Bisakah, dua orang yang sama-sama dibuat menderita, oleh orang yang seharusnya melindunginya, bersama? Pertanyaan itu muncul di benakku. Tepat di depan rumahnya, aku berhenti. Sedangkan ia terus masuk ke dalam tanpa mempersilakan agar aku juga masuk.
Gadis itu, harus menghadapi kehidupan yang amat sulit seorang diri. Akupun pernah begitu.
Baru hendak menghempaskan tubuh di lantai, tiba-tiba Hp bergetar. Panggilan dari Deni. Ia mengabari bahwa bar milikku terbakar sekitar satu jam lalu. Tanpa pamit, aku segera berlari menuju mobil.
Kupacu mobil sport itu secepat mungkin. Perasaan yang tadi tenang kembali bergemuruh.
"Pelakunya orang suruhan Wijaya." Deni melapor saat aku sampai di depan bangunan tiga lantai yang sudah menjadi abu.
Di sekitar terlihat pemadam kebakaran bekerja, memadamkan sisa api yang sudah memakan bangunan itu. Polisi pun juga sudah hadir. Bersiap memasang police line. Pencari berita sibuk membidik lokasi kebakaran sambil bertanya pada siapapun yang dapat dijadikan sumber berita. Sementara warga sekitar banyak yang berkerumun untuk menonton.
"Kita bicara di rumah. Bisa saja di sekitar sini masih ada orang suruhannya berkeliaran. Tahan dulu. Nanti kita beri dia kejutan. Sekarang aku akan menemui polisi untuk memberikan keterangan." aku beranjak, menemui salah satu petinggi polisi yang berada di lokasi.
Beberapa pertanyaan diajukan oleh petinggi polisi. Aku menjawab seadanya, tanpa menyinggung Wijaya sedikitpun. Setelah dirasa cukup, aku segera berlalu pulang. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan.
"Qret, bar terbakar. Apa kubilang. Harusnya kamu tidak mencari masalah dengan Wijaya," Riana langsung mencecarku. Ia bahkan mengabaikan ayahnya yang juga ingin bicara denganku.
"Beri aku waktu sebentar untuk bicara dengan Paman, Riana," pintaku.
Meskipun berat, gadis itu menurut. Ia membiarkanku masuk ke ruang kerja bersama ayahnya dan Deni.
"Ini bukti-buktinya," Deni menyodorkan satu tas berisi rekaman CCTV, beberapa lembar foto dan tip rekaman kecil.
Satu-persatu aku mengeceknya. Lalu Paman Rudi pun melakukan hal yang sama. Kami juga mendengarkan rekaman perbincangan orang-orang suruhan Wijaya bersama-sama.
"Sebaiknya kapan menemuinya, Paman?" Aku membuka percakapan setelah kami memeriksa bukti-bukti.
"Kau sudah menghitung berapa jumlah kerugian seluruhnya?" Paman Rudi balik bertanya.
"Kurang lebih empat puluh miliar."
"Sebelum menemuinya, gandakan semua bukti-bukti ini."
"Baik Paman."
Aku meminta Deni untuk bekerja cepat menyiapkan segala hal yang kami butuhkan. Setelah itu aku berangkat ke rumah Wijaya ditemani Deni dan empat orang anak buah.
Wijaya tinggal di perumahan elite yang berada di kawasan Menteng. Untuk bisa masuk perumahan tersebut, kami harus melewati security yang memandang dengan penuh tanda tanya.
Siapapun yang melihat, pasti paham kami adalah gerombolan gangster. Sementara Wijaya adalah tuan terhormat yang dikenal tidak punya permasalahan hukum.
"Kami sudah punya janji dengan Pak Wijaya." aku meyakinkan dua orang petugas keamanan tersebut agar diizinkan masuk.
"Silakan," akhirnya palang pintu untuk masuk dibuka, setelah kami dan seisi mobil diperiksa tiga kali.
Di depan pagar setinggi dua setengah meter, lagi-lagi mobilku terhambat. Kali ini satpam di rumah Wijaya yang berulang kali bertanya. Ia bahkan sampai menelepon tuannya untuk memastikan apakah kami benar-benar tamu atau hanya pembuat kekacauan.
"Silakan, Tuan Wijaya menunggu di dalam," ucap salah seorang satpam. "Tapi mobil dilarang masuk!"
Peraturan macam apa ini? Aku ingin mengamuk karena geram dengan rangkaian aturan yang terlalu ribet. Begitulah kuasanya uang. Penjahat seperti Wijaya dipandang terhormat. Padahal ia tidak ubah seperti kami. Hanya saja uangnya jauh lebih banyak dariku.
"Tuan, ayo kita masuk." Deni mengajakku masuk.
Langkahku terhenti melihat foto berukuran cukup besar yang terpajang di tembok ruang tamu. Andai Deni tidak memanggilku, mungkin aku masih berdiri mematung menatap gambar anggota keluarga Wijaya.
"Tuan Wijaya menunggu di ruang kerja." seorang pelayan berseragam putih menuntun kami menuju ruang kerjanya.
Rumah Wijaya sangat besar. Bangunan mewah itu terlihat lebih megah dibandingkan rumah di sekitarnya yang juga megah. Kami harus melewati beberapa koridor dan ruangan yang ditata dengan sangat baik. Aku sangat yakin, mereka menggunakan jasa arsitek dari luar.
"Aku tidak menyangka kau akan datang ke rumahku. Apa yang membawamu ke sini, Nak?" Wijaya menyapa kami dari balik meja kerjanya.
Sebenarnya aku muak mendengarnya memanggil nak. Ia tak pantas menyebut itu padaku. Rasanya ingin ku maki ia. Tetapi aku tidak ingin semua rahasia itu terungkap. Ia tidak boleh tahu siapa aku sebenarnya.
"Langsung saja. Saya tidak berminat basa-basi. Ini orang suruhan anda, kan?" aku meletakkan dua lembar foto ke hadapannya.
"Ada apa, nak?" Wijaya masih berpura-pura. Membuatku semakin muak.
"Mengakulah. Saya punya lebih banyak bukti lagi!" emosiku tersulut.
"Hahaha, tenanglah Nak. Aku baru mendapatkan berita kalau bar milikku terbakar dini hari. Aku turut berduka. Pasti berat untukmu, kan? Aku faham. Itu satu-satunya jalanmu untuk mendapatkan uang."
"Kau kan yang membakarnya!"
"Aku tidak melakukan apapun, nak,"
"Mengaku saja Wijaya. Aku sudah muak dengan dramanya!"
"Begini saja, agar kau tidak stres, aku kembali menawarkan padamu agar menjual tanah tersebut padaku. Kau tenang saja, aku akan membayarnya dengan harga plus bangunan. Bagaimana?"
"Tak akan pernah. Aku tidak akan menjualnya. Aku akan buktikan kalau kau pelakunya. Aku akan menyeretmu ke penjara!"
"Tidak akan semudah itu, nak. Sebaiknya kau menyerah!"
"Tidak. Justru kau yang akan menyerah, Wijaya!"
Lelaki tua itu bangkit dari duduknya. "Rupanya kau keras kepala juga, ya? Baiklah. Aku akan memberimu waktu tiga hari. Kalau kau tetap bersikeras dengan pendiriannya, maka kau akan mendapatkan hadiah kedua." Wijaya terkekeh.
"Breng***!"
Kalau saja Deni tidak cekatan menahan lenganku, mungkin satu pukulan sudah melayang ke wajah Wijaya. Aku benar-benar sangat marah padanya. Ia benar-benar jahat. Terus-menerus mempermainkan hidupku.
"Dengar nak, jangan coba-coba cari masalah denganku. Kau akan menyesal." ia melambaikan tangannya sebagai isyarat agar kami meninggalkan ruangannya.
Seorang pelayan dengan sigap mempersilakan kami keluar dari rumah Wijaya. Di koridor, aku berpapasan dengan perempuan paruh baya dan seorang pemuda berseragam polisi. Mereka pasti istri dan anak Wijaya.
Perempuan itu menatapku tajam. Lalu berlalu menuju ruangan suaminya. Sedangkan anak lelakinya sempat menundukkan kepala sebagai sapaan padaku.
"Tuan, anda harus tenang, kalau anda tidak bisa mengontrol emosi, kita bisa kalah." Deni mencoba menasihatiku.
"Kau tidak usah mengatur!" aku mendengus kesal.
"Anda ingat kata-kata Pak Rudi, kan, tuan?"
"Hahh!"
Aku memberhentikan mobil, menyuruh Deni dan empat anak buah kami turun. Setelah itu kuambil kendali, menyetir mobil menuju perkampungan kumuh.
Aku sedang benar-benar kesal. Amarah ini tidak akan bisa ku tahan. Wijaya tidak pantas mendapatkan perlakuan baik. Harusnya ku habisi saja dia.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 216 Episodes
Comments
Aini Malika
ups jaga emosi bro...... NEXT
2020-11-29
0
Ari Putra Harahap
gooodd
2020-06-08
2
Nur Harahap
SEMANGAT AUTHORRRR😀😀
2020-06-08
1