Hawa kembali ke kelas dengan raut wajah yang tidak bersahabat. Bibirnya mengerucut, wajahnya di tekuk hingga sampai di tempat duduknya.
Beruntung belum ada guru yang mengajar, sebab Hawa masuk tanpa memberi salam dan menghiraukan teman yang lainnya. Kehidupan Hawa yang sangat bebas kini tidak bisa ia dapatkan lagi.
"Tempat apa ini? Semua serba di larang. Bahkan ponselku sekarang di sita. Ini bukan sekolah namannya tapi penjara," gerutu Hawa dalam hati.
"Sherly dan Mira pasti semalam mereka nonton. Ih … sebel! Seandainya ada kak Yusuf, mungkin aku tidak akan ada di tempat ini."
Yusuf adalah kakaknya yang sekarang menempuh pendidikan di negeri Cairo.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam."
Adam memasuki kelas, para santriwati begitu antusias, mereka terlihat senang karena Adam yang mengajar. Berbeda dengan Hawa, yang langsung menutup wajahnya dengan buku, seolah tidak sudi melihat wajah Adam.
*****
Suara gemuruh dari sayap burung besi terdengar keras. Di langit yang biru burung besi itupun bebas berterbangan seakan udara adalah tempat mereka.
Dari arah timur sebuah pesawat meluncur dan mendarat mulus di hamparan aspal hitam yang luas dan besar. Sedetik roda-roda kecil keluar dari dalam tubuh itu mendarat menyentuh jalan.
Seketika sebuah pintu terbuka, menciptakan sebuah tangga untuk memudahkan para penumpang turun. Puluhan manusia pun muncul dari balik pintu.
Seorang pemuda tinggi, dengan pakaian casual yang ia kenakan. Hanya kemeja army dan celana jean, serta sepatu vanz sebagai alas kakinya.
Tidak lupa kacamata hitam yang menutupi mata indahnya, hanya hidung mancung dan bibir tipis yang terlihat begitu menawan. Kulit putih yang menyilaukan saat sang surya menyoroti cahaya pada tubuhnya.
Tidak ingin kalah angin pun ikut menyambut kedatangannya menerpa rambut hitam lebatnya yang terayun-ayun. Tas gendong hitam melengkapi gayanya yang melekat di pundak kanan itu.
Perlahan kaki jenjang itu menuruni anak tangga yang sudah di siapkan, berjalan lebih dalam memasuki gedung besar yang di kelilingi dinding kaca.
Sesampainya di dalam, kacamata itu ia lepaskan, membuat siapapun akan terpana melihat pupil indah yang tersembunyi dalam lautan biru yang cerah. Alis hitam tebal menambah kesempurnaan betapa tampan ciptaanmu Tuhan.
Bibirnya melengkung seketika saat netra itu menangkap kedua sosok yang berjalan ke arahnya.
"Mama, papa," ucapnya lalu berlari menghampiri mereka.
"Masyaallah Yusuf."
Satu pelukan mendarat pada tubuh wanita itu. Begitu hangat, kedua tangannya merenggang, untuk meraih dan memeluk tubuh sang putra yang ia rindukan.
Di usapnya punggung itu dengan perlahan, bersamaan dengan itu sebuah cairan bening menetes pada sudut mata yang terpejam.
Sedih dan bahagia itulah yang di rasakan Marwah, setelah bertahun-tahun terpisah dari sang anak yang harus menempuh pendidikan di negeri Cairo-Mesir.
Begitupun juga dengan Yusuf, yang sangat merindukan hingga tidak rela melepas pelukannya.
"Ma, gantian Papa juga ingin memeluk Yusuf."
Setelah Marwan berkata, barulah pelukan keduanya terlepas. Bersamaan dengan itu tangan keduannya mengusap lembut air mata yang telah turun.
"Papa?" panggil Yusuf, lalu memeluk Marwan.
Marwan hanya menepuk-nepuk punggung lebar putranya, lalu tersenyum. Namun, bukan berarti air mata tidak turun sebagai ayah Marwan pun tidak sanggup menahan tangis.
Anak lelaki satu-satunya yang selalu ia banggakan. Kini telah kembali dengan prestasinya. Memang, kedatangan Yusuf sangatlah mendadak, entah ada apa tiba-tiba Marwan, meminta putranya untuk pulang.
"Bagaimana kabarmu Nak?" tanya Marwan, setelah melepas pelukannya.
"Alhamdulillah baik Pah. Bagaimana kabar Papa dan Mama? Kalian sehat?"
"Alhamdulillah, sehat Nak," jawab Marwan dan Marwah serempak.
"Tunggu dulu," ucap Yusuf yang melirik ke sekitarnya seperti sedang mencari seseorang.
"Dimana Hawa? Dia tidak ikut?" Yusuf menatap kedua orangtuanya yang hanya menggeleng.
"Padahal aku ingin bertemu dan melihat adikku itu. Seperti apa dia sekarang? Apa tubuhnya tinggi? Apa adikku cantik?"
"Nanya satu-satu." Kata Marwah, seraya mencubit lembut bahu putranya.
"Mama, aku bukan Yusuf kecil lagi yang selalu di cubit." Seketika kedua orangtuanya terkekeh mendengar ocehan putranya.
"Sudah-sudah. Sekarang kita pulang. Kamu pasti capek 'kan?"
Yusuf langsung mengangguk. Mereka semua berjalan bersama meninggalkan bandara.
*****
Yusuf terus memandangi jalanan kota yang semakin berubah karena perkembangnya zaman. Jalan yang semula lenglang kini menjadi padat dan macet.
Taman-taman kota kini berjajar rapi menghias jalanan menjadi lebih hijau, segar dan sejuk. Namun, tetap saja gerah dan gersang semakin terasa akibat pencemaran polusi udara.
Gedung-gedung tinggi kini semakin banyak dan berdempetan menghimpit rumah-rumah penduduk. Jalanan semakin luas, dan semakin banyak persimpangan arah.
Sungguh sangat berbeda dengan zamannya dulu, sebelum dirinya meninggalkan tanah air.
Marwah dan Marwan menengok ke belakang. Sedetik bibirnya melengkung, melihat Yusuf yang terus menatap jendela mobil.
"Tidak pegal leher kamu Nak? Melihat ke samping terus."
Yusuf langsung menoleh, dan merubah posisi duduknya. Lebih tegak menghadap kedua orangtuanya yang duduk di depan.
"Serasa berbeda saja Mah, Pah," ucapnya.
"Bagaimana di Cairo Suf?" tanya Marwah, yang hanya melihat bayangan Yusuf dalam cermin.
"Tidak di Cairo ataupun Jakarta, semua sama. Perkembangan zaman sangat pesat. Negara manapun tidak ingin tertinggal. Mereka semua mengikuti kemana zaman akan membawanya."
Yusuf menghela nafas sejenak.
"Ya, kamu benar Suf." Marwan menimpali.
"Jangankan Jakarta, kamu bisa lihat Timur Tengah, kota A bagaimana sekarang? Kota nabi yang dulu sangat ketat, pada aturan agama. Contoh yang kecil saja, dulu … para muslim wanita tidak sedikitpun membuka cadarnya apalagi pakaian, atau hijab mereka. Bahkan ke pantai sekalipun mereka selalu menutup aurat. Tapi sekarang … pantai itu di penuhi wanita bertelanjang, seolah mereka tidak malu lagi untuk memamerkan auratnya."
Yusuf hanya mangut-mangut membenarkan perkataan sang ayah.
"Ya, Papa memang benar. Sekarang dunia sudah berubah, zaman semakin maju. Itu yang harus kita takutkan. Semakin majunya zaman, semakin rendahnya iman kita. Tidak sedikit kesalahan dan kebenaran yang tertukar. Perbuatan salah di benarkan, dan yang benar di salahkan. Ada juga di antara mereka yang menjual Aqidah demi harta. Naudzubillah, semoga iman kita selalu di kuatkan ya Mah, Pah?"
"Aamiin," jawab Marwah dan Marwan bersamaan.
"Itulah sebabnya Mama dan Papa memasukan Hawa ke pondok pesantren. Pergaulan yang bebas membuat Mama khawatir."
"Jadi Hawa mondok?"
Yusuf sedikit terkejut, mendengar adiknya masuk pesantren. Dirinya pikir Hawa tidak ikut karena sekolah, dan Yusuf merasa aneh. Karena Hawa, bisa saja bolos jika tahu bahwa akan bertemu kakaknya.
"Iya, baru satu bulan."
"Alhamdulillah," syukur Yusuf. "Yusuf senang, Mama Papa sudah melakukan yang terbaik. Kalau boleh tahu mondok di mana Mah?"
"Pesantren An-nur."
"Tempat mondok ku dulu Ma?" Marwah pun mengangguk.
"Masyaallah, rindu aku bagaimana kabar pak Kiyai sama Ummi?"
"Alhamdulillah baik, nanti kita ke sana sekalian jenguk Hawa," ajak Marwah, sudah pasti Yusuf senang mendengarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Yuli Purwa
Aku kok ga diajakin jemput thor 🤣🤣
2023-05-23
0