"Tuan?" panggil Yasmin. Lagi-lagi gadis itu yang menyadari kedatanganku. Sebenarnya ingin langsung marah, tetapi ku tahan sebab ingat perkataan ayah Yasmin yang kurang suka jika putrinya didatangi anaknya Wijaya.
"Hei pak polisi. Apa kabarmu? Kenapa aku sering sekali melihatmu di sini? Apa kau tidak bekerja?" tanyaku, sambil menepuk pelan pundaknya.
"Saya sudah selesai dinas," jawabnya. "Anda sendiri sedang apa di sini?"
"Aku? Tentu saja mau ngapalin Yasmin. Kau tidak tahu ya, pak Bimo ingin aku menjadi menantunya. Ia tidak suka ada laki-laki lain datang menemui putrinya. Benar kan, Yas?" kini aku beralih ke Yasmin. Ia tidak menjawab, hanya menunduk.
"Maaf kalau kehadiran saya mengganggu. Kalau begitu saya pamit, Yas." ia langsung pergi meninggalkan rumah Yasmin.
"Tuan, anda tidak seharusnya bicara seperti itu," kata Yasmin.
"Kenapa? Kan aku bicara sebenarnya. Seperti yang dikatakan oleh ayahmu. Kau sendiri dengar kan, ia tidak suka pada polisi itu."
"Tapi tuan,"
"Katanya kau ingin membahagiakan ayahmu. Lalu mengapa masih menerima tamu yang tidak disukai ayahmu? Oh, atau jangan-jangan kau juga suka pada polisi itu?"
Sayangnya Yasmin tidak menjawab, ia memilih masuk ke dalam rumah. Aku mengikuti dari belakang. Di pintu masuk, ayahnya Yasmin tersenyum sambil mengacungkan ibu jarinya padaku. Lalu masuk ke dalam.
"Aku sudah bertemu dengan ibu," ungkapku. Saat Yasmin kembali ke ruang tamu sambil membawa nampan berisi teh hangat dan makanan kecil. "Kuputuskan untuk berdamai dengan masa lalu. Melupakan semua kesalahannya. Memberikan maaf. Dan sekarang aku merasa tenang."
"Benarkah, tuan? Aku turut bahagia." ungkap Yasmin.
"Terimakasih Yas, kau yang membuatku bisa menghapus kebencian ini,"
"Bukan karena aku tuan, tapi karena Allah. Aku hanya perantara saja."
"Yas, maukah kau membimbing ibu? Pekan depan aku akan menjemputnya. Kami akan tinggal bersama."
"Tentu saja tuan. Dengan senang hati."
"Sebagai imbalannya, aku akan menganggap hutangmu lunas,"
"Benarkah tuan? Apa itu tidak berlebihan? Uang yang dibawa ayah sangatlah besar,"
"Uang itu tidak ada apa-apanya dibandingkan ibuku. Kau tahu, saat ini memelukku, kemudian aku tidur di pangkuan ibu. Rasanya aku tidak butuh apapun lagi. Aku merasa hidupku sudah cukup, Yas."
"Tuan, anda beruntung sekali,"
"Aku juga berharap, hubunganmu dengan pak Bimo semakin membaik,"
"Aamiin. Sebenarnya aku dan ayah sudah sudah tidak punya rahasia apapun lagi. Ayah sudah lebih terbuka. Mau bercerita saat ia mulai bosan atau merasa kesepian. Dengan begitu ayah tidak akan keluar rumah lagi. Kalaupun mau pergi, biasanya kami pergi bersama."
"Tapi masih ada satu orang lagi dihidupku yang belum bisa ku maafkan. Bertemu dengannya saja aku tidak sudi,"
"Apakah ayah anda, tuan?"
"Ya Yas. Saat ini kami menjadi musuh. Tetapi ia tidak tahu bahwa aku adalah darah dagingnya. Aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi jika ia mengetahui semuanya."
"Apakah kesalahannya begitu besar?"
"Ialah penyebab aku kehilangan ibu,"
Aku kembali mengisahkan kejadian yang menimpaku dua puluh lima tahun lalu, tanpa menyebutkan identitas lelaki yang menjadi ayahku.
"Ia punya keluarga yang terlihat sempurna, Yas. Tetapi ia bermain api dengan ibuku!" amarah itu kembali memuncak.
"Tuan, bila anda benar-benar membencinya, apakah ada untungnya?"
"Tapi ini tentang hatiku!"
"Aku mengerti tuan, seperti yang kukatakan kemarin, kalau anda tetap memutuskan membenci seseorang, maka anda akan terus merasakan sakit dan lelah."
Perkataan Yasmin terus terngiang-ngiang di benakku. Sampai pulang, aku terus berpikir, apakah akan mengikutinya atau tetap dengan hatiku sendiri, bahwa aku tak akan pernah memaafkan Wijaya. Akan membencinya seumur hidupku.
"Qret, akhirnya kau pulang juga!" Riana langsung menghampiri. "Seharian aku menanti di sini, telfon dan pesanku tidak ada yang kau balas. Kau darimana saja?" lagi-lagi ia mencecarku dengan banyak pertanyaan.
"Aku baru dari rumah Yasmin," jawabku, sambil jalan masuk, lalu merebahkan diri di sofa.
"Apa, jadi seharian kau di rumah Yasmin? Sia-sia aku mengkhawatirkanmu!"
"Tidak seharian. Aku cuma mampir lima belas menitan untuk minum teh,"
"Qret, kalau kau mau minum teh, di rumah ini masih banyak. Kalaupun sudah habis, aku bisa membelikannya untukmu!"
Beda Riana. Minum teh sambil bicara dengan Yasmin bisa membuatku tenang. Sedangkan di sini, kita terus bertengkar. Bisikku dalam hati sambil tersenyum.
"Lalu, dari pagi kau kemana?"
"Bertemu ibuku,"
"Apa?"
"Ya Riana. Aku sudah berdamai dengan ibu. Pekan depan ia akan tinggal bersamaku."
"Si ... siapa yang membuatmu begini? Apa gadis itu?" Riana bertanya sambil terbata.
"Ya Riana. Ia yang memintaku memaafkan ibu. " akupun menceritakan semuanya. Tetapi belum habis ceritaku, Riana langsung berdiri dari duduknya. Ia berlalu begitu saja. Tanpa menghiraukan panggilanku.
Ia seperti itu lagi. Gadis itu akhir-akhir ini aneh sekali. Apa jangan-jangan ia ingat ibunya. Teringat cerita paman Rudi saat usiaku masih belasan tahun, di awal-awal perjumpaan kami. Paman bercerita tentang keberadaan istrinya. Ibu Riana, yang pergi meninggalkan suami dan anaknya saat Riana masih bayi lantaran ayahnya miskin.
Latar belakang kami yang sama, karena pernah ditinggalkan ibu membuat aku dan Riana jadi dekat. Paman Rudi pun menganggap ku seperti anak kandungnya sendiri.
"Maafkan aku Riana," bisikku.
***
Wijaya datang ke rumah bersama empat orang pengawalnya. Tentu saja kehadirannya membuatku dan seisi rumah kaget sebab saat ini kami sedang bermusuhan.
"Aku menginginkan tanahmu, nak. Hanya itu. Bukan untuk bermusuhan denganmu," ungkap Wijaya.
"Sudah saya katakan, tanah itu tidak akan dijual," jawabku.
Tanah yang diincar Wijaya adalah tanah yang terletak di daerah strategis. Sangat menjanjikan untuk dijadikan tempat usaha. Ia pun sebenarnya akan mendirikan diskotik yang lebih besar karena tahu keuntungan berkali lipat yang bisa didapatkan.
"Baiklah, ini penawaran terakhir. Aku akan bayar tiga kali lipat. Bagaimana?"
"Tidak!"
"Kau!" untuk pertama kalinya ia menunjukkan kemarahannya padaku. "Aku bisa membuatmu kehilangan segalanya.
"Tuan, jangan mengancamku. Kalau kau melakukannya, aku akan membeberkan ke media tentang perempuan yang menjadi simpananmu!"
Wijaya terlihat terkejut, tetapi ia bisa mengendalikan diri sehingga tampak santai.
"Kau bicara apa, nak?"
"Tentang Rahayu. Apa nyonya Wijaya masih mengingatnya? Perempuan yang menjadi pembantu di rumahmu. Tetapi karena kelicikanmu, hingga kau berhasil membawanya dalam lumpur dosa!"
"Jangan bicara dosa, nak. Kau juga bukan orang suci,"
"Tapi aku tidak memakai topeng. Aku tahu, kau masih berhubungan dengan Rahayu hingga detik ini. Kalau kau masih terus menggangguku, aku tak segan memberitahu nyonya Wijaya dan kedua anakmu!"
"Jangan pernah menyentuh Rahayu, atau aku akan menghabisimu!"
"Oh, jadi kau begitu menyukai simpananmu itu?" aku tertawa terbahak-bahak. "Kalau kau tak ingin Rahayu bermasalah, jangan usik hidupku dan ganti bar milikku yang telah kau bakar!" kini kartu as nya ada padaku. Wijaya tidak berani berkutik. Ia akhirnya berjanji akan mengganti semua kerugian ku dua kali lipat.
"Ingat nak, jangan coba-coba mengganggu Rahayu, ku!" ucapnya sebelum meninggalkan ku.
Air mata itu langsung luruh saat hanya aku yang berada di ruang kerja. Sebesar itu cintanya pada ibu, lalu kenapa membuat ibu sengsara?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Kustri
cinta emg unik
2021-05-10
0
HNF G
bagaimana jg nantinya wijaya tau bahwa ternyata qret adalah anak dr wanita yg dia cintai, apakah dia akan bs menerima dan mencintainya jg???🤔
2020-10-07
0
bunga seroja
power of love
2020-10-03
0