"Bu, aku nggak mau kerumah sakit... aku nggak apa-apa." Melati merengek meminta taksi agar putar balik.
"Badanmu ini loh... panas banget." ucap ibu Riska, sambil mengusap-usap dahi Melati panasnya semakin tinggi.
"Nurut lah Mel... sebentar lagi sampai klinik tuh, di depan." Imbuh pak Sutisnya.
Dalam taksi lantas hening, tak lama kemudian sampai klinik terdekat.
Melati di gendong pak Sutisna, di usia tuanya tidak mengenal lelah.
"Kenapa Pak?" tanya suster langsung sigap menyodorkan kursi roda, ketika sampai UGD.
"Badanya panas banget Sus." jawab pak Sutisna was-was. Suster tidak menjawab langsung mendorong Melati masuk ke salah satu ruangan UGD.
Check tekanan darah, suhu tubuh, setelah berbaring. Tidak lama kemudian seorang dokter wanita datang memeriksa. Memerintahkan Suster agar mengambil sampel darah dan dibawa ke laboratorium.
"Mohon bersabar ya Pak... tunggu hasil dua jam kemudian." kata dokter.
"Baik Dok" tidak banyak bertanya ibu Riska sudah mengetahui prosedur. Dua jam kemudian, dokter kembali memeriksa.
"Anak saya kenapa, Dok?" tanya pak Sutisna panik. Sebab, semakin sore panasnya semakin tinggi.
"Anak Bapak, terserang gejala tipus." dokter menjelaskan agar Melati di infus selama tiga hari.
"Melati nggak apa-apa, Bu... Melati mau pulang saja," ucapnya, dia menyesal kenapa harus sakit. Melati menatap bapak dan ibu berkaca-kaca. Jika dia dirawat apa lagi sampai tiga hari pasti beliau akan capek.
"Sudah... menurut ya nak, apa kata dokter, supaya kamu cepat sembuh." tutur Ibu panjang lebar.
Obrolan berhenti karena suster datang membawa alat dalam nampan yang berisi bermacam-macam alat infus, jarum suntik, kapas, dan juga perban, membuat Melati ngeri duluan.
"Tahan ya, Kak" kata Suster sambil memasang Infus. Melati yang dalam posisi miring tidak berani melihat, lantas mengangguk.
"Sudah... kakak istirahat dulu," titah suster sambil berlalu setelah infus terpasang.
"Pak, Bu. Melati minta maaf" Melati menitikan air mata.
"Seeettt... kamu jangan banyak pikiran Mel, maaf untuk apa?" tanya ibu.
"Seharusnya... Melati jangan sakit... Melati kasihan Bapak sama Ibu, sebaiknya Bapak sama Ibu pulang saja. Melati nggak apa-apa kok disini sendiri, lagian kan ada Suster," Melati bertutur lirih.
"Sekarang... pokoknya kamu tenang, bobok dulu, jangan pikirkan apapun." tegas bapak.
"Benar kata Bapakmu, Mel," pungkas ibu lalu menyelimuti Melati, mengusap-usap pipi Melati sayang. Melati menurut, karena semalaman tidak tidur dia pun terlelap
Ibu memandangi wajah Melati sedih, ibu Riska merasa dia lah yang sudah menciptakan sumber kerumitan cinta anaknya.
Andai saja, dulu tidak terburu-terburu menerima tawaran Sahina sahabatnya, yang berniat menjohkan Melati dengan Abim. Mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini. ibu mengusap air matanya. Dan tak luput dari perhatian suaminya.
"Sudah... bapak kan sudah bilang, Bu, sebagai orang tua, wajar, jika kita menginginkan jodoh yang terbaik untuk anak kita. Tetapi... jika mereka belum jodoh... kita bisa apa." bapak merengkuh tubuh istrinya yang sedang menangis.
Pak Sutisna lantas keluar memberi kabar, Mawar setelah istrinya tenang.
******
Sore hari saatnya pengendara mobil dan motor berebut jalan ingin segera sampai dirumah. Selap selip kiri kanan, kadang ada yang tidak sabar ingin menerobos jalanan. Namun, apa daya, tetap harus bersabar jika ingin pulang dalam keadaan selamat.
Berbeda dengan pengendara sepeda motor yang satu ini, jika tidak ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan istri barunya itu rasanya enggan untuk pulang.
Jalanan yang biasa dilalui hanya lima belas menit, kini Abim menempuh hingga hampir satu jam.
Rasa lelah, letih, lesu, kini ia bawa pulang. "Ahh..." desis Abim andai saja hati Abim tidak sekecewa ini, tentu akan senang pulang disambut oleh istri tercinta. Disiapkan pakaian, syukur alhamdulillah dipijiti. "Ahh..." lagi-lagi Abim mendesah kasar semuanya ternyata hanya mimpi.
Gredeeek.
Suara pagar dibuka, Abim mendorongnya.
"Mas Abim... sudah sampai...," Diah menyambut dengan senyum merekah. Namun Abim tampak cuek memasukkan motor kedalam garasi.
Abim masuk kedalam rumah, melewati Diah yang sedang berdiri di tengah pintu menabrak lenganya.
Diah keheranan menatap suaminya dari belakang masih bertanya-tanya. Apa kesalahan yang ia perbuat sampai Abim secuek itu?
Diah mengejar Abim yang menapaki anak tangga satu persatu, hingga sampai dikamar.
"Mas Abim... kanapa sih..." lagi-lagi Diah bertanya, wajahnya memelas seolah dia korban.
Abim membuka dasi, lalu mengeluarkan piama dari dalam tas kerja yang ia bawa dari rumah mama Sahina tadi pagi.
"Mas..." Diah memeluk suaminya dari belakang.
"Awas Diah! gerah, saya mau mandi!" kilah Abim. Mana ada diruangan ber ac terasa gerah itu hanya alasan. Panggilan Abim pun berubah 'Saya' yang sudah bertahun-tahun menyebut sayang, paling tidak aku.
"Aaahh... Mas Abim kenapa, sihh..." Diah menjatuhkan tubuhnya di kasur. Setelah Abim meninggalkan dirinya masuk kekamar mandi.
Dikamar mandi, Abim segera mengguyur tubuhnya, terkena sentuhan air tubuhnya semakin rileks.
Selesai mandi ia menggunakan piama didalam kamar mandi. Abim melirik istrinya yang sedang memainkan ponsel. Ia merasa bersalah.
Bukankah tujuan awal ingin meminta kejujuran darinya? jika hanya diam, mana mungkin Diah mengerti.
"Diah" panggil Abim. Diah merasa dipanggil langsung menjatuhkan hp nya di kasur. Ia menghampiri Abim tersenyum senang langsung duduk di sebelah Abim bergelayut manja dilenganya.
Abim menyingkirkan lengan Diah. "Aaahhh... MAS...! KENAPA SIH! NGGAK ADA ANGIN, NGGAK ADA HUJAN, TIBA-TIBA DIAM. APA SALAH KU?" sarkastis Diah lalu berdiri bersedekap dada.
"Duduk! saya ingin bicara" Abim bicara pelan.
"Kenapa... apa salahku?!" ketus Diah duduk dengan kasar, kali ini agak jauh dari Abim.
Wajahnya terlihat emosi, baru kemarin menikah dan harus menghadapi kenyataan bahwa suaminya bukan orang kaya seperti yang diharapkan sebelumya.
Apalagi ditinggalkan begitu saja, seharian tanpa ada pemberitahuan. Lalu sekarang pulang-pulang marah tanpa tahu sebab.
"Jawab dengan jujur Diah, jika kamu bicara jujur, saya akan hargai kejujuranmu." kata Abim jika Diah jujur diberikan kepada siapa mahkotanya. Maka Abim akan berdamai dengan kenyataan.
"Apa maksudnya?" Diah memutar bola matanya.
"Sebelum berhubungan dengan saya, kamu sudah melakukan dengan siapa?!" Abim menatap Diah lekat.
Deg deg deg. Jantung Diah terpompa cepat, sesaat keduanya terdiam.
"A- apa. Ma- maksudnya, Mas?" tanya Diah terbata-bata kali ini menundukkan kepala. Dengan begitu Abim sudah tahu jawabannya tanpa Diah menjawab. Tetapi Abim tetap menuntut kejujuran itu.
"Jawab yang jujur Diah!" tegas Abim.
"Ba- baru se- sekali, sama Mas, kenapa Mas bertanya begitu?"
"JAWAB YANG JUJUR, DIAH! SAYA BUKAN ORANG BODOH!" Suara Abim menggelegar. Jika Diah bukan seorang wanita rasanya ingin menghajar.
"Aku sudah jujur kan Mas, aku baru melakukan sekali dengan mu tadi malam."
Kali ini Diah bicara lancar. Abim kesal bukan itu yang ingin didengar dari mulut Diah, jika Diah jujur Abim akan mempertimbangkan. Tetapi Diah rupanya tidak mau diajak kompromi.
Abim keluar dari kamar. "BRAK" pintu ditutup dengan kasar. Membuat Diah terlonjak kaget.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Buna_Qaya
Pengen ku geprek mulut diah, ya ampun Tuhaaan. ampuni dosa terindah hamba
2022-07-13
0
mom mimu
wihhh ngeri juga ya kalo abim udh marah..
2022-07-13
0
Author SUPERSTAR
Sampul nya keren budhe
2022-06-09
0