"Katakan Diah?! darimana kamu jam segini baru pulang?!" Bentak Abim entah harus menghadapi istrinya dengan cara apa. Cara halus tidak bisa, apa lagi dengan cara kasar.
"A-aku dari rumah I- ibu Mas," jawab Diah takut-takut.
"Kenapa kamu kerumah Ibu harus malam-malam begini, Diah? kalau kamu izin setidaknya saya bisa mengantar kamu," Abim berusaha untuk bersabar.
"Aku kesana sudah dari pagi Mas," ucapnya berbohong.
Abim mengerutkan dahi. "Jangan bohong Diah! tadi siang saya kerumah Ibu, tidak ada kamu, lagian... Bapak sama Ibu tidak mengatakan apapun." terang Abim tadi siang memang menyempatkan diri mampir ke kios mertunya sekalian ada perlu dengan Adit.
Iya, iya... aku memang main kerumah teman," pada Akhirnya Diah mengakui.
"Aku suntuk dirumah terus Mas... Mas banyak aturan, aku harus ini dan itu, belanja dibatasi, pergi nggak boleh," tutur Diah menangis. Entah menangis sungguhan atau tidak. "Aku ini perempuan, tidak cukup hanya membeli, tempe, tahu dan bumbu dapur, banyak yang aku butuhkan." Protes Diah.
Abim menarik napas panjang lalu menarik tangan Diah mengajaknya duduk di kursi sofa.
"Diah, kamu tahu apa tujuan kita menikah? (dalam surat An Nuur ayat 32, Allah memerintahkan hamba-Nya agar menikah dan tidak mengkhawatirkan soal rezeki sebab Allah akan mencukupkannya.")
"Tetapi... kita harus senantiasa bersyukur, taat kepada Nya, bukan seperti kamu ini, jangankan bersyukur taat kepada Nya pun tidak."
Abim melirik Diah di sebelahnya yang masih menangis. Sebenarnya tidak tega.
"Tapi nggak hanya itu. Mas Abim mengabaikan aku, aku ini istrimu Mas. Aku butuh sentuhan, butuh belaian, tapi apa yang Mas lakukan?!" Diah merasa Abim tidak Adil, sebagai istri dia tidak diberi nafkah batin.
"Maaf Diah, dalam hal ini saya akui. Saya teramat sangat kecewa, tujuan menikah adalah untuk menyempurnakan separuh agama. Tapi kamu sudah merusak agama itu, karena kamu tidak bisa menjaga ******** dan perut. Kamu tidak bisa membentengi diri kamu dari Zina." Tutur Abim panjang lebar.
"Ceramah saja terus!" ucap Diah sambil berlàlu melewati Abim. Lantas naik tangga masuk kedalam kamar, membanting pintu dengan keras.
Abimanyu membiarkan Diah, tidak berniat mengejarnya. Ia menunduk meremas rambutnya gusar.
Ia tahu, dalam permasalahan tidak harus diselesaikan dengan pertengkaran seperti ini, dan entah sampai kapan, sebenarnya ia juga ingin sekali menyelesaikan lewat kasih sayang. Tetapi... untuk menyayangi istri seperti Diah sangat sulit baginya.
Kini Abim makan buah simalakama, kadang terbersit ingin menyerah dengan pernihanya ini. tetapi, bagaimana menjelaskan kepada orang-orang yang sudah menentang pernikahanya? rasanya menelanjangi diri sendiri. Namun jika berlanjut, akankah ia kuat?
Kini satu dalam keyakinannya suatu saat, akan membawa istrinya ke pernikahan yang di ajarkan oleh Nabi muhammad SAW yang penuh kasih sayang.
Abim kemudian beranjak masuk kekamar mencoba untuk tidur.
*******
Malam terasa panjang bagi Abim, karena tidak bisa tidur. Walaupun akhirnya tiba juga waktu pagi.
Selesai subuh, ia kedapur mengumpulkan piring yang berserakan, meletakkan di wastafel kemudian mencucinya.
Wastafel sudah bersih, ia mengelap tangan dengan serbet yang di gantung. Kemudian ambil penanak nasi, menyendok beras dengan gelas mencuci lalu memasak. Sambil menunggu nasi matang ia keruang loundre.
Mencuci pakaian, sambil menunggu pakaian bersih. Abim berjalan ke belakang dimana tempat penyimpanan sapu.
Abim maraton menyapu, mengepel, harus kerja cepat. Sebab jam tujuh harus sudah berangkat. Ia mengerjakan semua hingga kinclong. Ia lantas tersenyum memandangi hasil kerja paginya. Abim ambil panci peranti masak air yang menyangkut di paku, mengisi lalu memasak berniat membuat kopi agar dikantor tidak mengantuk.
Kruk kruk.
Perutnya berbunyi ia menggeleng sendiri lalu membuka kulkas. Ambil tiga butir telur ia irisi daun bawang dan cabe rawit di bubuhi garam mengocok lalu mendadarnya dengan api kecil.
Seketika flashback kebersamaannya dengan Melati ketika Melati bermain bersama Intan kerumahnya.
Flashback on
"Masak apa kak, Abim?" tanya Melati tiba-tiba nongol di belakangnya.
"Mau bikin dadar telur" jawabnya singkat.
"Aku saja yang masak kak," Melati menawarkan diri, lantas ambil pisau yang dipegang Abim.
"Nggak usah Mel, kamu kan tamu?" cegah Abim.
"Ya Allah, kak... kaya sama siapa saja, Tante itu sudah aku anggap Mama aku sendiri. Berarti kak Abim kakak aku dong," kata Melati sambil mengocok telur.
Abim memandangi dari samping.
"Pedas nggak kak?" tanya Melati menoleh Abim, kedua pasang mata itu pun bertemu, beberapa saat saling pandang.
"Pedes, pakai rawit." jawab Abim cepat mengalihkan pandanganya kemudian membuka kulkas ambil lima buah cabai rawit.
"MasyaAllah... kakak yakin? nggak ke pedesan ini?" Melati geleng-geleng, satu butir telur masa pakai cabai sampai lima buah. Abim hanya terkekeh.
Flashback off.
Hacih... hacihh... aroma telur dadar yang pedas menggelitik hidung Abim hingga bersin-bersin lantas sadar dari lamunan.
Abim mematikan kompor lalu ambil piring meletakkan telur diatasnya.
Setelah meletakan diatas meja kemudian mandi.
Abim berdiri didepan kamar Diah, ia mengangkat tangan berniat mengetuk, ingin mengajaknya sarapan. Namun ia menurunkan tanganya kembali.
"Ah, lebih baik nggak usah daripada ribut" ia berguman sambil berjalan ke meja makan.
Makan-makan sendiri.
Minum-minum sendiri.
Cuci baju sendiri
Tidur pun sendiri.
Ia duduk menyendok nasi yang masih mengepul sambil bersenandung, mengusir kegalauan hati.
Iya menyuap nasi setelah membaca doa. Telur dadar dengan nasi hangat ia makan dengan lahap. Setelah kenyang berangkat kerja.
******
Jam sembilan pagi, Diah tampak mondar mandir dikamar, memegangi dagu. Dia gelisah, baru dua minggu uang belanja-nya sudah habis.
Seharusnya dia membaik-baik-ki Abim, agar memberi uang tambahan, bukan malah ribut seperti tadi malam. Padahal dia sudah benar-benar bokek.
"Bagaimana... caranya, agar aku bisa mendapatkan uang? monolognya Diah garuk-garuk kepala. Diah membuka laci uangnya tinggal 25 ribu. "Beli nasi uduk sama Mpok Mumun dulu ah... biar bisa berpikir" ia ngomong sendiri.
Namun sebelum keluar Diah mencium aroma masakan, kemudian membuka penutup nasi.
"Waah... suamiku baik banget, sudah mau masakin aku, sebaiknya aku makan saja dulu. Uh, senangnya... aman uang 25 ribu aku" Ia komat kamit lantas ambil piring ambil nasi satu centong, menambahkan telur dengan kecap, lalu menyantapnya hingga ludes.
"Ah... aku punya ide" Ia berguman. Setelah perutnya kenyang Diah memutuskan. Uang 25 ribu untuk ongkos kerumah Ibu.
Diah memesan ojek online lalu berangkat kerumah Ibunya.
*******
"Kalian ini loh, kemari sendiri-sendiri. Kemarin suami kamu, sekarang kamu juga sendiri" protes Bu Reny sambil memilah-milah sayur dagangan. "Kalau kesini tuh, hari minggu terùs berdua," sambung Bu Reny tidak tahu apa yang terjadi dengan anak dan menantunya.
"Bu, Diah kesini mau ada perlu" suara Diah pelan agar tidak didengar Pak Renggono yang sedang melayani pembeli.
"Ada apa?" tanya Bu Reny, menatap anaknya sepertinya ingin bicara penting.
"Diah mau pinjam uang Bu," kata Diah menatap Bu Reny menghiba.
"Hah? pinjam duit?" suara Bu Reny kencang langsung di kode Diah. Sebab Bapak menoleh ke arahnya.
"Pelan-pelan Bu, nanti Diah di marahi Bapak," kata Diah memelas.
"Buat apa pinjam duit, tidak mungkin jika Abim tidak memberimu uang, cerita sama ibu pasti kamu boros kan?!" cecar Bu Reny.
"Dikasih Bu, tapi kan Diah mau ke salon, mau belanja keperluan Diah sendiri, kalau pakai uang Mas Abim kan malu." Diah berbohong kembali.
"Selama aku nikah, kan kak Adit sudah tidak memberi uang lagi," tuturnya.
Ibu tidak banyak bicara lantas memberikan uang kepada Diah. Sudah dapat yang ia mau, Diah pun langsung pergi.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Buna_Qaya
ibu nya diah rada-rada
rada bikin gatal jari ku gatal pengen makki online
2022-07-13
0
Ufika
yg sudah berlalu biar sja berlalu abim sekarang jalani saja semoga sja diah bisa berubah
2022-07-05
1
Senajudifa
kalo suaminya semua yg ngerjain dirmh...terus fungsix diah apa dong
2022-06-10
1