Aku berdiri tepat di depan rumah gadis itu. Mendekat ke pintunya. Lalu menghempaskan badan. Berharap beban itu segera hilang. Sungguh, saat seperti ini aku rindu sosok nenek Aini, perempuan yang sudah membesarkanku meski iapun hidup dalam keterbatasan.
"Anda?" tiba-tiba pintu dibukanya. Gadis itu terlihat kaget mendapatiku di depan rumahnya. Sepertinya ia keluar karena mendengar suara tubuhku menghantam pintunya yang sudah reot. "Tuan, aku tahu ayahku punya hutang yang sangat banyak pada anda. Aku juga masih ingat menjadi jaminan untuk hutang-hutang tersebut. Aku akan berusaha membayarnya. Tapi tolong, jangan mengikutiku terus." ia mengatupkan kedua tangannya sebagai bentuk permohonan.
"Aku hanya ...." air mata itu sudah tidak bisa tertahan lagi. Untuk pertama kalinya aku menangis di hadapan orang lain. "Biarkan aku di sini sebentar saja." pilu, aku memohon padanya.
Gadis itu masuk, tidak lama ia kembali membawa segelas air putih. "Minumlah," ia menyodorkan gelas tersebut ke hadapanku.
Segelas air putih itu telah habis kuteguk. Lega rasanya. Tetapi ada rasa tidak enak. Apalagi ia terus memperhatikanku dari dalam rumahnya.
"Maaf kalau kehadiranku membuatmu kaget," aku mencoba mencairkan suasana. "Tapi kenapa semalam ini kau belum tidur?"
"Bukankah Anda yang menyuruhku untuk bekerja keras, Tuan?"
Canggung rasanya mendengar pernyataan gadis itu. "Jadi kau mau menyalahkan ku? Yang berhutang itu siapa? Kenapa jadi menyudutkan ku?"
"Maafkan aku Tuan,"
"Minta maaf kata orang gampang. Tapi ingat, tetap bayar hutangmu." aku mendengus kesal. "Oh ya, kau memang harus bekerja keras, tapi jangan sampai lupa istirahat. Kau kan manusia, bukan robot!"
"Tuan, apakah anda sudah baik?"
"Apa maksudmu?"
"Ini sudah sangat malam. Aku tidak ingin ada warga yang melihat dan berfikiran tidak-tidak,"
"Hei, kau pikir aku ini apa?"
"Tuan, aku hanya mencoba menjalankan apa yang sudah ditetapkan syariat. Tidak boleh berduaan dengan yang bukan mahram. Apapun kondisinya. Kalau anda sedang marah, kesal atau sedih, lebih baik cari teman laki-laki untuk bercerita, atau ...."
"Hei, apa maksudmu? Siapa yang sedih? Aku hanya kesal dengan ulah ayahmu. Kapan dia akan kembali? Akan kupatahkan kakinya,"
"Tuan,"
"Apa? Kau mau marah karena aku mau mematahkan kaki ayahmu? Hei lihat, kau sampai berani melotot ke arahku."
"Ayahku memang bersalah, aku tidak akan membelanya,"
"Huh, kau yang anaknya saja pasti benci pada ayahmu. Apalagi aku!"
"Aku tidak membenci ayahku. Tapi aku juga tidak berusaha untuk membelanya. Ayahku salah dan aku mengakui itu."
"Lalu kenapa kau memelototi aku? Hah, bicara denganmu membuat suasana hatiku jadi semakin buruk. Sudah malam, kau istirahatlah. Besok bangun dan bekerja dengan giat agar hutangmu segera lunas!" aku berlaku meninggalkan rumah gadis itu.
Kini seutas senyum kembali terkembang di bibir ini. Setidaknya, sedikit laraku terobati setelah menatap matanya.
***
Teror itu mulai dilancarkan. Aku tahu, pelakunya adalah Wijaya. Tetapi sampai detik ini belum ada balasan yang bisa kulakukan. Bahkan untuk sekedar melindungi diri. Satu-persatu pelanggan bar mulai berkurang. Lama-lama aku bisa gulung tikar bila pengunjung makin sepi.
"Qret, kau tidak punya pilihan lain," ucap Paman Rudi, ayahnya Riana.
"Aku juga sudah mengatakan padanya untuk mundur, tapi Qret tidak mendengarkan ku!" Riana mulai mengomel.
"Sejak umur lima belas tahun aku bekerja keras agar bisa punya bar sendiri. Sekarang setelah semuanya terwujud, bagaimana mungkin aku menyerah. Paman, tolong beri ide lain selain menyerah," pintaku dengan penuh harap.
"Qret, Wijaya bukan lawan yang sebanding untukmu,"
"Paman tahu kan, dia siapa? Dalam tubuhku ada darahnya, Paman. Harusnya akupun bisa sekuat dia." orang bilang, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Meskipun aku membencinya, kuharap kekuatannya juga menurun padaku, agar kelak aku bisa membalaskan dendam ini.
"Berurusan dengan Wijaya bukan hal yang mudah. Tapi kalau kau sudah bertekad, aku akan selalu berada di sisimu untuk memberikan sedikit masukan." kata Paman Rudi.
"Ayah, kenapa membiarkan Qret dalam masalah!" Riana langsung protes.
"Kau diamlah. Ini urusan laki-laki. Sebaiknya kembali ke rumah. Jangan mengganggu Qret terus." Paman Rudi mengusir putrinya. Sebelum pergi, Riana terus saja mengomel. Tidak terima dengan keputusan ayahnya.
Keberadaan Riana memang agak mengganggu. Aku butuh ketenangan untuk menemukan jalan membalas Wijaya. Saat ini ia boleh merasa di atas awan, tapi sebentar lagi akulah yang akan memenangkan permainan ini.
***
Panas rasanya hati ini saat melihat foto keluarga Wijaya. Ia duduk di kursi bersama istrinya. Sementara di kiri dan kanan berdiri dua orang anak laki-laki. Satu orang berseragam polisi, seorang lagi memakai jas hitam.
"Bagaimana mungkin ia bermain-main dengan perempuan lain, padahal sudah punya istri dan anak!" aku mengumpat berkali-kali.
Tidak lama Deni masuk. Memberitahu bahwa apa yang sudah kuperintahkan telah dilaksanakannya dengan baik. Meskipun masih was-was, tetapi aku bisa sedikit bernafas lega dengan persiapan yang sudah kurancang bersama Paman Rudi untuk menghadapi serangan Wijaya.
"Tidak ada yang mengganggu, kan?" tanyaku, memastikan bahwa kali ini ia tidak melakukan kesalahan lagi.
"Hanya Riana yang terus-menerus mencari tahu tindakan kita selanjutnya."
"Jangan beritahu apapun padanya."
Setelah memberikan laporan, Deni segera berlalu, meninggalkanku sendiri. Kini aku beralih ke laporan keuangan. Memperhatikan jumlah uang yang kumiliki. Jumlahnya tidak akan seberapa dengan harta kekayaan Wijaya. Tetapi aku tidak ingin kalah dalam pertarungan ini.
Mulai sekarang aku akan menjadi bayangan Wijaya. Aku akan menghancurkan hidupnya. Aku akan membuatnya menyesal sudah membuatku terkahir ke dunia ini.
Sakit, di hati ini. Kehidupan yang sangat rumit. Tetapi aku tidak akan menyerah begitu saja. Aku harus menang.
***
"Qret, kau mau kemana?" Riana menghadang langkahku.
"Jangan mengikutiku!" aku mengancamnya.
"Qret, jangan melakukan hal bodoh,"
"Kau bicara apa? Aku hanya ingin mencari angin,"
Sebelum Riana mencecarku dengan rasa ingin tahunya, aku segera masuk ke mobil, memacunya secepat mungkin agar ia tidak bisa membuntutiku.
Jalanan pagi ini agak lengang. Aku bisa sampai tujuan dengan cepat. Mobil kuparkir di ujung jalan. Lalu menuju rumahnya. Lagi-lagi kami bertemu di depan pintu.
"Mau kemana?" tanyaku. Ini akhir pekan, harusnya ia tidak mengajar.
"Mengantar ini," ia menunjukkan bungkusan. "Pesanan jahitan."
"Kau multitalenta juga, ya. Harusnya kau kaya raya karena bisa semua hal."
Tidak ada jawaban darinya. Gadis itu terus berjalan melewati gang-gang sempit. Sementara aku mengikuti dari belakang.
"Hei, sebenarnya kita mau kemana? Mengapa harus jalan sejauh ini. Kalau tahu tadi harusnya naik kendaraan."
"Maaf Tuan, aku harus menghemat uangku agar bisa segera membayar hutang pada Anda."
"Kau menyindirku? Lagipula siapa yang menyuruhmu membuang-buang uang untuk naik kendaraan umum. Aku kan bilang naik mobilku!"
Lagi-lagi tidak ada jawaban. Ia terus saja berjalan. Tanpa mengeluh sedikitpun. Sementara aku, entah sudah berapa kali berkomentar tentang jarak yang kami tempuh.
"Tuan, aku harus masuk ke rumah pelanggan ku. Jika tidak keberatan, tunggulah di sini,"
"Ya, pergilah!"
Setelah sepuluh menit, barulah ia keluar. Yasmin terlihat senang, tanpa menyapaku, ia kembali melanjutkan perjalanan pulang. Sementara aku langsung siap mengikuti dari belakang.
"Kau kelihatan senang. Apa ia membayarmu tinggi?"
"Lumayan Tuan. Tadi ada orderan tambahan lagi."
"Pantas kau semangat sekali. Hei, tadi kau minum ya, soalnya kau terlihat lebih segar dari sebelumnya?"
"Makan biskuit juga,"
"Apa? Kau membiarkanku berpanas-panasan di luar, sementara di dalam kau minum dan makan biskuit. Sungguh kejam!"
"Aku tidak meminta Anda untuk mengikutiku,"
"Jangan pura-pura lupa. Kau itu jaminan,"
"Lalu Anda mau apalagi, Tuan?"
"Kau menantangku? Benar-benar membuatku kesal. Baiklah, kita istirahat sebentar. Ayo minum di warung itu,"
Kali ini giliran gadis itu yang mengikutiku. Kami masuk ke warung bakso. Aku memesan semangkuk bakso dan es jeruk.
"Hei, kau tidak mau makan?"
"Tidak usah,"
"Setidaknya minumlah. Tenang saja, aku yang bayar. Aku tidak suka makan sendiri, sedangkan orang yang sedang bersamaku diam seperti patung!"
"Tidak, terimakasih."
"Kau ini, sudah kurus, harusnya makan yang banyak agar kuat mencari uang. Kau mau membuatku lama menunggu?"
"Baiklah Tuan. Aku pesan semangkuk bakso dan es teh,"
Aku bisa merasakan gadis ini sangat tertekan sekali. Sepasang matanya bahkan berkaca-kaca. Makanannya pun dihabiskan dengan sangat cepat. Entah mengapa, aku menjadi iba padanya.
"Kau punya pacar?" tanyaku.
"Tidak,"
"Kalau teman?"
"Tidak juga. Tidak ada yang ingin berteman denganku,"
"Kenapa?"
"Ayahku sering membuat masalah. Orang-orang di sekitarku perlahan menjauh sebab tidak ingin ikut terlibat atau disangkut pautkan."
"Kau tidak punya keluarga lain?"
"Ibuku meninggal karena melahirkanku. Aku satu-satunya anak mereka."
"Hidupmu pasti sangat sulit. Aku kasihan padamu, tapi bukan berarti hutangmu lunas. Kau harus tetap membayarnya!"
"Aku juga tidak minta dikasihani. Aku tahu, tidak selayaknya minta pada manusia."
Usai makan, kami kembali melanjutkan perjalanan dalam diam, sibuk dengan pikiran masing-masing.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Selamat Adi
aku baru nemu kemarin, sampe bab ini aku suka😍😍😍, terus itu nama nya memang Qret ya... aku bacanya kiret, maaf ya kak kalau salah baca🙏🙏🙏,
2022-01-16
0
Yuni Odih Al Oza
Kok lucu ya kelakuan si Qret 😄😄😄
2021-05-18
0
Kustri
kocak
2021-05-10
0