"Masa adikku ini kalah sama anak kecil." Tiba-tiba sebuah suara mengejutkan Hawa.
Hawa tertegun sejenak. Mendengar suara itu seperti tidak asing baginya. Seketika tubuhnya terbangun dan berdiri tegak. Lalu berbalik menghadap Yusuf yang tengah tersenyum padanya.
"Kakak!" teriaknya yang langsung memeluk Yusuf seperti anak kecil yang naik dalam gendongan.
Bagi Hawa dan Yusuf itu tidak masalah, tapi berbeda dengan pandangan para santri lain. Mereka begitu terkejut saat melihat Hawa memeluk Yusuf. Karena mereka tidak tahu jika Yusuf adalah kakaknya.
"Hawa, turun jangan seperti ini," ucap Yusuf yang menyadari pandangan semua orang. Sedangkan Hawa tidak peduli.
Terpaksa Yusuf menurunkan satu persatu kaki Hawa yang menyapit pinggangnya. Lalu menurunkan kedua tangan yang menempel di pundaknya.
"Kakak!" rengek Hawa.
"Ini bukan di rumah. Lihatlah pandangan mereka takut nanti jadi fitnah," jelas Yusuf.
"Kita 'kan saudara kakak beradik. Kenapa harus salahpaham?"
"Kita duduk di sana saja." Tunjuk Yusuf pada sebuah kursi, mereka pun melangkah bersama menuju kursi itu.
"Kakak kapan datang? Kenapa tidak bilang?" tanya Hawa setelah mendaratkan bokongnya.
"Mendadak. Papa yang meminta pulang."
"Oh, jadi kalau papa tidak meminta, Kakak tidak akan pulang?"
Yusuf tertawa renyah.
"Bukan begitu, masalahnya Kakak juga punya tugas di sana. Mengajar."
"Aku iri deh, masa kakak di pinta pulang sedangkan aku, Setiap ingin pulang selalu saja di larang."
Sedetik hidung mancung itu Yusuf cubit, sontak para santri yang melihat kembali terkejut, karena melihat kedekatan sepasang pemuda-pemudi di dalam pondok.
Bagi mereka itu tidaklah wajar, namun tidak bagi Yusuf dan Hawa yang sudah terbiasa mesra layaknya sepasang kakak beradik.
"Ih … kak Yusuf! Kenapa di cubit sakit tahu."
"Karena kamu lucu. Masa iya baru saja satu bulan sudah mau pulang. Kakak saja 12 tahun tinggal di sana. Ya jelas pasti Papa gak ngizinin."
Selama itukah Yusuf tinggal di Kairo?
Ya, karena Yusuf bukan hanya kuliah saja. Bahkan Yusuf sudah merasa nyaman dan menganggap Kairo tempat kelahirannya.
Selain untuk mendapatkan ilmu, Kairo juga sebagai mata pencahariaanNya. Karena Yusuf juga bekerja di sana.
"Tetap saja aku mau pulang. Kak Yusuf bujuk papa sama mama ya? Please." Hawa memohon.
"Boleh, tapi ada syaratnya. Kamu pindah ke Kairo gimana?" Kata Yusuf seraya menaik turunkan alisnya.
"Gak gitu juga kali kak, aku harus pindah ke sana. Pokoknya aku mau sekolah di tempatku yang dulu bersama teman-temanku."
"Memakai rok mini, baju ketat, rambut di biarkan terurai, itu yang kamu mau?"
Hawa hanya diam.
"Hawa dengarkan Kakak. Kamu adik kakak paling cantik memakai gamis, jilbab, masyaallah sungguh bahagianya kakak melihat penampilan adik kakak seperti ini. Dan kamu ingin membuka semua ini lagi? Kamu tidak takut papa, kakak, dan mama menanggung dosa mu?"
"Apa hubungannya? Dosa Hawa tanggung sendiri tidak akan melibatkan siapapun.
"Perlu kamu ingat Hawa, seorang wanita yang membuka auratnya, memperlihatkan lengkuk tubuhnya, bahkan satu helai rambut pun yang terlihat itu dosa. Apalagi di lihat banyak orang terutama kaum pria. Dan kamu ingin tubuhmu terlihat agar di pandang indah oleh kaum pria."
"Itu zaman Kak," jawab Hawa yang selalu bisa menimpali.
"Zaman kamu bilang? Kamu tahu apa hukuman nya bagi wanita yang tidak menutup aurat? Neraka jahannam tempatnya."
"Jika menutup aurat tidak bisa, berarti membuk hijab boleh? Memperlihatkan rambut kita itu boleh 'kan?"
“Sehelai rambut wanita yang dilihat lelaki bukan mahram dengan sengaja, balasannya 70 ribu tahun dalam neraka. Sehari akhirat 1.000 tahun di dunia. Seorang wanita masuk neraka akan menarik ayahnya, adiknya, suaminya, dan anak lelakinya”. Ingat, itu baru satu helai rambut," jelas Yusuf.
"Tidak hanya kamu yang masuk neraka, tetapi papa, mama, dan kakak pun bertanggung jawab akan hal itu. Itu sebabnya kenapa kami selalu menyarankan, kamu untuk menutup aurat. Jika kamu sayang pada kita tutuplah auratmu, dan jika nanti kamu setelah menikah suamimu yang akan terseret, tertarik ke dalam neraka.",
Hawa terdiam. Sedetik Hawa teringat teman-temannya. Akan tetapi saat mendengar petuah dari kakaknya entah kenapa hatinya mulai terbuka.
Ada rasa takut, tapi juga masih ingin bergaya seperti teman-temannya yang lain. Mengikuti zaman, bergaul seperti anak gaul lainnya.
"Adapun kaum wanita yang menutup aurat tetapi di hukum," lanjut Yusuf membuyarkan lamunan Hawa.
"Loh, kok bisa? Berarti menutup aurat tidak menjamin masuk surga."
Yusuf tersenyum, pandangannya menatap fokus ke depan. Mungkin saat ini dirinya harus mengajar adiknya sendiri. Memang Yusuf tidak pernah tahu seperti apa pergaulan adiknya.
Namun, Yusuf selalu melihat dari status akun media sosial yang Hawa miliki sebelumnya. Dari cara berpakaian, bergaul hingga ada satu potret yang Yusuf lihat, Hawa yang tertawa bersama temannya, di dalam sebuah ruangan gelap, dengan penerangan berwarna- warni. Bahkan berdampingan dengan teman prianya.
"Kak jawab dong kok malah diam." Sepertinya Hawa sangat penasararan.
"Wanita yang berpakaian tetapi telanjang."
"Maksudnya?"
"Berpakaian ketat, hingga membentuk lengkuk tubuhmu. Itulah yang di maksud berpakaian tapi telanjang."
Yusuf menarik nafas sejenak, sedetik pandangannya kembali pada Hawa.
"Kakak selalu tahu bagaimana perlakuanmu Hawa. Kamu pernah pergi ke sebuah club malam 'kan?"
"Tidak!"
Dengan tegas Hawa mengelak, akan tetapi Yusuf masih memiliki foto itu yang sudah ia simpan.
Di bukanya layar datar miliknya lalu di perlihatkan pada Hawa, sebuah foto yang sangat lama saat bersama Sherly, dan Mira.
Hawa yang hanya menggunakan t-shirt dengan lengan pendek, yang di padukan dengan celana jeans pendek yang ia kenakan. Sangat jelas mengekpose paha mulusnya.
Hawa hanya terdiam melihat potret dirinya itu.
"Ini yang di maksud zaman Hawa? Dan inilah teman-teman terbaikmu Hawa? Seorang teman tidak akan membawamu ke jalan yang sesat."
Hawa masih diam.
"Mungkin saat itu kamu masih belum menutup aurat. Tapi … setidaknya berpakaianlah yang sopan, tidak seperti ini. Apalagi masuk ke dalam sebuah club apa yang akan orang lain pikirkan. Itu sebabnya papa marah hingga serangan jantung bukan?"
Mata Hawa langsung terbelalak, tidak percaya jika kakaknya mengetahui kejadian itu.
"Dan kamu ingin kembali ke masa itu? Kamu yakin? Tidak takut terjadi hal buruk pada papa? Bagaimana jika papa …."
"Iya, kak. Hawa tidak akan mengulangi lagi. Dan akan tetap berada di sini. Di pondok ini, sampai Hawa menikah bersama ustadz di sini. Puas!"
Hawa lagi-lagi kesal. Namun, tanpa sadar sudah mengucapkan hal lain, Menikah dengan seorang Ustadz. Itulah yang membuat Yusuf tertawa.
"Kok Kakak malah tertawa."
"Senang saja karena kamu mau menikah dengan Ustadz di sini. Sepertinya ini kabar bahagia kakak kasih tahu papa dan mama saja kali saja mereka mau nikahkan kamu segera," canda Yusuf namun, membuat Hawa kesal.
"Kak Yusuf!" teriak Hawa pada Yusuf yang sudah berlari jauh menuju rumah Kiyai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Zaka Jack
terbaik👍
2023-11-28
0
Yuli Purwa
pencerahan yg humanis 🥰🥰🥰
2023-05-23
1