Senyumku terkembang memasuki area kantor polisi sambil menenteng satu kantong besar makanan dan minuman untuk Yasmin dengan harapan apa yang kubawa ini, disukainya. Tekad ku sudah bulat, akan mengeluarkannya dari penjara sekarang juga.
"Saya ingin bertemu dengan Yasmin," aku melapor pada petugas jaga.
"Oh, Mbak Yasmin, sepertinya sedang ngobrol dengan Bapak Kapolres di belakang," petugas itu menunjuk arah belakang.
Ngobrol dengan Bapak Kapolres? Apa maksudnya? Dengan penuh tanda tanya, aku mengikuti petugas tersebut, berjalan menyusuri lorong menuju ruang lepas di belakang kantor.
Di taman belakang, tampak Yasmin sedang bercakap-cakap dengan seseorang yang memakai seragam polisi.
"Yasmin, kau ini benar-benar ya!" secara spontan aku langsung mengomelinya, sementara ia tampak kaget melihat kedatanganku.
"Anda?" Yasmin sampai bangkit dari duduknya.
"Pantas kau betah di sini," aku menunjuk ke arah wajahnya. "Sia-sia aku mengkhawatirkanmu!"
"Anda," polisi yang bersama Yasmin mencoba mengingat-ingat. "Anda yang datang ke rumah saya beberapa hari lalu, kan? Masih ingat dengan saya?"
"Kau siapa?" aku mengerutkan kening, mencoba mengingat siapa kepala polisi ini. Tiba-tiba mataku terbelalak mengingat sosok lelaki ini. Aku pernah memandang wajahnya di bingkai foto. Kami juga bertemu sesaat. "Kau anak Wijaya." spontan aku berkata.
"Ya benar, saya anaknya Pak Wijaya." ia tersenyum sambil mengulurkan tangannya. Apa kabar? Maaf waktu itu saya tidak menyapa anda?"
Tangan itu tidak kusambut. Bayangan wajah ayahnya yang juga ayahku membuat hati ini semakin marah. Tiba-tiba terbersit di hatiku, bagaimana reaksinya jika tahu kalau ayahnya adalah lelaki jahat yang sudah menghancurkan hidupku.
Lalu laki-laki ini, kenapa ia mengenal Yasmin? Apa mereka ada sesuatu. Dari cara mereka berbincang tadi terlihat akrab. Secepat itukah? Yasmin baru beberapa waktu di sini.
"Saya ingin bicara dengan Yasmin," kataku, dengan acuh.
"Oh ya, baik. Saya akan meninggalkan kalian." lelaki itu berlalu, sambil melempar senyum pada Yasmin.
"Kau itu perempuan seperti apa, sih?" kini pandanganku tertuju pada Yasmin.
"Ada apa, tuan?" gadis itu langsung kikuk.
"Kenapa semua laki-laki itu mendekat padamu? Kau merayu mereka dengan cara apa? Aku benar-benar tertipu oleh sikapmu selama ini. Kau pura-pura terlihat alim, ya?"
"Maksud tuan, apa?"
"Sikapmu pada polisi dan teman lelakimu itu sangat aneh sekali."
"Oh itu. Jimmi adalah teman satu sekolah saya. Kami satu kelas dari SD sampai SMA. Kalau yang kemarin adalah teman saya sesama guru, namanya Heri."
"Jadi kau punya dua pacar?"
"Tidak tuan. Mereka adalah temanku."
"Kau bilang tidak punya teman?"
"Maksudku, mereka berbaik hati mau berbicara dengan ku tuan. Jimmi hanya menyapa, sedangkan Heri, dia berbaik hati mendatangi tempat saya untuk mengabari bahwa ada ujian untuk para guru honor agar bisa diangkat jadi pegawai tetap."
"Memangnya tidak ada guru perempuan yang bisa mengabarimu?"
Yasmin menggelengkan kepalanya. Lalu menunduk. Sikapnya yang seperti ini sukses membuatku iba.
"Berarti laki-laki itu memanfaatkan mu!"
"Memanfaatkan bagaimana, tuan?"
"Sudah. Aku tidak akan menjelaskan. Yang penting kau tidak boleh lagi berbicara apalagi bergaul dengan mereka. Paham!"
"Kenapa tuan?"
"Karena ...," sepasang mata bulat itu menatapku. Karena apa? Aku juga bingung.
"Tuan?"
"Ya karena kau punya hutang padaku."
"Oh, ya tuan."
"Dengar Yasmin, aku sebenarnya datang ke sini mau membicarakan sesuatu."
"Apa?"
"Aku mau kau keluar dari penjara sekarang."
"Tapi aku belum bisa membayar hutang pada Anda, tuan."
"Lalu kau pikir dengan berdiam diri di penjara dapat membuat hutangmu lunas? Hei, ingat Yasmin, kau berhutang pada seorang ketua penjahat!"
"Tidak tuan."
"Atau kau tidak berniat membayarnya, ya? Kau pikir di penjara itu enak? Memang sih di sini kau bisa makan dan minum gratis. Kau tidak perlu susah-susah bekerja. Tapi kebebasanmu hilang. Lagi pula di penjara sini dengan penjara lapas nanti berbeda. Kau tidak akan bisa ngobrol santai dengan kepala polisi. Paham?"
"Aku mengerti tuan. Aku menyerahkan diri sebab merasa bersalah pada anda. Aku tidak bermaksud melarikan diri. Sungguh."
"Ahh ya sudahlah kalau begitu. Sekarang kau bersiap. Kita pulang."
Butuh waktu satu jam untuk mencabut kembali berkas-berkas Yasmin agar ia bisa keluar. Selama itu aku setia menemaninya agar ia tidak punya kesempatan berduaan dengan kepala polisi itu lagi.
Saat kami hendak pulang, anak Wijaya sempat meminta waktu untuk berbicara dengan Yasmin. Tetapi aku tidak memberikan mereka kesempatan. Dipikirnya ini waktu reunian.
"Ayo kita pulang!" aku memberi isyarat agar Yasmin segera meninggalkan Jimmi.
"Jim, aku pulang dulu," Yasmin menundukkan kepalanya.
"Nanti aku akan menghubungi kamu, Yas," ucap Jimmi.
Hei, apa-apaan ini? Mengapa mereka malah seperti sepasang kekasih yang akan berpisah. Saling berjanji untuk selalu mengabari. Aku tidak akan membiarkan. Akan ku halangi agar kalian tidak pernah bertemu lagi.
"Yasmin, ayo cepat!" aku memanggil Yasmin, ia segera berjalan mengikuti menuju parkiran mobil.
"Tuan, aku pulang sendiri saja." katanya.
"Tidak. Aku akan mengantarmu pulang."
"Tapi Tuan,"
"Kenapa? Kau masih ingin bercerita dengan polisi itu? Atau kau ingin diantar pulang olehnya? Jangan mimpi!"
"Bukan tuan. Tapi aku tidak enak pulang bersama anda."
"Kenapa? Apa karena aku penjahat?"
"Bukan ... bukan karena itu tuan."
"Lalu kenapa kau tidak mau pulang denganku? Dengan laki-laki lain kau mau berdekatan."
"Sebab aku tidak bisa berduaan dengan lelaki asing dalam satu mobil."
"Kenapa?"
"Begitulah yang diajarkan dalam agamaku, tuan,"
"Kalau begitu kita naik taksi."
"Lalu mobil anda?"
Gampang. Nanti anak buahku akan menjemputnya."
"Apa tidak merepotkan Anda, tuan?"
"Kau tidak sadar, dari awal sudah merepotkan ku?"
"Maaf tuan. Maaf."
"Nanti saja maaf-maafannya. Sekarang kita pulang!"
Aku segera menyetop taksi berwarna biru yang lalu-lalang di depan kantor polisi. Aku duduk di depan, sementara Yasmin di belakang. Sebelum sampai tujuan, tidak lupa ku kabari Deni untuk menjemput mobilku.
Taksi berhenti di depan gang perkampungan kumuh tempat Yasmin tinggal. Kami turun setelah aku membayar ongkos. Lalu berjalan menuju rumah Yasmin .
"Aku sudah menyuruh orang untuk mencari ayahmu." aku kembali membuka pembicaraan setelah sebelumnya saling diam selama perjalanan pulang.
"Lalu apa ada kabar?" Yasmin tampak antusias.
"Tadi pagi sudah ada yang mengabari. Ayahmu ada di Jogja."
"Bisa jadi. Kenapa aku baru terpikir sekarang,"
"Apa ayahmu orang Jogja?"
"Bukan."
"Punya teman atau sanak di sana?"
"Jogja adalah kampung ibuku."
"Untuk apa ayahmu ke sana? Kan ibumu sudah tiada."
"Setiap ayah ada masalah, ia akan ke sana, berziarah ke makam ibu."
Ada mendung terlihat jelas di wajah Yasmin. Entah duka apa lagi yang kini singgah di hatinya. Ia tampak berusaha keras agar tidak ada butiran air mata yang tumpah.
"Tuan, tolong. Jika kau menemukan ayahku. Jangan sakiti ia. Aku janji akan bertanggung jawab atas hutang-hutangnya. Bila perlu aku akan mengabdi padamu seumur hidupku untuk melunasi hutang tersebut." Yasmin menautkan kedua tangannya di depan dada. Ia betul-betul berusaha agar tidak menangis.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Fahmi Fathul
s qret mafia...tp oon😂
2021-05-30
0
Yuni Odih Al Oza
Kelakuan si Qret bikin ngakak 🤣 🤣 🤣
2021-05-18
0
Aini Malika
tgu apa lg Qret. terima Yasmin ... ok. NEXT
2020-11-29
1