Langkahku terhenti di depan rumah yang jauh dari kata kayak. Ialah rumah Yasmin. Di depannya, ku lihat Yasmin sedang bersama seorang lelaki. Ia Heri. Semula aku ingin melabrak mereka, tetapi tidak jadi saat melihat Yasmin meneteskan air mata.
"Hai, ada apa denganmu?" tanyaku.
Yasmin dan Heri terkejut dengan kehadiranku. Buru-buru Yasmin menghapus air mata yang mengalir di pipinya dengan kasar. Lalu menunduk. Sementara Heri, ia memilih bungkam. Padahal di pertemuan kami sebelumnya, Heri sangat cerewet sekali. Bahkan saat meski aku bersikap acuh pun, ia tetap bicara panjang lebar.
"Yas, maafkan aku tidak bisa membantumu. Aku pamit dulu." ia menganggukkan kepalanya padaku dan Yasmin, lalu berlalu.
"Buat apa dia kemari?" tanyaku. Yasmin masih belum menjawab. "Apa dia menyakitimu? Kalau ya, akan kuberi dia pelajaran!"
"Tidak tuan," jawab Yasmin.
"Lalu kenapa?"
"Aku dipecat," tangis Yasmin kembali pecah. Ia sampai terisak-isak.
Aku memberinya waktu untuk meluapkan segala emosinya. Saat ini ia pasti sangat terpukul. Biarlah ia tenang dulu.
"Kenapa kau dipecat? Bukannya waktu itu kau bilang sedang dipromosikan untuk naik jabatan sebagai pegawai tetap?" aku mengingatkan kembali perbincangan kami di kantor polisi.
"Ketua yayasan beserta anggotanya keberatan dengan keberadaan ku sebab kemarin masuk penjara."
"Hanya gara-gara itu? Kau kan tidak bersalah. Sungguh tidak adil mereka. Apa perlu kukatakan apa yang sebenarnya terjadi?"
"Tidak usah tuan. Keputusan sudah diketuk. Aku sudah dipecat."
"Baiklah, kalau kau bisa merelakan pekerjaanmu, aku tidak akan menemui mereka."
"Tuan, maafkan aku, berarti hutang pada Anda akan terlambat ku bayar,"
"Kalau masalah itu nanti kita bicarakan. Sekarang aku ada berita lain," sebenarnya aku justru senang kalau Yasmin berhenti bekerja, sebab ia tidak perlu lagi bertemu dengan teman gurunya itu.
"Berita apa, tuan?"
"Aku sudah menemukan ayahmu. Ia berada di rumahku."
"Apa?" Yasmin menutup mulutnya dengan tangan. Ia tampak kaget sekali. "Tuan, apa ayahku baik-baik saja? Ia ada dimana? Tolong izinkan aku menemuinya!"
"Hei tenang dulu. Kau ini, biasanya hemat sekali bicara. Sekarang malah mencecarku dengan banyak pertanyaan."
"Maaf tuan,"
"Ayahmu ada di rumahku. Ia baik-baik saja. Kalau kau mau bertemu, ayo kita ke tempatku."
Kami tidak membuang waktu, segera berlalu menuju rumahku, di daerah Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Karena aku tahu Yasmin tidak mau naik mobil berdua denganku, makanya tadi aku ke rumahnya naik taksi, sehingga kami bisa pergi naik taksi.
Sepanjang perjalanan, Yasmin terlihat resah. Aku jadi bertanya-tanya, bagaimana perasaannya, akan bertemu dengan ayah yang sudah membuat masalah untuknya. Apakah Yasmin akan marah? Memukul ayahnya? Atau memakinya?
***
Di depan pintu masuk, Riana dan Deni sudah menunggu. Raut wajah Riana tampak tidak bersahabat. Ia memandang masam, Yasmin.
"Masuklah," ajakku.
"Hati-hati Qret, jangan sampai anak penipu ini menambah masalah untukmu," sindir Riana.
"Kau bicara apa Riana?" aku jadi jengkel pada Riana sebab ia berhasil membuat Yasmin merasa tidak nyaman. "Sudahlah, ayo kita masuk." aku mengajak Yasmin.
Di kamar tamu, tempat Bimo istirahat, pertemuan anak dan ayah itu terjadi. Sikap Yasmin benar-benar di luar dugaan ku. Ia memeluk ayahnya sambil menangis kencang.
"Ayah ... ayah ... ayah," panggil Yasmin. "Ayah kemana saja? Aku rindu. Aku sangat cemas, khawatir ayah kenapa-napa?" ucap Yasmin setelah tangisnya reda. "Ayah, bicaralah. Apa ayah masih membenciku? Maafkan aku, yah!"
Yasmin langsung duduk, ia seolah memohon pada ayahnya agar memaafkannya. Sesuatu hal yang tidak ku mengerti. Untuk apa ia menangis? Bukankah yang bersalah adalah ayahnya.
"Ayah, bicaralah," Yasmin masih terisak-isak. Ia terus memohon.
"Berdirilah Yasmin," kataku.
"Tidak, sampai ayah memaafkan ku dan mau bicara denganku." ungkap Yasmin.
"Nak, nak ...." akhirnya tangis Bimo pun pecah. Ia terduduk di hadapan putrinya, lalu memeluknya erat.
Ayah dan anak itu menangis sejadi-jadinya sambil berpelukan. Bergantian mereka mengucapkan kata maaf. Pemandangan yang membuat harus siapapun yang melihatnya.
***
"Tuan, terima kasih sudah menemukan ayahku juga menampungnya di sini," Yasmin menundukkan kepala.
"Yas," panggilku.
"Ya tuan,"
"Bolehkah aku bertanya?"
"Silakan,"
"Apa kau membenci ayahmu?"
"Tidak tuan,"
"Kau yakin,"
"InsyaAllah tuan,"
"Kenapa? Bukankah ia sudah membuat hidupmu jadi berantakan. Kau harus jadi jaminan untuk hutang yang tidak sedikit, hidupmu tidak tenang karena diteror, bahkan harus masuk penjara. Aku tahu Yas, ini bukan pertama kalinya. Tapi sering, kan? Deni sudah mencari tahu tentangmu, ia bilang, sejak kecil kau harus bekerja keras untuk menghadapi sikap ayahmu yang gemar berhutang dan membuat onar. Kau pasti sangat lelah."
"Tuan, ayahku sangat berjasa dalam hidupku,"
"Berjasa bagaimana? Bukankah kau yang mengatakan, gara-gara ayahmu, kau jadi dijauhi orang-orang. Yas, jujurlah padaku tentang apa yang kau rasakan pada ayahmu. Kau membencinya, kan? Iya kan Yasmin?"
"Tuan, sebenarnya ayahku adalah orang yang sangat baik. Sebelum aku lahir, ayah adalah lelaki pekerja keras yang sangat mencintai ibuku. Ayah bertekad untuk membahagiakannya. Tetapi malapetaka itu terjadi saat aku lahir. Ibuku meninggal karena mengalami pendarahan. Sejak itu, orang-orang bilang ayah berubah. Ayah tidak lagi mau bekerja. Selalu membuat masalah. Terkadang aku lelah, ingin menyerah menghadapi ayah, tetapi aku sadar bahwa ayah begitu sebab aku ada. Andai ibu masih hidup, mungkin kami hidup bahagia sekarang." bulir bening itu keluar deras dari mata Yasmin. Hidungnya sampai memerah. Hidupnya memang menyedihkan.
"Kau tak harus memaklumi orang lain jika hatimu tidak ingin Yas,"
"Tuan, ayahku adalah satu-satunya orang tua yang tersisa. Anda tahu, ia adalah pintu surga untukku. Dengan berbakti padanya, kuharap aku tidak menderita lagi di akhirat nanti. Memang lelah, tapi jika aku rela, insyaAllah akhirnya akan bahagia."
"Akhirat?"
"Ya tuan. Di sini kita hanya sementara, tapi nanti, setelah tiada ada kehidupan yang lebih abadi. Kita yang akan menentukan akhirnya nanti. Mau tetap menderita seperti sekarang atau bahagia yang abadi?"
"Aku tidak paham, Yas. Kau tahu kan, aku ...."
"Tuan, jika anda ingin tahu, aku bisa bantu menjelaskan perlahan."
"Bagaimana caranya?"
"Tuan tahu kan, kelak kita semua akan mati?"
"Iya."
"Lalu, apa tuan tahu, setelah itu kita akan dibangkitkan?"
"Aku tidak memikirkan itu semua, Yas,"
"Karena kita tidak memikirkannya, makanya kadang banyak orang yang suka berbuat sesuka hatinya. Mereka tidak sadar, semua akan dipertanggungjawabkan."
Ahhhh, aku menarik nafas panjang. Ada sesuatu yang membuatku tertarik untuk mengetahui semua penjelasan dari apa yang dituturkan oleh Yasmin. Namun aku juga takut jika semakin mengetahui, semakin sadar bahwa aku sangat buruk.
"Tuan, maafkan aku, apa boleh aku tahu, apakah anda masih punya orang tua?" tanya Yasmin, hati-hati.
Pertanyaan itu membuat dadaku sesak. Pertanyaan yang tidak tahu harus kujawab atau tidak sebab hal ini tidak pernah ingin kubahas. Tetapi kali ini Yasmin mempertanyakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Shobirin Iing
semangattttt
2020-06-26
1
Nur Harahap
LANJUUUUUTTTT
2020-06-08
1
Citra Ade Purnama
teruuusss
2020-06-08
1