Abim keluar menuruni tangga meninggalkan Diah dengan hati campur aduk, antara benci, sebal, emosi, menjadi satu.
Mau dianggap lancang atau apa masa bodoh! untuk saat ini. Sebab ia masuk keruang kerja Adit, kakak iparnya. Ia mengunci pintu dari dalam, saat ini hanya ingin sendiri, dan menenangkan diri.
Ia duduk di kursi milik Adit berputar-putar di kursi goyang menyandarkan kepalanya.
Abim menitikkan air mata mengingat kala itu, ketika mama dan papa melarangnya untuk memperistri Diah.
Flashback on.
"Bim, jika kamu tidak mencintai Melati, Mama tidak akan memaksa." Mama Sahina menarik nafas panjang. Menatap Abim yang baru saja dimarahi papa. Mama Sahina tidak tega. Selama ini mama maupun papa tidak pernah marah selalu bertutur lembut tiap menasehati anaknya. Namun kali ini suasan sangat tegang.
"Mama boleh, kamu menikah dengan Fera, dengan Findri, atau dengan Caca, kamu tinggal pilih salah satu." Mama absen satu pesatu gadis-gadis yang mencintai Abim. Namun Abim tidak pernah melirik gadis-gadis yang menurut Mama baik.
"Tetapi... jangan menikahi Diah nak" mama memohon.
Abim tidak menjawab, hanya menunduk menghindari tatapan papa.
"Biarkan saja! anak yang tidak mau diuntung ini Ma" papa menyahut. "Papa yakin kok, wanita itu ingin menikah dengan Abim hanya karena harta, tidak mungkin dia mencintai Abim dengan tulus," Papa Wahid yakin, karena sudah minta tolong orang agar menyelidiki Diah.
"Okay... Papa mengalah, boleh kamu menikahi wanita itu, tetapi... kamu Papa coret dari hak waris Wahid Subandono!" tegas Papa.
Mama Sahina terperangah menatap papa. Mama tidak setega itu dengan Abim. Tentu Mama tidak ingin anaknya menderita. Jika sudah tenang nanti Mama ingin bicara.
Sementara Abim yang sudah tertutup satu kata CINTA. Tidak ada masalah baginya dengan keputusan papa.
Flashback off.
Abim kembali keluar ambil air wudhu hanya dengan shalat yang akan menenangkan dirinya.
Ia kembali keruang kerja, menggelar sadjadah yang dilipat rapi diatas sofa, mungkin milik Adit.
Abim mengucap takbir shalat isya, sebisa mungkin untuk kusyu walaupun sulit. Setelah shalat ia agak tenang, merebahkan tubuhnya di sadjadah, kemudian ia tidur.
Abim mengerjapkan mata setelah mendengar Adzan berkumandang. Ia masih bingung berada dimana saat ini. Di Masjid kah? Abim kemudian duduk mengingat-ingat setelah lima menit baru sadar, mengingat kejadian tadi malam.
Abim keluar rumah mengalungkan sadjadah di leher, setelah dari kamar mandi, bergegas ke Masjid.
Selesai shalat subuh berjamaah, Abim mendengarkan kultum dari salah satu Ustadz di Masjid tersebut.
"Kali ini saya akan membahas tentang bagaima jika seorang pria menikahi wanita yang sudah tidak suci?
"Wo... wo... wooo..." suara riuh para jemaah subuh.
Deg. Abim memandang Ustad yang berdiri diatas mimbar seolah menyindirnya.
"Sebagian dari laki-laki seperti kita tentu ingin mempunyai istri yang masih menjaga kesucianya. Atau istilah bahasa gaul 'Virgin."
Para jemaah kembali tertawa.
"Betul apa betuul..." seloroh Ustad.
"Betul... ahaha..." bapak-bapak terbahak-bahak, yang awalnya mengantuk menjadi segar, menganggap Ustad sedang melawak.
"Loh ini benar, keperawanan soal tabu bagi kita, untuk di pertanyakan. Masa iya? kita harus bertanya kepada calon pasangan, sebelum menikah? Jangan ya... haram hukumnya, karena itu aib, kita harus menjaga perasaan calon pasangan." pesan Ustad.
"Mudah-mudahan... para jemaah disini tidak ada yang mengalami ini. Semoga istri kita, istri yang shaleh." doa Ustad.
"Aamiin..." para jemaah antusias.
"HARAM! hukumnya, jika kita sebagai mukmin menikahi wanita yang sudah berzina atau tidak suci."
Deg. Dada Abim seperti terhujam panah, kembali menatap Ustadz.
"Seorang pezina hanya diperbolehkan menikah dengan pezina, kecuali mereka bertaubat." tegas Ustad.
Abim menyugar rambutnya gusar.
"Tapi... jangan salah... jangan main tuduh, tidak mengeluarkan darah saat hubungan pertama, bukan berarti dia berzina loh. Mungkin ada faktor lain yang menyebabkan robeknya selaput dara, makanya... seperti yang sudah saya jelaskan di atas. "Jangan main tuduh."
Keadaan masjid kembali hening semua jemaah menatap Ustadz menanti kelanjutannya.
"Kok saya jadi seperti dokter ya" Ustad terkekeh seraya membetulkan kopyah.
"Tetapi... ini yang harus kita pahami, jika memang seorang pria sudah terlanjur menikah dengan wanita itu. Namun, tidak mengetahui sebelumnya, dan mau bertaubat, beri dia kesempatan."
"Ingat! Allah saja maha pengampun, jangan langsung main cerai, beri kesempatan, ajak bicara. Tidurlah terpisah dulu, untuk sama-sama intropeksi diri, sebelum terjadi perceraian yang ujungnya akan menyesal.,"
"Suami itu pelindung loh, bagi istrinya. Karena Allah telah melebihkan sebagian dari pria tehadap wanita."
"Karena mereka telah memberi nafkah terhadap istri."
"Maka, perempuan-perempuan yang shaleh adalah... mereka yang taat kepada Allah, dan menjaga diri ketika suami tidak ada, karena Allah telah menjaga mereka."
Perempuan-perempuan yang nusyuz, hendaklah kamu beri nasehat. Tinggalkan mereka ditempat tidur, atau dalam artian pisah ranjang. Namun jika ia menaatimu maka jangan mencar-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh Allah maha pengampun."
Kultum selesai Abim meninggalkan masjid pulang sedikit mendapat pencerahan dan kelegaan. Ia akan menuruti nasehat Ustad tadi.
Abim masuk kerumah masih sepi, lantas kedapur setelah meletakkan sadjadah keruang kerja. Perutnya mulai lapar dia hanya makan kemarin siang.
Bola mata Abim terbelalak tatkala sampai didapur. Dapur seperti kapal pecah.
Panci bekas memasak mie masih terlentang, piring kotor, bahkan sampah-sampah berantakan. Abim menggeleng. Niat ingin membawa mengontrak rumah semakin bulat. Biar bagaiman, istrinya harus belajar menjadi seorang istri, bahkan seorang ibu. "Seorang Ibu? Abim menggeleng lemah. Jika tetap tinggal disini Abim tidak akan bebas menasehati istrinya. Tentu tidak enak dengan mertua.
Abim membereskan sampah bekas mie, bekas telur, melempar ketempatnya.
Kemudian menyalakan kran, mencuci piring. Pekerjaan seperti ini baginya sudah biasa. Tidak ada pekerjaan perempuan maupun laki-laki ketika didalam rumah mama. Mama Sahina selalu mengajarkan kedua anaknya untuk mandiri.
Selesai mencuci piring, Abim membuka kulkas ternyata kosong. Membuka tempat beras juga kosong, nanti pulang kerja berniat membelinya.
Ia memasak air sambil menyapu lantai lanjut mengepel. Menginjak lantai yang terasa ngeras, paling tidak ia sukai.
Setelah rapi semuanya, ia mandi sekalian mencuci bajunya sendiri dengan cara mengucek lalu menjemurnya di atas loteng. Hanya melilit tubuhnya dengan handuk.
Mau tidak mau ia harus kekamar Diah ambil baju kerja dari dalam tas yang ia bawa kemarin.
"Mas..." Diah tampak tersenyum ditempat tidur, mengkode dengan harapan suaminya luluh lalu mengajaknya bercinta.
Abim tidak menghiraukan lantas masuk kekamar mandi memakai pakaian. Tidak ingin barang berharganya di lihat istrinya.
Sementara Diah meninju-ninju bantal karena kesal kemudian menarik selimut kembali.
Setelah keluar dari kamar mandi Abim kembali keluar sudah tampak rapi ambil uang tunai didalam tas kerja.
"Diah..." panggil nya.
"Iya Mas..." Diah tampak berbinar menurutnya suaminya akan memaafkan, dan mengajaknya berbaikan.
"Ini uang, gunakan untuk keperluan dapur, diirit-irit sampai sebulan. Yang terpenting kamu membeli beras dan sayuran isi kulkas yang kosong, jangan lupa sabun-sabun"
Abim menyerahkan uang enam juta, nafkah pertama darinya, harus dijelaskan seperti itu, agar Diah mengerti. Abim tidak ingin menyerahkan gajinya seluruhnya, lain cerita jika istrinya itu nanti sudah bisa dipercaya.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 106 Episodes
Comments
Buna_Qaya
paling abis buat hura-hura tuh
Darkest Dream mampir nyicil kak
2022-07-13
0
mom mimu
suami idaman... sayang loh Diah kalo kamu sia2in abim...
2022-07-13
0
Ufika
semua adalah pilihan kamu abim baik buruknya dia adalah istri kamu ya ajari saja pada kebaikan jngan sampai suatu saat kamu menyesal juga
2022-06-23
1