Inilah keputusanku. Setelah memendam kebencian selama dua puluh lima tahun pada perempuan yang telah melahirkanku. Kini, aku berada tepat di depan rumahnya. Rumah yang tidak akan pernah bisa kulupakan sebab dari lahir hingga berusia lima tahun aku berada di sana. Rumah itu, meski hanya meninggalkan sedikit memori, namun tak akan pernah terlupakan.
Ya, aku sudah siap berdamai dengan diriku sendiri. Siap untuk memaafkan. Siap untuk merelakan rasa sakit yang bertahun-tahun telah kupendam. Siap untuk menang dari luka di masa lalu.
Perlahan aku turun dari mobil. Hanya berdiri di depan pagar setinggi satu setengah meter. Rumah ini terlihat lebih asri dari sebelumnya. Kini, rumah mungil ukuran tiga puluh enam itu dicat putih dengan taman yang menghijau oleh aneka kaktus.
Pertama, kucoba memencet bel ya. Menunggu beberapa detik. Kemudian memencet untuk kedua kalinya. Tetap tidak ada jawaban. Lanjut yang ketiga kalinya. Tetap tidak ada yang keluar.
Sepertinya tidak ada tanda-tanda ada orang di sini. Mungkinkah perempuan itu sedang pergi. Atau jangan-jangan?
Aku menggelengkan kepala. Mengusir prasangka buruk yang tiba-tiba muncul. Meskipun membencinya, aku selalu menyuruh anak buah untuk memantau rumah perempuan itu. Mereka yakin ia masih tinggal di sini.
Mungkin sebaiknya aku datang esok. Kuputuskan untuk pulang. Tetapi baru membalik badan, tiba-tiba terdengar suara pintu dibuka. Lalu seseorang memanggilku. "Qret?"
Aku langsung berbalik. Tatapanku beradu dengan sepasang mata indah miliknya yang juga menurun padaku. Sudah lama sekali kamu tidak bertemu. Dua puluh lima tahun, bukan waktu yang singkat. Selama itu waktu telah sukses membuat rindu di hatiku.
"Qret, itu kamu kan, nak?" suara merdunya memanggilku. Ia segera membuka pagar. Lalu mendekat padaku yang berdiri mematung. "Qret!" ia hendak menyentuh pipiku, namun tertahan. Tangannya hanya melayang di udara.
"Ibu," panggilku, dengan susah payah. Sehingga membuat air mataku mengajak sungai. Sungguh aku rindu memanggilnya, aku rindu padanya, rindu mendengar suaranya, rindu dipeluknya.
"Nak," spontan ia memelukku.
Akhirnya rindu itu menemukan pelabuhannya. Akhirnya benci itu hilang, bersama dekapan hangat ibu. Sesekali merintih Bu mengusap kepalaku.
Apa yang kami lakukan mengundang perhatian tetangga. Beberapa orang mulai keluar untuk mengetahui apa yang sedang terjadi. Mungkin karena tidak nyaman, ibu mengajakku masuk ke dalam.
Berat sebenarnya kaki ini melangkah masuk. Tetapi aku masih ingin bersama ibu. Aku ingin membalaskan rasa rindu yang telah lama tertahan ini.
"Kamu baik-baik saja, kan, nak?" tanya ibu. Usai tangis kami reda.
"Iya, Bu. Ibu bagaimana?" aku balik bertanya.
"Kau sudah besar, nak. Sudah jadi pemuda. Aku ...." tangis ibu kembali pecah. Kubiarkan ia meluapkan isi hatinya. Kini aku merasa sangat yakin ibupun sebenarnya menyayangiku. "Maafkan ibu Qret, maaf ...." pintanya.
"Sudah Bu, jangan dibahas."
"Nak, waktu itu ibu terpaksa, ibu ...."
"Bu, Qret sudah melupakan semuanya. Sudah merelakan semuanya. Qret hanya ingin bertemu ibu. Qret ingin berbakti pada ibu."
"Qret," lagi-lagi tangis ibu pecah. Tangisan yang menyayat hatiku. "Apa pantas, perempuan seperti ibu mendapatkan bakti anaknya. Padahal ibu ...."
"Sudahlah Bu. Surga tetap ada di bawah telapak kaki ibu,"
"Qret, ibumu adalah ...,"
Aku mendekap ibu. "Bu, Qret akan memuliakan ibu." bisikku. "
Kami bercerita panjang lebar. Bagaimana kehidupan ibu. Juga kehidupanku. Hal-hal yang memicu kesedihan ibu aku hindari. Kami hanya berbicara tentang kebahagiaan dan harapan kami di masa depan.
Dari cerita ibu, aku tahu ia masih memiliki hubungan dengan Wijaya. Mereka sudah menikah siri dua tahun yang lalu sebab ibu tidak ingin menambah tumpukan dosanya. Ibu ingin menjadi orang baik, meski dosa di masa lalu sangatlah banyak. Ibu sempat meminta Wijaya untuk tidak menemuinya lagi, tetapi lelaki tua itu tidak bisa melepaskan ibu. Baginya ibu adalah perempuan satu-satunya yang ia cintai. Bahkan ia rela kehilangan keluarga sahnya agar bisa tetap bersama ibu.
Tentu saja ibu tidak mau menghancurkan rumah tangga orang lain. Maka jalan satu-satunya adalah menikah siri. Hubungan yang halal di mata Tuhan e.sku banyak orang yang tidak menyukainya, terutama kaum hawa.
"Qret, bagaimana kau bisa datang ke sini?" tanya ibu. Saat kami makan siang bersama.
"Semua karena Yasmin, Bu." jawabku, sambil menambah nasi ke dalam piring.
"Yasmin? Siapa dia, nak? Apakah kekasihmu?"
"Bukan, Bu. Ia adalah orang yang mengajari Qret menjadi orang baik. Ia ingin Qret melupakan dendam di masa lalu agar Qret tenang."
"Qret, sepertinya ibu menyukai gadis itu. Bagaimana denganmu?"
"Ah ibu," aku tersipu mendengar candaan ibu. Apalagi saat ibu mengutarakan harapannya ingin melihatku menikah dan punya anak.
"Ibu ingin menimang cucu, Qret. Pasti anakmu, kalau laki-laki tampan, sedangkan perempuan cantik."
"Bu, masih panjang. Qret belum memikirkan pernikahan. Qret masih ingin berbakti pada ibu."
"Kalau begitu menikahlah, nak,"
Entah mengapa kata-kata ibu membuat hatinya bergetar. Apalagi saat bayangan wajah Yasmin muncul. Gadis berjilbab itu memang sukses membuatku nyaman berada di sisinya. Lalu apakah ini cinta? Ah, entahlah.
Seharian aku berada di rumah ibu. Mulai dari bercerita, makan, hingga tidur di pangkuan ibu. Rasanya kesedihan di masa lalu sirna oleh cinta dan kasih sayang ibu.
"Bu, ikutlah denganku," pintaku.
"Kemana, Qret?"
"Tinggal bersamaku,"
"Lalu bagaimana dengan ayahmu, nak?"
"Bu ... apa aku tidak lebih berharga dari lelaki itu? Dua puluh lima tahun kita berpisah. Kalian sudah bersama. Sekarang, beri aku waktu dua puluh lima tahun hanya bersama ibu."
"Qret,"
"Tolong adillah Bu,"
"Baiklah, tapi beri ibu waktu, nak,"
Aku tersenyum lega. Sesuai kesepakatan, sepekan lagi aku akan datang ke sini untuk menjemput ibu. Di sisa waktu ini aku tidak ingin lagi berjauhan dari ibu. Aku ingin selalu bersamanya.
"Bu, tolong jangan beritahu laki-laki tua itu bahwa kita sudah bertemu. Jangan menyinggung tentangku di hadapannya," pesanku pada ibu.
"Kenapa Qret?"
"Tidak apa-apa, Bu. Aku tidak sudi ia tahu siapa aku sebenarnya."
"Qret, ayahmu sebenarnya adalah orang baik,"
Aku menggelengkan kepala. Tidak ingin membahas tentangnya lagi. Biarlah ini jadi rahasia kami, ibu tidak perlu tahu.
Sebelum senja menyapa, aku pamit pulang dan berjanji pekan depan akan menjemput ibu. Rasanya sudah tidak sabar kembali bersama dengan ibu. Aku ingin saat membuka mata dan menutupnya, ada ibu di rumahku.
Kini, hatiku benar-benar lega. Mobil kulakukan dengan pelan menuju arah rumah Yasmin, ia harus tahu kabar bahagia ini. Sepanjang jalan, senandung lagu yang sering dinyanyikan ibu saat menidurkan ku, terus terdengar dari mulutku. Aku bahagia, sangat bahagia sekali.
Tidak jauh dari rumah Yasmin, kulihat sosok itu bersama Yasmin. Mereka bertemu lagi? Rasa kesal langsung muncul. Aku akan mengusirnya!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Kustri
ada pelajaran u kita..👍👍👍
2021-05-10
0
Shobirin Iing
keren
2020-07-07
0
Nur Harahap
mantap
2020-06-08
1