"Aaaaaaa ... mengapa, mengapa kalian selalu muncul dalam mimpiku? Mengapa kalian tidak pernah membiarkanku tenang? Mengapa?" lagi-lagi, aku terbangun setelah bermimpi melihat kedua orang tuaku bersama, tetapi mereka tidak peduli padaku.
Luka itu, sepertinya tidak akan pernah sembuh. Sakit sekali dibuat seperti ini oleh mereka. Harusnya mereka tidak membiarkanku hadir di dunia ini.
Lagi-lagi air mata kembali tumpah. Sekuat mungkin aku mengusir bayangan itu, tapi tawa mereka semakin terdengar keras. Tawa yang membuat aku ketakutan, muak dan merasa tidak berharga.
Kini aku berada di bawah shower, menghidupkan air sekencang mungkin. Membiarkan air yang mengalir membasahi seluruh tubuhku.
Puas menyiksa diri sendiri hingga kedinginan, barulah aku berbaring di atas kasur dengan pakaian yang masih basah. Aku ingin bebas dari semua mimpi-mimpi ini.
Jika mereka tidak ingin membahagiakanku, setidaknya pergilah dari hidupku. Jangan pernah muncul lagi untuk selamatnya. Aku sudah lelah, sangat lelah menghadapi semua ini. Bagaimanapun aku hanya seorang anak yang juga rindu kasih sayang orang tua.
***
Entah sudah berapa lama Deni mengetuk pintu serta memanggil dari balik pintu. Tiba-tiba aku terbang dari tidur. Ketika ingin bangkut, tubuh rasanya berat. Pakaian yang tadi malam basah sudah kering di badan.
Remote untuk pembuka pintu secara otomatis ku pencet, lalu ku minta Deni masuk. Dari raut wajahnya terlihat sekali ia khawatir.
"Tuan, anda baik-baik saja? Tidak biasanya anda bangun siang seperti sekarang ini." ucap Deni, sambil berdiri di depan tempat tidurku.
"Sepertinya aku demam," ungkapku.
"Oh tidak," Deni mendekat, meletakkan tangannya di keningku. "Badan anda panas sekali, tuan. Saya akan panggilkan dokter."
"Tidak perlu. Ambilkan saja obat penurun panas dan flu. Aku hanya kelelahan."
Deni langsung bertindak cepat. Ia membawakan bubur, segelas teh hangat dan obat yang ku minta.
Setiap sakit aku memang tidak pernah suka diajak ke rumah sakit atau berobat ke dokter. Aku yakin bisa sembuh dengan obat yang ku pilih sendiri.
Tiga suap bubur sudah masuk ke mulut. Lalu disusul oleh dua butir obat. Rasanya sungguh pahit. Setelah itu kuncinya Deni keluar, aku ingin istirahat.
"Oh ya, kalau Yasmin datang, suruh ia ke sini. Aku ingin bicara," kataku.
"Baik tuan. Apa ada lagi?"
"Tolong temui Jack, tanyakan perkembangan kasus kita."
"Siap tuan," Deni keluar sambil membawa nampan berisi makan dan minuman yang hanya berkurang sedikit sebab kisah seorang maka ku hilang.
***
Samar-samar aku mendengar suara tangis, mata ini masih terlalu berat, sementara tubuh remuk tidak berdaya. Tetapi kupaksakan melihat, siapa yang tengah menangis di sisiku.
"Riana?" aku hampir terperanjat ketika mendapatinya begitu dekat denganku. "Sedang apa kau di sini?"
"Qret, kau sudah bangun? Aku benar-benar mencemaskan mu, badanmu sangat panas. Aku akan panggilkan dokter ya."
"Tidak Riana, aku tidak butuh dokter. Mana Yasmin?"
"Yasmin? Saat kondisimu seperti ini kenapa malah menanyakannya? Tidak cukupkah jika aku saja yang menjagamu? Lagipula seberapa penting ia sampai kau harus mencarinya segala?"
"Riana kau bicara apa?"
"Jawab pertanyaanku Qret. Apa ia begitu penting untukmu?"
"Aku tidak ingin berdebat. Tolong panggilkan Deni agar ia bisa menjemput Yasmin,"
"Aku tidak mau, kau tidak boleh bertemu dengannya lagi.
"Riana?" aku menaikkan suara. "Kau tidak bisa mengaturku."
"Tadi Yasmin sudah datang dan aku sudah mengusirnya!"
"Apa? Kau benar-benar membuatku kesal!" andai tenagaku masih ada, ingin segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas menuju Yasmin. Aku ingin bertemu dengannya. Ada banyak hal yang ingin kubicarakan. "Riana, pergilah!".
"Kau keterlaluan Qret, aku mencemaskan mu." satu-persatu air mata Riana jatuh. "Aku sampai tidak bisa tidur karena menjagamu. Tapi begitu bangun kau malah mencari orang lain?"
Sebenarnya aku tidak tega melihatnya menangis seperti itu. Tetapi aku tidak ingin bersamanya saat ini. Aku membutuhkan kehadiran Yasmin, bukan Riana.
Setelah Riana keluar dari kamarku, Deni masuk bersama dokter. Ia terpaksa memanggil sebab khawatir dengan kondisiku. Setelah diperiksa, dokter menyuruh Deni menawar resep yang ditulisnya.
Tadi dokter mengatakan aku kena typus. Aku harus istirahat penuh. Setidaknya sampai kondisiku membaik.
Malangnya, saat seperti ini Yasmin tidak pernah muncul di hadapanku. Entah apa alasannya. Apakah ia tidak khawatir dengan kondisiku?
"Tuan, istirahatlah." pinta Deni, saat melihat mataku masih terbuka.
"Tolong jangan biarkan Riana masuk lagi," pintaku. "Aku tidak ingin berdua saja dengannya di kamar." teringat nasihat Yasmin beberapa hari lalu, bahwa tidak boleh laki-laki dan perempuan berduaan di dalam satu ruangan tanpa ada yang lain sebab ketiganya adalah setan.
"Baik tuan. Ada lagi?"
"Aku lelah," kataku. Tak lama mata ini terpejam sebab obat tidur yang masuk ke dalam tubuhku.
***
Hujan masih turun dengan deras, Langit pun berubah warna menjadi sempurna gelapnya. Hanya sesekali bercahaya saat kilat menyambar. Aku duduk meringkuk di bawah pohon yang berada di pinggir sungai. Ketakutan. Menangis sambil memanggil ibu dengan suara yang semakin lama semakin lemah.
Saat ini membawaku ke sini pun. Aku melihat ibu tampak khawatir. Air mata ibu sampai tumpah saat meninggalkanku. Apa itu tidak bisa membuktikan bahwa ia menyayangiku?
"Ibu ... jemput Qret," bisikku, dengan bibir yang menggigil. Lalu pingsan karena lelah.
Saat aku membuka mata kembali, langit sudah terang sebab matahari telah bersinar. Aku mengerjakan mata. Melihat sekeliling. Masih sepi, tidak ada siapapun di sini seperti saat ibu meninggalkanku.
Lagi-lagi air mata itu tumpah. Sebab kini, perutku pun ikut-ikutan beraksi. Berdendang tanda lapar dan haus. Tetapi aku tidak bisa berbuat apa-apa selain duduk sambil memanggil ibu.
"Bu, Qret lapar. Qret mau makan. Qret juga mau minum," lirih suaraku.
"Kamu itu tidak diharapkan, kamu tidak diinginkan. Kamu hanyalah seorang anak yang dibuang. Anak yang dibuang tidak berarti hahaha!" entah darimana datangnya suara itu. Tubuh kecilku kembali meringkuk, semakin merapat ke pohon karena takut dengan suara itu. Tetapi bukannya berhenti, suara itu makin keras, berubah seperti suara raksasa yang akan memangsa anak kecil yang lemah sepertiku.
"Qret anak baik, ibu sayang kok pada Qret," ucapku, lirih.
"Hahaha," lagi-lagi tawa itu pecah. "Mana ada anak kesayangan yang dibuang?"
Suara itu benar. Apa ibu tidak menyayangiku? Tetapi sebelum meninggalkanku sendiri di sini, ibu selalu memeluk dan mencium keningku. Ibu juga selalu menemaniku ketika ingin tidur. Bahkan pernah saking tidak mengantuk, malah ibu yang tertidur duluan.
"Lalu aku harus bagaimana?" tanyaku.
"Balas ibumu. Balas ayahmu. Balas semua rasa sakit hati yang kau rasakan. Biarkan mereka merasakan bagaimana ditinggalkan, kehilangan, kelaparan, ketakutan!"
Aaahhhhh. Aku terbangun dari tidur dengan badan basah oleh peluh. Mimpi itu lagi. Mimpi yang selalu sukses menbuat hatiku resah. Aku benci ingat semua itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Yu Gina
trauma.
2022-03-01
0
Kustri
msh penasaran ko namanya qret?
2021-05-10
0
Shobirin Iing
makin seruuu
2020-07-14
0