Begitu pintu terbuka, gadis itu nyaris melonjak saat melihatku berdiri di depan rumahnya. Wajar saja, ini masih terlalu pagi untuk bertamu ke rumah orang. Tetapi aku tidak niat bertamu, aku ingin memastikan ia berusaha mendapatkan uangku kembali.
"Ada perlu apa?" tanyanya, dengan tatapan heran.
"Aku hanya ingin memastikan kau benar-benar berusaha mengembalikan uangku," meskipun agak grogi, aku berusaha bersikap tenang.
"Anda tenang saja, saya akan berusaha,"
"Lalu kau mau kemana, pagi-pagi seperti ini? Kau mau kabur? Jangan coba-coba, kemanapun kau pergi, aku akan menemukanmu. Bahkan ke ujung dunia sekalipun!"
"Aku hanya ingin menitipkan dagangan ini," ia mengangkat kantung plastik yang ditentengnya ke hadapanku. Aroma makanan langsung tercium.
"Lalu?"
"Apa aku harus menceritakan semua aktifitas ku?"
"Kau masih ingatkan, jadi jaminan untuk hutang ayahmu? Tiga miliar. Paham!"
Ia menghembuskan nafas. Mungkin merasa tidak nyaman. Aku saja bingung, mengapa sepagi ini berada di depan rumahnya. Sejak pertemuan kemarin, ada rasa penasaran padanya sehingga membawaku kembali ke sini.
"Baiklah. Aku sadar, sekarang terikat hutang dengan Anda. Pagi ini aku akan mengajar, lalu pulang sekolah mengajar les. Malamnya mengerjakan jahitan dan menyiapkan makanan untuk dititipkan."
"Kalau usahamu seperti itu, tidak akan cukup untuk melunasi hutang selama tiga bulan!"
"Baru itu yang bisa kulakukan. Sambil berjalan, aku akan tetap memikirkan cara lainnya,"
"Kau tidak punya benda berharga atau tabungan?"
"Tidak Tuan. Kami bukan orang kaya,"
"Lalu kenapa ayahmu harus berhutang sebanyak itu? Merepotkan orang lain saja!"
"Maafkan ayahku, Tuan. Aku akan bertanggung jawab,"
"Baguslah. Kau harus membayarnya tepat waktu!"
Perempuan itu berlalu dari hadapanku. Sebenarnya ingin mengejar, tetapi aku tidak punya alasan lain untuk membersamainya terus. Ia sudah menjelaskan jadualnya hari ini.
Arghhh. Aku menggeram sembari menggaruk kepala yang tidak gatal. Begitu hendak berbalik, aku nyaris melonjak melihat seseorang di hadapanku. "Riana? Sedang apa kau di sini? Membuat orang kaget saja!"
Riana adalah satu-satunya teman yang kupunya sejak kecil. Ayahnya mengajariku tentang bisnis ini. Aku berhutang budi pada mereka.
"Harusnya aku yang bertanya. Kau sedang apa, Qret? Mengapa sepagi ini ada di sini?"
"Oh itu," kembali, kugaruk kepala yang tidak gatal.
"Kau menguntit?"
"Tidak. Itu, aku ...."
"Qret? Dari semalam kau terlihat aneh. Deni juga cerita padaku,"
"Hei, sejak kapan kalian menggosipkan ku?"
"Aku hanya ingin tahu apa yang sedang kau kerjakan,"
"Tapi tidak dengan menjadikan Deni mata-matamu!"
"Maaf Qret,"
"Harusnya aku yang bertanya. Sedang apa kau disini? Kau membuntutiku, ya?"
"Iya. Aku ingin tahu, ada apa denganmu?"
"Ah kau ini. Ayahnya membawa kabur uang dan kalungku, makanya aku ada di sini untuk memastikan semua yang diambilnya kembali,"
"Kau kan punya anak buah,"
"Kali ini aku tidak ingin mengandalkan mereka. Aku akan mengurus sendiri semuanya,"
"Kenapa Qret?"
"Riana, aku tidak harus memberitahukan mu tentang betapa berharganya kalung itu untukku, kan?"
"Qret,"
"Jangan melihatku seperti itu!"
"Deni bilang kau tidak menyakiti perempuan itu sedikitpun,"
"Kalau dia terluka, bagaimana dia akan berusaha mengembalikan uangku!"
"Kau tidak pernah memikirkan ini sebelumnya,"
"Riana, sebenarnya kau mau bilang apa?"
"Aku ...."
"Sudahlah. Ayo kita pergi dari sini. Lihat, sudah banyak orang yang berlalu-lalang memperhatikan kita!"
"Qret,"
"Ayo kita cari makan saja. Kau yang tentukan, dimana kita sarapan. Aku akan mentraktirmu." aku menarik lengan Riana, gadis itu menurut saja.
***
"Qret, apa-apaan ini?" Riana tampak marah. "Kau mengajakku membuntuti gadis itu!"
"Kecilkan suaramu. Nanti orang-orang melihat kita. Namanya Yasmin," aku berusaha meminta Riana duduk, tapi ia malah menghentakkan tanganku. Beberapa orang sampai melihat ke arah kami. Untung saja gadis itu tidak menyadari kehadiran kami.
"Kau hafal namanya?"
"Riana, kau ini kenapa?"
"Qret, kau aneh sekali,"
"Kau yang aneh,"
"Kamu Qret!"
"Ah sudahlah, aku tidak ingin berdebat. Aku mengajakmu ke sini karena ingin makan bubur ayam,"
"Tapi di sini tidak ada bubur ayam,"
"Masa?"
"Lihat Qret, ini warung bubur kacang hijau,"
"Apa bedanya?"
"Qret!"
"Sudahlah Riana. Jangan berdebat lagi. Kalau kau mau, makanlah. Kalau tidak, silakan pergi,"
"Kau mengusirku?"
"Bukan begitu. Aku hanya ...."
"Kau sungguh jahat, Qret!"
Mata Riana berkaca-kaca. Gadis itu berlalu meninggalkanku. Ahhhh, aku baru menyadari, seharusnya tidak mengajak Riana. Atau harusnya lebih natural lagi membuntuti Yasmin, tidak perlu melengok ke kiri kanan sehingga membuat Riana tidak curiga.
***
Kedua tanganku mengepal, ingin sekali memberi pelajaran pada lelaki tua yang berdiri di hadapanku. Lelaki yang seharusnya kuhormati dan padanya aku berbakti, tetapi justru sebaliknya, aku sangat benci. Bahkan ingin menghancurkan hidupnya.
Namanya Pak Wijaya, salah seorang konglomerat di negeri ini. Mafia berjubah malaikat. Orang-orang di dunia hitam tahu betapa jahat dan liciknya ia. Tetapi bagi masyarakat awam, ia seperti malaikat, pencitraannya sangat sukses sekali sehingga bisa mendapatkan jabatan di pemerintahan.
Kini ia turun tangan sendiri, bernegosiasi, setelah orang suruhannya tiga kali gagal melakukan lobi.
"Bar ini tidak akan saja jual," kataku.
"Kau punya waktu sepekan untuk memberikan harganya. Aku akan bayar tunai." ucap Pak Wijaya dengan suara datar.
"Saya tidak mau,"
"Kalau begitu, bersiaplah menerima hadiah dariku pekan depan!" lelaki tua itu bangkit dari duduknya, laku berlalu diikuti anak buahnya.
"Breng***, kenapa dia selalu muncul!" aku meninju meja sekuat mungkin untuk melepaskan kekesalan.
"Lalu sekarang harus bagaimana, Qret?" Riana masuk diikuti Deni. "Ayah sudah bercerita, Pak Wijaya itu sangat berbahaya. Ia sangat licik. Apa sebaiknya kita mundur?"
"Apa maksudmu?"
"Qret, kalau ia sudah mengancam, biasanya akan direalisasikan. Sebelum terjadi hal buruk, sebaiknya jual saja. Kita pindah saja,"
"Tidak akan pernah. Aku akan menghadapinya sendiri!"
"Qret,"
"Sudahlah, tinggalkan aku sendiri!"
***
Aku sangat takut ketika ibu meninggalkanku di depan bangunan tua yang gelap. Tangisku pecah sambil terus berteriak memanggil ibu. Berharap perempuan itu segera kembali dan memelukku untuk menghilangkan rasa takut.
Ketika aku bisa menemukan jalan pulang menuju kosan tempat ibu tinggal, aku malah mendapati ibu bersama lelaki itu. Tuan Wijaya, yang kemudian kutahu adalah ayah biologisku.
Mereka terlihat mesra. Sementara aku diluar takut, lapar dan kedinginan. Kalau mereka tidak menginginkanku hadir, mengapa membiarkanku hadir ke dunia ini?
Enam tahun, usia yang masih sangat muda. Aku harus berpisah dengan ibu untuk sebuah alasan yang belum bisa kupahami sampai sekarang. Keadaan memaksaku untuk kuat, aku tidak punya siapa-siapa untuk diandalkan, selain diri sendiri.
Peluh membanjiri pelipis saat terbangun. Mimpi itu lagi. Setelah bertemu dengan lelaki itu, aku akan merasakan perasaan muak seperti sekarang.
Aku segera bangkit. Mengambil segelas air putih dan meneguknya sampai habis. Sampai kapan mimpi itu akan menghantuiku? Aku ingin lepas dari dua orang yang membuatku hadir di dunia, namun juga sudah menghancurkan hidupku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Yuni Odih Al Oza
Ya tuhan knp aku baru tau klo novel ini keren
2021-05-18
0
Hendra Sukmawan
yg menceritakan author ajha,jdi lbih seru
2020-12-20
0
Aini Malika
move on Qret..... NEXT
2020-11-29
0