posisiku makanya bisa bicara seenteng itu." aku masih keras kepala menolak nasihatnya.
"Tuan, akupun pernah mengalami hal berat dalam hidupku. Tak punya siapapun. Harus mengandalkan diri sendiri. Aku bicara begitu sebab akupun sudah mengalaminya, makanya berani bicara. Lagi pula jika yang memberikan kita nasihat belum mengalami hal berat yang kita rasakan, bukan berarti harus menolaknya mentah-mentah. Cobalah mengambil hal-hal baik yang diberikan orang lain untuk kebaikan diri sendiri."
"Aku tidak tahu Yas, rasanya sangat takut sekali bertemu dengannya. Bagaimana kalau ia menolak ku?" akhirnya kuungkapkan juga apa yang mengganjal di hati.
"Anda belum mencobanya, tuan. Kalaupun itu terjadi, setidaknya anda sudah berusaha berdamai dengan diri sendiri. Anda sudah menang, tuan."
Aku menutup wajah dengan kedua tangan.. tidak berani membayangkan pertemuan itu. Benarkah aku siap? Apa aku sanggup menemuinya. Lalu apa yang harus ku katakan? Kalau ia mengusirku seperti dulu, apa aku harus mengemis atau memohon agar ia mau menerima? Lalu apa aku benar-benar sudah siap menerimanya?
"Tuan, tanyakan pada hati anda yang paling dalam, apa yang membuat diri anda nyaman?"
Ingin sekali aku mengabaikan apa yang dikatakan oleh Yasmin. Tetapi ia benar. Benang kusut ini harus diurai. Aku tidak benar-benar bisa melupakannya. Tetapi juga belum bisa memastikan apa aku ingin bertemu?
Aku masih marah, benci dan kecewa. Aku belum bisa menerima apa yang dilakukannya saat aku masih kecil. Meninggalkan seorang diri di tempat asing. Bagaimana kalau saat itu ada orang jahat yang menculik atau aku harus mati kelaparan?
Seharusnya ia berfikir, bagaimana mungkin anak usia lima tahun bisa bertahan hidup sendiri tanpa bantuan orang dewasa.
"Ahhhh!" aku berteriak, berusaha membebaskan diri sendiri dari kenangan buruk di masa kecil setelah ia membuangku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Nukifaljen
ceritanya bagus banget. semangat thor💪💪
2020-11-09
0
Nur Harahap
semangat author. saya pembaca setia, karena ceritanya bagus sekali😊😊😊
2020-06-08
2
Citra Ade Purnama
keren thor
2020-06-08
1