Sudah satu jam lebih aku berdiri di sini, tepat di depan pintu rumahnya. Perasaan yang tadinya kesal semakin memburuk. Juga entah sudah berapa pasang mata yang lewat atau pura-pura lewat karena penasaran, menatapku dengan tanda tanya.
Ahhhh, kemana gadis itu? Aku mengepalkan tangan. Bukankah tadi pagi ia mengatakan mau menyelesaikan orderan jahitan?
"Kau benar-benar membuat perasaanku semakin buruk, Yasmin!" aku menggerutu, sambil menendang pintu rumah dengan agak kuat.
Baru hendak berbalik pulang, sudut mataku menatapnya dari arah berbeda. Senyum yang hampir terkembang langsung hilang saat menyadari ia sedang bersama orang lain. Yasmin berjalan dengan laki-laki, sambil tersenyum.
"Sial, dia membohongiku. Katanya tidak punya pacar!" segera aku menghampirinya. Melihat kehadiranku, Yasmin langsung berubah dingin. Senyumnya pun hilang. "Dasar penipu!" aku menunjuk wajahnya, hingga ia pias.
"Maaf, anda siapa ya?" lelaki bersama Yasmin bertanya padaku.
"Kau sama saja seperti ayahmu. Penipu. Kapan kau akan kembalikan uangku, hah?" makian langsung kutukan pada Yasmin, tanpa memperdulikan lelaki yang bersamanya. Biar saja lelaki itu tahu siapa Yasmin sebenarnya. Wajahnya memang lugu, tetapi ternyata ia tidak ada beda dengan ayahnya.
"Mas, sebaiknya kita bicarakan baik-baik," pinta lelaki itu, sebab orang-orang di sekitar mulai keluar rumah untuk melihat keributan yang terjadi.
"Kapan kau akan membayar hutangmu?" aku menatapnya tajam. Tetapi gadis itu masih bertahan mengunci mulutnya.
"Mas," teman lelaki Yasmin berusaha mengajakku menuju rumah Yasmin, tetapi aku menepis tangannya. Siapa yang peduli dengan lelaki itu. Aku sedang kesal.
"Ayo jawab Yasmin! Jangan diam saja!" bentakan demi bentakan kutukan padanya.
Wajahnya masih menunduk, tetapi aku bisa melihat butiran-butiran bening yang mengalir di pipinya. Tidak lama terdengar suara Isak tangis yang ku yakin, sekuat mungkin ditahannya.
Ahh, perasaanku makin tidak karuan. Ada sedikit rasa bersalah. Ia pasti terpukul dengan kata-kataku yang sangat pedas. Apalagi kini orang-orang menjadikannya sebagai tontonan. Tetapi ini semua bukan sepenuhnya salahku. Yasmin juga bersalah. Sudah tahu punya hutang besar, bukannya berusaha untuk melunasinya, malah sibuk pacaran.
Pembohong besar, padahal tadi pagi ia mengatakan tidak punya pacar. Bodoh sekali aku percaya dengan kata-katanya.
"Maafkan aku. Hari ini akan kuselesaikan semuanya," Yasmin berlari kecil menuju rumahnya.
"Kau lihat apa?" kini aku bertanya pada teman laki-laki Yasmin.
"Anda benar-benar keterlaluan!" jawabnya.
"Hei, dia berhutang padaku, tiga milliar!"
"Bukan dia, tapi ayahnya!"
"Itu bukan urusanku. Dia adalah jaminan untuk hutang-hutang ayahnya."
"Hidupnya sudah sangat menderita. Tolong jangan ganggu dia lagi."
Mendengar permohonan lelaki ini, aku semakin muak. Siapa yang peduli dengan penderitaannya? Lagi pula sudah tahu berhutang besar, bukannya berusaha keluar dari jeratan hutang, malah sibuk pacaran.
Laki-laki ini juga tidak bisa diandalkan, sudah tahu pacarnya punya hutang, apa salahnya ditolong?
***
Entah sudah berapa kali aku bolak-balik di ruang kerja, untuk sekedar membuang rasa kesal. Tapi tetap saja tidak bisa hilang. Bayangan wajah Yasmin bersama teman lelakinya terus muncul. Mereka berjalan beriringan, bicara sambil tersenyum.
Beda sekali sikapnya saat bersamaku. Dingin, persis patung. Ditanya pun kadang tidak dijawabnya.
"Perempuan ini benar-benar membuatku kesal!" aku mengumpat.
"Perempuan siapa, tuan?" tanya Deni, yang sejak tadi setia menemaniku di sini, sambil menghitung jumlah bunga yang akan kami dapatkan dari peminjam uang.
"Bukan urusanmu!"
"Tuan, bagaimana dengan bunga pinjaman Bimo?"
Belum sempat aku menjawab, tiba-tiba ponselku berbunyi. Dari nomor yang tidak kukenal. Ternyata dari kantor polisi. Ada panggilan untukku.
"Kasus apa, tuan?" tanya Deni.
"Entahlah. Kata polisi ada yang melaporkan dirinya karena tidak bisa melunasi hutang padaku."
"Lalu bagaimana, tuan?"
"Kita ke sana sekarang,"
Aku dan Deni segera meluncur ke kantor polisi. Sesampainya di sana, ku dapati Yasmin duduk sambil menundukkan kepalanya. Pak polisi menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
"Oh jadi kau lebih memilih di penjara?" kataku. "Baiklah, terserah kau saja!" aku keluar dari kantor polisi. Sementara Deni masih mengurus beberapa hal.
"Kau benar-benar menyebalkan, Yasmin!" sebuah batu yang tidak terlalu besar kutendang sekuat mungkin sebagai pelampiasan kemarahan. "Aku tidak peduli kau mau masuk penjara atau tidak. Atau memang lebih baik kau di sana agar tidak bisa pacaran seenakmu. Kau sendiri yang bilang tidak pacaran, ternyata kau berbohong!"
"Tuan tidak apa-apa?" Deni sudah berapa di belakangku. Entah kapan ia datang.
"Kau ini. Kalau muncul apa tidak bisa bersuara dulu?" kini ia yang ku jadikan pelampiasan kemarahan.
"Maaf tuan," Deni menundukkan kepalanya. "Semua sudah saya urus. Kita tidak butuh pengacara. Surat panggilan akan diberikan sebelum persidangan." tambahnya.
"Hm," kini tatapanku tertuju pada kantor polisi, seolah bisa melihat Yasmin yang sedang duduk di sana.
"Tuan, apa benar tidak apa-apa jika ia di penjara?"
"Bukan urusanku!"
"Baiklah kalau begitu."
"Tapi, kira-kira berapa lama ia di penjara? Apa di sana aman?" teringat saat usiaku lima belas tahun, pernah mendekam di penjara selama sepekan karena membuat keonaran sebagai anggota gangster. Aku dikurung di polres bersama beberapa orang temanku. Kondisinya tidak terlalu buruk.
"Anda mengkhawatirkan dia, tuan?"
"Siapa?"
"Anaknya Bimo."
"Kau ini bicara apa? Aku tidak peduli dengannya. Aku hanya khawatir, kalau dia di penjara, uangku tidak akan kembali."
"Apakah benar begitu, tuan?"
"Hai, kau kenapa sih?" aku menggerutu, sementara Deni tersenyum, seolah menertawai ku. "Apanya yang salah. Wajar dong aku khawatir. Uang tiga milliar tidak sedikit. Aku mengumpulkannya dengan susah payah."
"Perlakuan Anda padanya berbeda dengan yang lain, tuan."
"Tidak, sama saja!"
"Sungguh tuan. Selama sepuluh tahun mengabdi pada anda, baru ini saya melihat sikap anda berbeda."
"Hai, kau berani sekali menuduhku."
"Normal kok, tuan."
"Deni. Kau mau kuhabisi?"
Tawa Deni kini benar-benar pecah. Asistenku ini benar-benar kelewatan. Ingin sekali kuberi sedikit pelajaran, tetapi entah mengapa jantungku berdegup sangat kencang. Aku bahkan jadi salah tingkah.
"Tuan,"
"Apa lagi? Kau mau mengejekku?"
"Tidak,"
"Lalu kau mau apa?"
"Saya hanya ingin mengatakan, jangan sampai anda menyesal nantinya."
"Hai kau!" kali ini sebuah pukulan yang tidak terlalu keras mendarat di perut Deni. Bukannya diam ia malah tertawa. "Ayo kita pulang!"
"Anda yakin, tuan?"
"Kau mau ku pecat? Lagi pula ini semua salahmu. Kau yang membuatku kehilangan uang tiga milliar. Aku akan menuntutmu juga."
"Maafkan saya, tuan."
"Sudahlah, ayo kita pulang. Aku harus menyiapkan strategi menghadapi Wijaya."
Kau ... baik-baik saja di sana dulu. Anggap saja ini hukuman karena kau berani membuatku sakit hati. Tidak akan lama. Aku akan datang untuk menjemputmu.
Kau ... berjanjilah, jangan ulangi lagi. Jangan dekat dengan lelaki manapun juga. Atau aku akan menghabisimi.
Kau ... jangan menderita lagi. Berjanjilah kau akan baik-baik saja. Kau akan bahagia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
city
cemburu dia
2021-07-10
0
Kustri
kasian kasih tak sampai..
2021-05-10
0
mommy Jie
wkwkw dia uring²am sendiri padahal yasminnya biasa aja 🤣🤣
2020-12-29
0