Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam. Akhirnya Yusuf, sampai juga di rumahnya. Mobil yang mereka naiki memasuki pekarangan rumah yang luas, sedetik tatapan takjub Yusuf pancarkan. Menatap bangunan kokoh yang masih tetap sama saat dirinya hendak pergi ke negeri Kairo, kota seribu menara.
"Tidak pernah berubah," gumamnya. Yang sedikit menurunkan kaca mobil.
"Yusuf ayo turun."
Terlalu lama memandang rumah lamanya, hingga tidak sadar jika kedua orangtuanya sudah melangkah lebih dulu memasuki rumah.
Yusuf, langsung menyusul serta membawa barang-barangnya. Namun, semua itu terhentikan saat seorang lelaki mengambil paksa barang-barang itu.
Lelaki itu adalah pak Tarjo, yang selama ini membantu keluarganya dalam mengurus rumah. Yusuf, yang selalu ramah pada siapapun tidak lupa menyapa pak Tarjo dengan pelukan.
Tidak pernah jijik untuk menyentuh orang lain walau mereka kotor sekalipun. Sudah pasti pak Tarjo sangat senang bertemu kembali dengan anak majikannya.
Semua asisten di rumah itu lebih menyukai Yusuf di bandingkan Hawa, yang anaknya sulit di atur dan kurang sopan pada orangtua.
"Den Yusuf, makin tampan saja. Pangling Pak Tarjo, tidak kenal jadinya."
"Bisa saja Pak Tarjo ini." Kata Yusuf di iringi dengan senyuman.
Merekapun melangkah bersama ke dalam rumah. Hanya saja pak Tarjo terus melangkah menuju kamar untuk menyimpan barang-barang Yusuf.
Sedangkan Yusuf berbelok ke arah ruang keluarga menghampiri papa dan mamanya.
*****
Suara bel berbunyi menandakan pelajaran sudah selesai. Para santri dan santriwati pun keluar berhamburan untuk mengantri makan siang.
Namun, ada juga di antara mereka yang berlari ke arah kantin, untuk membeli makanan sendiri. Karena setiap hari mereka akan di beri uang jajan yang orangtua mereka berikan, yang sudah di titipkan pada pemimpin pondok.
Dan uang itu akan di berikan setiap harinya. Dari mulai 10 sampai 20 ribu tergantung besar kecilnya para orangtua menitipkan uang jajan mereka.
Di saat semua orang keluar Hawa, masih diam di kelas. Sebuah buku yang berdiri menutup wajahnya masih bertengger menghadap Adam.
Adampun bangkit dari tempat duduk untuk melihat siapa yang tidak pergi untuk istirahat. Langkah itu terayun mendekati Hawa yang duduk di bangku terakhir.
Di tariknya jilid buku itu, sontak Adam syok saat melihat santrinya yang tertidur. Dan siapa lagi jika bukan Hawa, santri yang selalu berulah.
"Astagfirullah," ucap Adam. "Hawa, Hawa, selalu saja …."
Harus banyak bersabar ya Adam.
Brak!
Sungguh terkejutnya Hawa saat mendengar gebragan meja yang begitu keras membangunkan tidurnya. Padahal seseorang hanya memukul meja itu dengan penggaris yang ia bawa.
Masih sempatnya Hawa meregangkan otot-otot yang kaku, tanpa melihat seorang wanita yang berdiri di hadapannya. Sorot mata yang begitu tajam seolah siap menerkam.
"Ustadzah!" terkejutnya Hawa saat melihat Ustadzah yang sudah berdiri di hadapannya.
Netranya memindai sekeliling kelas, yang ternyata semua teman sedang memperhatikannya. Lalu Hawa melihat meja guru di depan yang sudah kosong tanpa Adam.
"Ustadz Adam kemana?" gumamnya.
"Hawa!" teriak Ustadzah.
"Iya Ustadzah!"
"Enak kamu tidur. Sampai tidak tahu pelajaran ustadz Adam sudah berakhir! Dan kamu juga meninggalkan sholat dzuhur!" Suara Ustadzah begitu melengking.
Sedetik Hawa menoleh pada jam dinding yang sudah menunjukan pukul 14.00. Sudah jam dua siang dan Hawa, belum menjalankan sholat dzuhur.
"Cepat! Pergi ke mesjid sholat dzuhur."
"Iya Ustadzah."
Hawa bergegas pergi. Adam memang sengaja meninggalkan Hawa tidak membangunkannya. Dan meminta seorang santri untuk membangunkan Hawa, tetapi mereka lupa hingga tiba jam pelajaran Ustadzah Lili.
Sedangkan Adam, terlihat tenang membaca kitab di ruangannya. Namun, hatinya tidak bisa berbohong jika Adam masih memikirkan Hawa.
Di lihat arah jarum jam pada arloji di tangannya. Kitab itu langsung ia simpan lalu tubuhnya bangkit berdiri melangkah keluar.
Entah Adam mau pergi ke mana, langkah kaki terus menyusuri koridor antara penghubung kelas santri pria dan wanita, kaki Adam pun berbelok ke kelas santri wanita yang sekarang sedang di pimpin Uatadzah Lili.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Suara Adam menghentikan pelajaran mereka sejenak. Usradzah langsung menghampiri Adam yang berdiri di ambang pintu.
"Ustadz Adam?"
"Apa Hawa ada di kelas?"
"Maaf Ustadz, Hawa tertidur hingga melewatkan sholat dzhur. Baru saja Hawa keluar untuk menjalankan sholat dzuhur selagi ada waktu."
"Ya sudah, kalau begitu lanjutkan lagi mengajarnya Ustadzah maaf sudah mengganggu. Untuk Hawa biar saya yang urus."
"Baik Ustadz."
Adampun berlalu pergi menuju arah mesjid. Hawa baru saja mengenakan mukena dan akan melakukan sholat.
Adam hanya berpesan pada seorang santri, untuk mengantarkan Hawa ke rumah Kiyai.
Empat rakaat sudah Hawa lakukan, di akhiri dengan kedua tangan menengadah untuk meminta do'a. Tali mukena langsung ia lepaskan, di bukanya lalu di lipat kembali agar rapi.
Mesjid ini begitu sepi mungkin, mereka semua sedang belajar.
"Assalamualaikum Hawa?" panggil seorang santriwati.
"Walaikumsalam iya?" sahut Hawa.
"Kamu di minta datang ke rumah Pak Kiyai."
"Untuk apa?"
"Tidak tahu, aku hanya memberitahumu. Kalau begitu aku pamit."
Santriwati itu bergegas pergi, Hawa, langsung menaruh mukena itu pada sebuah lemari, setelahnya Hawa pun meninggalkan mesjid.
****
Di depan teras Adam menunggu Hawa, sambil duduk santai di atas kursi kayu jati. Punggungnya bersandar pada dinding bercat putih. Sepasang netranya tertuju pada halaman luas di depannya, serta pagar rumah yang di hiasi tanaman-tanaman yang hijau.
Sejenak Adam, tertegun. Di sinilah tempat terakhir Adam bertemu dengan Asma, santri yang sudah di anggapnya seorang adik dan juga yang di jodohkan dengannya. Hanya saja, karena keegoisan Asma malam itu mereka harus terpisah.
Entah bagaimana kabar Asma sekarang? Mungkinkah dia mondok atau sudah menikah. Karena keputusan istikhorohnya saat itu membuat ayah Asma kecewa, sehingga akan menikahkan Asma dengan lelaki yang di anggap pantas dan langsung memutuskan tali silaturahmi dengan keluarganya.
Sebenarnya tidak baik seseorang memutuskan tali silaturahmi, karena mereka di anggap sebagai perusak bumi. Bahkan ia juga akan mendapat kutukan dari Allah SWT. Sebagaimana yang tertuang dalam satu hadis.
Rasulullah SAW bersabda, "Tidak akan masuk surga pemutus silaturahmi."
Adam tidak menginginkan itu. Namun bagaimana lagi, mereka yang memutuskan dan Adam hanya bisa berharap semoga Allah SWT mengampuni dosa mereka.
"Assalamualaikum."
Ucapan salam seseorang mengejutkan lamunan Adam. Adam, segera menoleh.
"Walaikumsalam," sahutnya menjawab salam.
Adam langsung menunduk ketika tahu jika itu adalah Hawa, tidak baik memandang yang bukan muhrim dalam waktu yang lama. Namun, tidak dengan Hawa. Rasa kesalnya pada Adam masih belum hilang sehingga Hawa terus menatap dengan sorot mata yang tajam.
"Aku mau ketemu pak Kiyai, bukan ketemu anda ya Ustad," ketus Hawa.
Adam bangun dari duduknya, berdiri membelakangi Hawa.
"Saya yang memanggilmu. Masuklah," titahnya lalu melangkah masuk meninggalkan Hawa, yang masih tercengang. Dengan ekpresi kesal Hawa, pun melangkah mengikuti Adam.
"Ummi?" panggil Adam. Ummi Khodijah pun muncul dari arah dapur.
"Iya Adam?"
"Ada Hawa, katanya mau membantu Ummi memasak."
Sontak mata Hawa terbelalak, sedetik tatapan sinisnya beralih pada Adam.
"Masak? Siapa yang mau masak, nyebelin banget sih ni Ustad, pasti ngerjain lagi nih," batin Hawa kesal. Tetapi tidak dengan Ummi yang merasa senang karena ada yang membantu.
"Serius kamu Adam? Masyaallah Hawa Ummi senang, ayo masuk Nak kita masak bareng-bareng." Ummi khodijah menuntun Hawa.
"Tapi Ummi, Hawa tidak bisa masak."
"Tidak apa-apa nanti Ummi ajarkan." Terpaksa Hawa, melangkah mengikuti Ummi. Namun, tatapan tajamnya tidak berpaling pada Adam.
Adam hanya tersenyum menanggapi tatapan membunuh itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Zaka Jack
knp bisa jadi begini ceritanya?
2023-11-28
0
Yuli Purwa
cie cie calon mantu diminta belajar masak 🥰🥰🥰
2023-05-23
0
ꪶꫝ🥀⃞oktavia ariani🔮S⃟M•
oh,adam mau menjadikan hawa istri kayane,mkane sruh belajar masak😁😁
2022-12-27
3