"Jangan senyum-senyum cepat bacakan hapalannya," tegur Adam, pada Hawa, yang terus tersenyum.
"Sebentar ustadzh, aku ingin minta pertanggung jawaban dulu darimu." Adam, mengerutkan keningnya tidak mengerti apa maksud Hawa.
"Pertanggung jawaban apa?" tegas Adam. Hawa, pun menunjukan kertas surat yang ia temukan kemarin malam. Awalnya Adam, biasa saja namun saat melihat surat itu ekspresinya berubah.
"Apa ini! Kenapa surat ini ada pada Hawa? Apa Asma, yang memberikannya!" batin Adam, lalu merobek kertas itu dan di buangnya ke dalam tong sampah.
"Jangan mengalihkan pembicaraan cepat bacakan hapalannya!" perintah Adam, lagi.
"Justru karena itu, aku tidak bisa menghapal ustadzh," elak Hawa.
"Apa hubungannya? Jangan ngeles cepat bacakan!"
"Ustadz tidak tahu perasaan wanita? Wanita itu hatinya begitu lemah. Apa salahnya sih jika ustasdz menerima perjodohan itu. Jadi Asma, tidak akan terus menangis. Perlu ustadz tahu gara-gara ustadz aku tidak bisa tidur karena Asma, terus saja menangis. Apa salahnya sih ustadz nikahi saja dia."
Aww, Hawa, meringis kala Adam, memukul kepalanya dengan buku yang dia pegang. "Kenapa di pukul!" skak Hawa.
"Ucapanmu tidak ada hubungannya dengan pelajaran kita. Mengerti! Bacakan surat Al-baqarah ayat 1-10." Hawa, gelagapan karena dirinya belum sempat menghapal. Beruntung Hawa, masih ingat dan hapal ayat 1-7 karena saat dirinya masih kecil Hawa, selalu belajar dengan kakaknya.
"Cuma sampai situ saja ustadz," ucap Hawa, setelah menalar surat Al-baqarah sampai ayat 7.
"Baiklah, hari ini hapalanmu di terima besok, kamu harus setor lebih dari itu. Kamu masih harus tetap belajar karena masih ada hukum tajwid yang salah. Mulai besok setiap sore kita belajar ngaji."
"Belajar-belajar terus kapan istirahatnya," rutuk Hawa, namun terdengar Adam.
"Kamu bilang apa tadi?"
"Euh … iya ustadz besok saya akan belajar ngaji"
"Bagus. Jangan lupa hapalkan untuk besok ya!" ucap Adam, dan berlalu pergi.
"Cape banget sih disini, belajar gak ada habisnya." Hawa, mengayunkan langkahnya meninggalkan kelas dengan bibir yang terus mengerucut.
****
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Adam, terkejut saat melihat Hj. Anshor yang kembali datang ke rumahnya, begitu pun dengan kehadiran Asma. Adam, yang baru pulang mengajar langsung berjalan ke arah ruang tamu yang sudah di tunggu oleh kedua orangtuanya.
Sebelum duduk Adam, ingin bersalaman pada Hj. Anshor, sebagai penghormatannya pada orangtua. Namun, Hj. Anshor tidak menerima uluran tangannya dan langsung memalingkan wajahnya. Adam, hanya diam dan menarik uluran tangannya kembali lalu duduk di antara kiyai dan ummi.
"Pak Haji, apa tidak di pikirkan dulu kenapa Asma, harus berhenti mondok disini. Saya, tahu alasan pak Haji membawa Asma pulang. Saya harap masalah perjodohan itu tidak membuat silaturahmi kita putus."
Kiyai Abdullah sangat menyayangkan jika keputusan Adam, membatalkan perjodohan membuat hubungannya dengan Haji Anshor meregang. Namun, kiyai tidak bisa memaksa Adam untuk menikah dengan Asma. Karena kiyai sangat menghargai keputusan putranya.
"Maaf Aby, apa Asma akan berhenti mondok disini?" tanya Adam, pada kiyai. Kiyai pun mengangguk membetulakan pertanyaan Adam.
"Sekali lagi saya minta maaf jika sudah mengecewakan kalian. Tetapi saya harap kalian tidak menghubungkan masalah pribadi dengan mondoknya Asma di pesantren ini. Lagi pula sebentar lagi akhir semester sangat di sayangkan jika Asma, berhenti."
"Bagiku tidak ada yang di sayangkan melebihi rasanya di kecewakan. Urusan mondok dan belajar Asma, itu urusan saya. Saya bisa memasukan Asma, ke tempat sekolah yang lebih baik dan pesantren yang lebih baik. Dari pada putri saya harus menahan rasa sakit hati selama belajar disini karena akan bertemu denganmu Adam."
Haji Anshor terlihat sangat marah, kekecewaannya maaih melekat di hatinya. Lebih tepatnya bukan rasa kecewa yang di rasakan melainkan rasa malu, karena sudah terlalu banyak berharap.
"Jika ini sudah keputusan kalian, saya dan juga Aby, tidak bisa menghalangi." Adam, begitu bijaksana mencoba mengerti keadaan mereka.
"Jika di perbolehkan saya ingin bicara sebentar saja dengan Asma." Asma, terdiam lalu menatap papanya untuk memberi jawaban. Haji Anshor pun mengizinkan.
Asma dan Adam duduk di teras depan dengan jarak satu meter yang di batasi sebuah meja di tengah-tengah mereka. Takut jika akan menimbulkan fitnah Adam, pun berdiri dari duduknya dan melangkah maju lebih depan dengan tubuh membelakangi Asma, yang duduk di atas kursi.
"Boleh saya memulai Asma?" tanya Adam, memulai pembicaraan tanpa menoleh sedikit pun pada Asma. Tatapan Adam, tetap tertuju ke depan walau ucapannua tertuju pada Asma.
"Katakan saja Mas Adam, apa yang mau anda katakan," jawab Asma.
"Sebelumnya saya ingin minta maaf, jika keputusan saya menyakitimu dan menyinggung perasaanmu. Jodoh tidak bisa di paksakan, dan hanya Tuhan yang mengatur segalanya. Antara jodoh, maut, dan rezeki. Saya harap kamu mengerti dan menerima keputusanku."
"Kenapa tidak sejak dulu Mas Adam, kenapa baru sekarang setelah empat tahun lamanya aku menunggumu dan berharap banyak padamu. Kamu pikir hatiku tidak sakit! Tak hanya rasa kecewa yang ku rasakan tapi sakit hati yang sangat dalam karena merasa di permainkan."
"Sejak awal aku sudah mengatakan jika aku tidak berjanji akan menerima perjodahan ini. Keputusanku tergantung istihoroh ku. Aku tidak mengatakan jika aku akan menikahimu. Namun, aku menghargai permintaan papamu yang melamarku untukmu. Tiga kali aku terus mengulang sholat istikhorohku, tiga kali pula jawabannya tetap sama bukan kamu jodoh yang tuhan pilihkan untuku."
"Mungkin, aku bukan jodoh yang baik untukmu mungkin saja Allah, sudah menyiapkan jodoh yang terbaik untukmu yang lebih baik dariku."
"Semoga saja. Dan aku berharap jodohku bukan laki-laki yang mempermainkan hati wanita seperti kamu Mas. Asal kamu tahu Mas, aku sangat mengagumimu dan berharap jika kamu adalah calon imamku."
"Terima kasih kamu telah mengagumiku tapi maaf jika saya tidak bisa membalas perasaanmu."
"Seribu maaf pun tidak akan bisa menyembuhkan luka hatiku. Sepertinya pembicaraan kita sudah selesai. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." jawab Adam, setelah Asma, berlalu pergi.
Berbeda dengan Asma dan Adam yang sedang gundah gulana. Hawa, sedang fokus menghapal surat Al-baqoroh yang akan di talarnya besok. Seraya di bantu oleh Aisyah dan Asiyah.
"Hawa, pelan-pelan mahorijul hurufnya harus benar."
"Untuk mad asli di bacanya harus panjang ya!" protes Asiyah dan Aisyah.
"Ish … ribet banget sih! Yang penting gue hapal."
"Eh, teu bisa kitu atuh (gak bisa gitu dong) kudu bener panjang pondokna lain kos baca koran (harus benar panjang pendeknya jangan seperti baca koran)."
"Ish … ngomong apaan sih gak ngerti gue," rutuk Hawa, saat Aisyah, menceramahi dengan bahasa daerahnya yaitu bahasa sunda.
"Harus bener intinya itu." sanggah Aisyah.
"Iya-iya bawel banget sih! Hidup di pesantren banyak aturan." Hawa, terus menggerutu walau pun begitu Hawa tetap menghapalnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Yuli Purwa
sabar ya nak,,, orang sabar pasti subur 🤣🤣
2023-05-22
1
Dini_Ra
Sabar ya Hawa, 🤣
2022-11-24
0
Sri Mulyati
Si Asma tidak tahu aja, jodoh Adam sudah disiapkan itu musuh besar Mu yang sekarang lagi di hukum sama Adam😀😀😀😀
ditolak jangan keras hati malah seret jodoh nanti🤭🤭🤭🤭
Semangat 💪💪💪 juga up nya Thorrr 😘😘😘😘😘😘😘😘
2022-06-23
0