Belum kering air mataku, tiba-tiba Riana masuk ke dalan. Ia melihat aku menangis. Tentu saja Riana menjadi khawatir.
"Qret?"
"Riana, kita menang Riana. Kita menang!" aku bersorak.
"Apa maksudmu, Qret?"
"Wijaya tidak akan menggangu lagi. Ia bahkan akan mengganti barku dua kali lipat!"
"Syukurlah!" Riana ikut melonjak gembira.
"Kau harus membantuku sekarang,"
"Apa Qret?"
"Siapkan pesta kemenangan untuk kita semua. Ingat, sediakan makanan dan minuman yang banyak!"
"Siap!" Riana segera keluar.
Malam ini kami mengadakan pesta bersama Jack dan rules. Kami benar-benar tidak menyangka bisa menang dengan semudah ini dari lelaki yang punya kekuasaan.
Ternyata ia takut ibu disakiti. Andai ia tahu, akupun tak akan menyakiti ibu. Meski senang tapi ada sedikit penyesalan karena aku memanfaatkan ibu sebagai senjata. Aku tidak punya pilihan lain.
"Qret, kapan kau akan membangun kembali bar?" tanya paman Rudi.
Pertanyaan itu tidak dapat ku jawab. Lagi-lagi aku ingat Yasmin yang mengatakan bahwa bar akan memberikan dosa jahiriyah untukku sebab di sana banyak orang yang berzina, mabuk serta berjudi.
"Mungkin tidak akan dibangun lagi," kataku.
"Kenapa Qret?" kini Riana yang bertanya.
"Aku tidak bisa jelaskan sekarang," jawabku.
"Ya sudah. Kau tenang saja dulu, Qret. Jangan pikirkan apapun. Kita pesta dahulu. Nanti, setelah pulih betul baru kita pikirkan pembangunannya." timpal paman Rudi.
Tidak, tidak akan pernah. Aku tidak mau lagi ada dosa jahiriyah. Aku ingin keluar dari kubangan ini. Aku ingin lepas.
Sepanjang malam pikiranku kacau. Begitu pesta berakhir rasanya lega sekali. Kini aku bisa menyendiri, memikirkan tentang masa depan sebab hidup seperti ini rasanya sangat sia-sia.
***
"Bu," aku mencium punggung tangannya, lalu masuk, terus menuju dapur sebab mencium aroma opor ayam. Ibu memang pintar memasak. Kali ini ibu sengaja masak banyak untuk menjamuku.
"Qret," ucap ibu hati-hati.
"Hmm?"
"Sebenarnya, ibu belum siap pindah ke rumahmu,"
"Kenapa Bu?"
"Semalam aku dan ayahmu bertengkar,"
"Kenapa?"
"Ia tidak suka kalau ibu harus tinggal bersamamu,"
"Harusnya ibu tidak memberitahu dia,"
"Qret, ia suami ibu. Ayahmu. Apapun yang terjadi ibu harus memberitahukannya."
"Apa ia tahu aku anak ibu?"
"Tidak, ayahmu hanya tahu kalau ibu akan tinggal dengan saudara,"
"Berarti ibu tidak menyayangiku," aku.merajuk, sembari berbaring di pangkuan ibu.
"Siapa bilang. Ibu sangat menyayangi mu, nak. Ibu sampai harus rela berpisah denganmu agar kau bisa tetap hidup tanpa disakiti siapapun."
"Tapi buktinya, ibu lebih memilihnya,"
"Semua demi kamu juga, nak. Kalau ibu tetap berkeras pergi, ayahmu tidak akan tinggal diam, ia akan membuatmu dalam masalah."
Sedang merajuk pada ibu, tiba-tiba seseorang masuk tanpa kami sadari. Wajahnya murka saat melihat kami begitu dekat.
"Rahayu!" sentaknya.
"Mas, kapan datang?" ibu langsung bangkit, menghampiri lelaki tua itu tanpa mengacuhkan ku.
"Hai, tunggu dulu. Siapa kau nak?" tanya Wijaya padaku. "Apa kalian sedang mengkhianatimu? Berani-beraninya. Kau, sudah kukatakan untuk tidak menyentuh Rahayu, ternyata kau main di belakang!" Wijaya hendak memukulku, tetapi ibu bergerak cepat menjadi tameng hingga pukulan itu mengenai pipi ibu dan membuatnya tersungkur.
"Ahhhhhh," teriak ibu.
"Rahayu!" lelaki itu langsung mengambil tubuh ibu.
"Lepaskan," sentakku.
"Kau yang lepaskan!" Wijaya tidak mau mengalah. Lagi-lagi kami berdebat. Hingga ibu bangkit sendiri dan berlalu menuju kamarnya untuk mengambil handuk kecil.
Bekas pukulan Wijaya membuat pipi ibu memar. Sambil menahan sakit akhirnya ibu membuka tabir itu.
"Qret adalah anak kita," ungkap kita.
"Ti ... tidak mungkin!" Wijaya berusaha mengelak. Ia begitu sebab dulu ibu mengaku bahwa bayi yang dikandungnya telah tiada.
"Maafkan aku mas. Aku terpaksa berbohong demi keselamatan Qret. Aku takut ia kenapa-napa. Nyonya Soraya tidak akan tinggal diam jika tahu aku melahirkan anak kita." ibu menjelaskan panjang lebar.
"Lalu, kemana saja ia selama ini? Kenapa ia tak pernah tampak?" tanya Wijaya lagi.
"Di usia lima tahun, saat kita bertemu kembali, aku sengaja membuang Qret untuk menghapus identitasnya. Sejak itu kamu tidak pernah bertemu lagi hingga sepekan lalu ia datang ke rumah ini. Barulah kami bisa bertemu," tambah ibu.
"Kau, Rahayu, kenapa kau sembunyi semuanya?" Wijaya masih belum bisa terima.
"Mas tahu kan, saat nyonya Soraya mengetahui hubungan kita, bagaimana ia mengamuk besar dan ingin membunuhku? Entah sudah berapa orang suruhannya yang mengejar dan memburuku. Untung saja aku berhasil lolos, Mas. Sejak itu aku ketakutan. Aku tidak ingin Qret kenapa-napa. Makanya aku menghapus semua kenangan tentang Qret. Aku benar-benar membuat ia tidak pernah ada!" kata ibu sambil berurai air mata.
Kami bertiga saling menangis. Ternyata ibu sangat menyayangiku. Ibu melakukannya karena terpaksa. Aku adalah putra pertama Wijaya. Istri sahnya tidak bisa menerima hubungan terlarang itu. Selain karena ibuku hanyalah pembantu, dan ia yang belum juga bisa memberikan keturunan kala itu.
"Nak," Wijaya memberi isyarat agar aku mendekat.
Entahlah, rasanya berat untuk mendatanginya. Mungkin karena aku belum siap atau memang rasa benci yang tidak bisa kuhilangkan.
"Beri ayahmu maaf, nak," pinta ibu.
"Tidak Bu, tolong jangan paksa, Qret!" ucapku.
"Qret, aku tidak pernah tahu bahwa kau adalah putraku. Kalau aku tahu, aku tidak akan menyia-nyiakan kamu, nak. Aku juga tidak akan mengganggumu, aku akan menjagamu dengan baik." ungkap Wijaya.
"Sudahlah, aku juga tidak butuh anda!" ucapku, tegas.
"Qret," ibu memohon.
"Andai ia tidak egois, hal ini tidak akan terjadi. Aku sudah kehilangan masa lalu dan masa depan berantakan karenanya, jadi jangan berharap." ucapku.
"Nak, kalau kau mau memaafkanku, akan kukatakan pada seluruh dunia bahwa kau anakku. Putra pertamaku!" Wijaya bicara sungguh-sungguh.
Tidak semudah itu. Jika ia mengaku, maka ibu akan berada dalam bahaya. Istrinya pasti akan mengejar ibu. Belum lagi stigma masyarakat yang akan kami dapatkan. Sebagai perempuan perebut suami orang, perusak rumah tangga orang lain.
Itu sangat menyakitkan. Bagaimana kami bisa melanjutkan hidup dengan hinaan seperti itu?
Sebelumnya hidup kami sudah susah. Aku tidak mau lagi merasakan kesusahan tambahan hanya karena ego seorang Wijaya.
Berjam-jam kami saling diam. Tanpa sepatah katapun. Semua sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga pada akhirnya ku katakan aku pamit pulang. Ibu mengantarku ke depan pintu, sementara Wijaya, ia tetap duduk mematung di atas lantai.
"Nak, tolonglah!" pinta ibu.
"Tidak Bu," ucapku.
Langkahku terasa berat. Harusnya saat ini kami sedang bahagia, tetapi karena lelaki itu muncul, perasaanku berubah. Aku masih membencinya. Ialah penyebab semuanya. Gara-garanya hidupku jadi tidak normal. Aku tidak mendapatkan kasih sayang orang tua. Tidak diakui keberadaannya.
Sangat mustahil rasanya untuk bisa bersatu. Menerimanya apa adanya.
Ahhhh, aku merasa sangat kesal. Mobil kupacu dengan kencang. Saking kencangnya, beberapa kali sampai hampir menabrak pengendara lainnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Aini Malika
suka thor. to the point.... NEXT
2020-11-29
0
Rima Susanti
lanjut thor....
2020-06-28
0
Nur Harahap
KERENNNNN😊
2020-06-08
1