GARA-GARA 3 MILLIAR
Sebuah tamparan kulayangkan ke pipi Deni hingga jatuh tersungkur. Ia yang selama ini jadi orang kepercayaan, mengurus masalah keuangan selama delapan tahun ternyata hari ini melakukan kesalahan yang paling fatal
Memberikan pinjaman sebesar tiga miliar tanpa jaminan apapun. Bahkan kecolongan hingga menghilangkan seutas kalung yang sangat berarti bagiku.
"Maafkan saya Tuan, saya kira berlian yang dibawanya asli. Ia juga membawa ID card klub kita. Sehingga menambah keyakinan saya bahwa ia benar-benar orang kaya." Deni berusaha membela diri.
"Kau membuat malu saja. Penipu malah ditipu?" ucapku.
"Ini pertama kalinya ia datang ke bar kita, Tuan. Saya ...,"
"Aku tidak peduli. Kau harus bertanggungjawab!" aku menatapnya tajam.
"Ada jaminan lain yang diberikannya." Deni bangkit, mengambil selembar foto dalam saku jasnya, lalu diberikan padaku.
"Apa ini?" aku semakin meradang. Bagaimana ia bisa sebodoh ini. Meloloskan pinjaman di meja judi dengan jaminan berlian palsu dan selembar foto usang yang bahkan gambarnya saja tidak jelas.
"Ini putrinya. Mungkin kita bisa menemukan Bimo lewat gadis ini. Atau, jika tidak ketemu ...,"
"Apa?"
"Gadis ini bisa kita pekerjakan atau dijual."
"Huh. Apa yang bisa kau harapkan dari putri seorang penipu?" aku mencengkeram erat kerah baju Deni. Seorang yang tidak berharga jadi jaminan untuk uangku. "Kau kira ia berharga? Palingan ia pun sudah rusak. Hanya akan merepotkan ku saja!"
"Lalu apa kita harus melepasnya?"
"Dasar kau ini. Cepat bawa aku ke tempatnya!"
"Siap tuan!"
Deni segera membawaku menuju perkampungan kumuh yang berada di pinggir kota Jakarta, bersama empat orang anak buah. Memasuki wilayah ini, nyaliku langsung ciut, merasakan uang tiga miliar telah menguap hilang. Uang yang aku kumpulkan dengan susah payah dari hasil judi dan memeras orang dengan pinjaman berbunga.
"Dari informasi orang-orang kita, ini rumah si Bimo, tuan." Deni menunjuk rumah berdinding triplek yang ukurannya tidak kurang dari tiga meter.
"Dobrak pintunya!" Aku semakin kesal, memikirkan bagaimana caranya mendapatkan uang dan kalungku kembali. Tempat ini seolah mengatakan, tidak ada harapan lagi.
Brug.
Suara pintu didobrak. Lalu Deni masuk bersama dua orang. Terdengar seseorang menjerit dari dalam, lalu para tetangga yang hendak keluar melihat keributan yang kami ciptakan kembali masuk begitu melihatku berkacak pinggang.
Mungkin mereka mengenalku, mungkin juga tidak. Aku, Qret, ketua gengster pemilik usaha bar di bilangan Jakarta Selatan. Sering memberikan pinjaman pada para penjudi yang bertaruh di meja judi. Tentunya dengan bunga tinggi.
Melihatku didampingi anak buah, orang-orang itu memutuskan kembali masuk. Tetapi, aku sangat yakin mereka masih mengintai dari balik jendela.
"Tuan, ini dia," ucap Deni, sambil menyeret seorang gadis.
Sial. Mengapa ia. Aku menggerutu. Menatap seorang gadis yang memakai penutup kepala. Tiba-tiba bayangan itu muncul di ingatanku. Seorang perempuan memakai penutup kepala, ia yang mendekap tubuh kecilku saat ketakutan. Juga menyuapi jika aku lapar. Perempuan tua yang bisa memberiku rasa nyaman saat dunia begitu mengerikan dalam kehidupan masa kecilku.
Kini, gadis itu mengangkat wajahnya. Sambil sesekali berusaha melepaskan diri dari cengkeraman dua orang anak buahku. Tapi usahanya tidak berhasil karena tenaganya kalah.
"Lepaskan dia," pintaku.
Sepasang mata bulat itu menatapku sesaat, lalu kembali menundukkan wajahnya. Cantik. Meski tampilannya lusuh. Sepasang matanya pun menyiratkan keteduhan. Aku merasa nyaman menatapnya.
"Siapa namamu?" tanyaku, sambil berusaha menenangkan diri. Entah mengapa, aku yang biasanya langsung bersikap kejam, sekarang lebih bisa menahan untuk tidak langsung main tangan.
"Yasmin," jawabnya.
"Kau tahu, ayahmu berhutang padaku. Tiga miliar," aku mengacungkan tiga jari. "Ia juga mencuri kalungku."
Gadis itu tidak menjawab, juga tidak terlihat gusar. Bahkan ketika Deni memberitahu bahwa ia dijadikan jaminan.
"Kau harus menggantinya!" aku menegaskan.
"Aku tidak punya uang sebanyak itu," jawabnya, pelan.
"Hei, Yasmin. Kalau kau tidak bisa membayar, maka kami akan menjualmu." tambah Deni.
"Serahkan saja aku ke kantor polisi!" ia kembali mengangkat kepalanya.
"Apa maksudmu?" kini tatapan kami beradu.
"Aku sudah bilang, tidak punya uang sebanyak itu. Kalian bisa melaporkanku ke polisi, agar aku dipenjara!" sepasang bola mata itu berkaca-kaca. Aku melihat luka yang dalam di sana.
Tiba-tiba tawa Deni menyadarkanku. Apa-apaan ini. Bagaimana mungkin aku, ketua gengster yang terkenal kejam bisa terenyuh pada perempuan ini. Putri dari seseorang yang sudah menipu dan mencuri kalungku.
"Kau pikir kami akan melepaskanmu begitu saja?" Deni menarik lengannya, sepertinya sangat keras hingga ia menjerit.
"Lepaskan dia," kataku. "Hei, kau. Aku lebih baik mencincangmu daripada melapor pada polisi. Kau tahu, aku ini penjahat. Anti dengan polisi!"
"Aku tidak bisa membayarnya sekarang. Aku tidak punya uang sebanyak itu," Yasmin menjawab pelan.
"Apa pekerjaanmu?"
"Guru honor,"
"Kalau begitu kau harus bekerja lebih giat lagi. Bahkan, mulai sekarang kau tidak punya hak lagi atas dirimu sampai kau bisa melunasinya. Bekerja keraslah!"
"Aku mengerti,"
"Lalu berapa lama kau akan melunasinya?"
"Aku tidak tahu,"
"Baiklah. Kau mulai mengujiku rupanya," aku jadi geram padanya. "Kau punya waktu satu bulan!"
"Tidak bisa,"
"Kalau begitu tiga bulan. Bayar hutang ayahmu lengkap dengan bunganya. Jangan lupa, temukan juga kalungku. Atau kalau tidak ...," aku menatapnya tajam. "Aku akan menghancurkanmu serta orang-orang yang kau sayangi. Termasuk ayahmu!"
Perempuan itu kembali mengangkat wajahnya. Pandangan kami kembali beradu. Aku lagi-lagi tidak sanggup menatap matanya. "Tolong jangan sakiti ayahku. Hidupnya sudah sangat susah." matanya mulai menganak sungai. ia sampai menautkan kedua tangannya sebagai bentuk permohonan.
Aku tersenyum puas mendengar kata-katanya barusan. Ia masih mengkhawatirkan ayahnya. Tandanya masih ada harapan untuk mendapatkan kembali uangku.
"Ingat, mulai sekarang, kami mengawasimu. Kau adalah jaminan untuk hutang-hutang itu. Jadi kaulah yang bertanggung jawab untuk melunasinya. Paham!" ucapku, sambil menatap sekeliling. "Satu lagi, jangan coba-coba bunuh diri. Sebab sebelum kau melakukannya, aku yang akan mencincangmu!"
"Iya. Aku tidak akan melakukannya."
Entah mengapa, aku percaya saja padanya. Setelah cukup, aku melambaikan tangan pada anak buahku sebagai isyarat meninggalkan tempat ini. Di ujung jalan, sekilas kulihat gadis itu tersungkur, ia pasti menangis karena merasa sangat menderita. Tetapi itu risiko menjadi jaminan.
"Apakah tidak perlu orang untuk mengawasinya, Tuan?" tanya Deni, saat kami sudah berada di dalam mobil.
"Tidak perlu. Aku sendiri yang akan mengawasinya," jawabku, sambil menatap jalanan yang masih macet.
"Tapi Tuan, bukankah Anda masih punya banyak pekerjaan?"
"Hei, sejak kapan kau mengaturku? Kau tahu, berapa uangku yang dibawa ayahnya? Tiga miliar dan itu gara-gara, kau!" aku mengacungkan tiga jari ke hadapannya. Rasa jengkel itu kembali muncul. Gara-gara ketidakbecusannya bekerja, aku harus mengalami masalah seperti ini. "Kau kira aku tidak tahu, kau pasti bekerja dalam keadaan mabuk, kan?"
"Ti ... tidak, Tuan,"
"Sudah kukatakan padamu. Kalau kau masih ingin bertahan, kau harus bisa diandalkan!"
"Saya minta maaf, Tuan. Tolong beri kesempatan sekali lagi. Saya akan segera memberikan keuntungan lebih banyak lagi."
"Baiklah. Satu kesempatan lagi. Tapi ingat, lupakan keluargamu. Fokus dengan pekerjaan kita."
"Baik Tuan!"
Aku tidak akan membiarkan bisnis yang sudah kubangun selama lima belas tahun ini berantakan hanya karena sebuah rasa. Hidup ini terlalu keras, tidak pantas mengandalkan perasaan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
chaeunwoo
pake POV nya si kuret ya??
2021-12-13
0
chaeunwoo
bacanya ape nih.. kuret,qiret, atau qiuret??? 🤣
2021-12-13
0
Shirhi Athmainnah
mantap.
2021-06-23
0