Seorang perempuan tua memeluk erat tubuh kecilku yang menangis terisak-isak. Ia lalu mengusap kepalaku. Rasa sesak di dada itu perlahan hilang saat ia mengatakan menyayangiku dan akan selalu ada untukku.
Nenek Yuni namanya. perempuan tua yang hidup di perkampungan kumuh seorang diri. Sangat miskin. Tetapi rela menampungku dan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhanku. Ia yang seharusnya di hari tua beristirahat tetapi rela berkorban untukku.
Kami bertemu di pinggiran sungai kecil beberapa jam setelah ibu meninggalkanku. Sebelumnya aku takut saat nenek Yuni mendekati. Aku kira ia orang jahat atau gerombolan penculik. Tetapi ketika menatap sepasang matanya, aku merasa yakin dan nyaman berada di dekatnya.
Nenek Yuni membawaku ke pondoknya yang terbuat dari tumpukan kardus dan triplek. Sangat kecil, jauh dari kata layak untuk tempat tinggal. Kalau siang sangat panas, sedangkan malam dingin sekali sampai menusuk tulang. Memasuki musim hujan kami harus bersiap tidak tidur karena hampir seluruh bagian bocor.
Awalnya nenek membantuku untuk kembali pada ibu. Tetapi perempuan yang melahirkanku menolak kedatanganku. Bahkan ia memberikan uang pada nenek Yuni agar mau merawatku.
Sejak itu aku membenci ibu. Aku yakin ibu tidak menyayangiku. Beberapa kali aku datang diam-diam saat rindu begitu besar pada ibu, tetapi aku hanya melihatnya dari jauh sebab masih sakit hati.
Tidak mudah menjalani hidup sebagai anak buangan. Meskipun nenek Yuni mengaku ke orang-orang bahwa aku adalah cucunya, tetap saja cemooh itu kudapatkan.
Seperti hari itu, saat aku berangkat sekolah dengan seragam yang sudah menguning karena didapat dari bekas kasih orang lain.
Sampai di sekolah, teman-teman mengejekku. Mengatakan aku anak buangan. Menghinaku habis-habisan sebab keadaan kami miskin. Tidak ada seorang pun yang mau berteman denganku. Hal itu tidak hanya terjadi sehari dua hari, tetapi sejak awal hingga akhir aku menginjakkan kaki di sekolah.
Karena sudah sangat terluka, aku memutuskan mogok sekolah, membakar swragam, tas dan buku-buku yang didapatkan dengan susah payah oleh nenek Yuni.
"Kau tahu nak, aku sampai bekerja keras agar kau punya tas. Mengapa kau membakarnya?" kata nenek Yuni, sambil menangis.
"Maaf nek, tapi aku tidak suka." jawabku.
"Qret, bersabarlah. Kalau tidak suka, nenek akan berusaha membelikan yang baru. Kalau sudah hangus begini, bagaimana nanti ke sekolahnya?"
"Aku tidak akan berangkat ke sekolah lagi, nek."
"Kenapa Qret? Kau tidak boleh mogok sekolah hanya karena seragam dan perlengkapan sekolahmu tidak sebagus punya teman-teman."
"Bukan karena itu, nek. Tapi teman-teman tidak menyukaiku. Mereka selalu menertawakanku. Tidak ada yang mau berteman denganku."
"Ya Allah nak, nenek bisa datang ke sekolah dan bicara pada gurumu."
"Bu guru juga tidak akan peduli. Ia juga tidak menyukaiku," aku menangis, membayangkan betapa lelahnya setiap hari diabaikan oleh ibu guru hanya karena aku miskin. Padahal aku sudah jadi murid yang baik, nilai-nilaiku pun tidak buruk, meski bukan juara pertama.
"Qret, kalau gurumu tidak suka, pasti ada yang salah pada kita."
"Ya, salahnya aku miskin!"
"Ya Allah Qret,"
"Tidak ada yang mau berteman denganku. Semua orang menghinaku. Aku kesal, nek!"
Nenek Yuni memelukku, ia membiarkanku menangis di pangkuannya sampai lelah dan tertidur.
Esok harinya nenek Yuni tidak memaksaku datang ke sekolah. Tetapi ia memintaku tetap belajar sebab nenek tidak mau jika aku tidak bisa membaca dan berhitung.
Hari-hari berikutnya kuhabiskan untuk bekerja, membantu nenek Yuni menjadi tukang cuci. Kadang aku juga mengamen di Blok M.
Nenek Yuni tidak suka jika aku terlalu lama diluar, suatu hari ia mulai memaksaku untuk mengaji di mushalla kampung. Aku sempat menolak karena ada beberapa teman sekolah yang juga mengaji di sana. Tetapi kali ini nenek Yuni tidak mau kalah, ia sampai membawa lidi agar aku mau berangkat mengaji.
"Aku sudah tua. Tidak punya apa-apa untuk diberikan padamu. Kalau kau tidak sekolah, juga tidak mau mengaji, lalu bekal apa yang bisa kuberikan untukmu menghadapi hidup ini?" ucap Nenek sambil mengacungkan lidi.
Karena takut dipukul, akhirnya aku berangkat. Dan benar saja, sesampainya di sana, beberapa teman sekolahku mengolok-olok. Mereka tidak mau aku ada di sini. Bahkan sampai mengancam agar aku tidak usah datang lagi.
Berat memang. Seperti memakan buah simalakama. Pergi salah, tidak pergi sama salahnya.
Hari kedua, ancaman itu dibuktikan. Tiba-tiba ada anak yang mengaku kehilangan jamnya. Ustad pun melakukan penggeledahan dan betapa kagetnya aku saat menyaksikan jam itu ada di dalam tasku. Padahal aku tidak mengambilnya.
Ustad memintaku untuk bercerita tentang apa yang sebenarnya terjadi. Tentu saja aku mengelak karena aku memang tidak mencuri apapun.
Sayangnya, anak orang miskin sepertiku tidak dipercayai ketika beberapa anak membuat pengakuan palsu bahwa mereka melihatku mengambil jam itu. Pedih sekali rasanya. Aku memang miskin, tetapi nenek Yuni selalu mengajarkan agar berlaku jujur.
Akhirnya aku pulang sambil menangis. Di hadapan nenek Yuni ku ceritakan semuanya. Nenek Yuni pun ikut menangis.
"Aku tidak mau mengaji lagi," kataku.
"Kau harus tetap mengaji Qret, kalau tidak aku bisa masuk neraka!"
"Nenek tidak akan masuk neraka. Aku akan bersaksi pada Tuhan kalau nenek sudah menjalankan tugas nenek dengan baik. Tetapi mereka yang membuatku seperti ini. Merekalah yang harus menanggung dosanya!"
Sejak saat itu aku menolak datang ke mushalla untuk salat ataupun mengaji. Tempat itu jadi tempat kedua yang aku hindari setelah sekolah. Padahal nenek Yuni sudah berkali-kali menyuruh, bahkan sampai mengancam akan memukulku. Tetapi aku tidak peduli. Aku lebih memilih dipukul dari pada di hadapkan dengan teman-teman.
Ustad juga pernah datang sekali untuk membujuk agar aku mau kembali mengaji. Tetapi aku sudah terlanjur sakit hati. Aku tidak ingin ke sana lagi. Aku tidak ingin terluka lagi.
"Kau benar-benar tidak ingin mengaji, Qret? Kau mau nenek masuk neraka?" ungkap nenek Yuni sambil berlinang air mata. Aku bisa merasakan betul ia begitu berharap agar aku mau mengaji.
"Aku tidak mau nek, aku tidak tahan dituduh, ledek dan dinakalin terus," air mataku pun perlahan meleleh. "Nek, aku tidak akan membiarkan nenek masuk neraka."
"Bagaimana bisa masuk surga kalau kau tidak mau mengaji?"
"Biar aku dibakar sendiri!"
"Qret?"
Aku dan nenek Yuni berpelukan, kami menangis sejadi-jadinya. Nenek Yuni sampai berandai, jika ia kaya, akan menyekolahkanku di tempat yang baik. Ia akan membungkam mulut anak-anak yang mengejekku.
Hari-hari yang kulakukan penuh dengan kesedihan. Meski nenek berusaha membahagiakan, tetap saja tiap hari air mata kami jatuh.
Hingga suatu hari, saat usiaku sepuluh tahun, aku harus menangis sendirian sebab nenek Yuni meninggal. Ia terlalu lelah bekerja. Aku benar-benar terpukul. Demi mengumpulkan uang agar aku bisa sekolah dan mengaji lagi di tempat yang lebih baik.
Setelah kepergian nenek, aku hanya berbaring di kasur tipis yang biasa nenek tidur. Aku tidak mau makan dan minum hingga tubuhku lemah. Ku harap dengan begitu Tuhan mencabut nyawaku agar bisa menyusul nenek Yuni. Aku benar-benar takut tinggal sendirian.
Tetapi seorang tetangga jauh yang ingin melayat menemukanku yang hampir pingsan, ia membawaku ke rumah sakit. Di sanalah aku bertemu dengan Riana dan paman Rudi. Orang yang menjadi pengganti nenek Yuni dalam hidupku. Mereka memberi semangat baru agar aku bangkit untuk melanjutkan hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Kustri
tragis
2021-05-10
0
HNF G
nyesek thorrr😭😭😭😭😭😭😭😭😭
2020-10-07
0
Adinda Ridho
😭😭😭
2020-08-22
0