Bab 16- Belajar Bersyukur

Di sebuah dapur seorang santri sedang mengiris beberapa sayuran sambil duduk. Sayuran itu ia letakan di atas meja. Dengan ekspresi bibir mencebik, gerakan tangan malas menuntun pisau itu untuk memotong sebuah wortel. 

Seorang wanita yang biasa di panggil Ummi sedang berdiri menghadap kompor yang menyala. Tangan kanannya mengaduk-ngaduk masakan di dalam wajan dengan spatula. 

Bibirnya tersenyum setelah menghirup aroma masakan yang sedang ia olah. Sepertinya masakan itu sangat lezat hingga menghipnotis dirinya. 

"Hawa, sudah selesai iris wortelnya sayang?" panggil Ummi pada seorang santri yang mengiris wortel. Sepertinya Ummi akan memasak sop setelah masakan pertama selesai.

Merasa tidak ada jawaban Ummi pun menoleh, melihat Hawa yang terus menunduk. Hanya sekilas senyum yang ia pancarkan, lalu melangkah mendekati Hawa. 

"Hawa?" panggil Ummi sebelum akhirnya mata bulat itu melebar sempurna karena melihat potongan wortel yang begitu besar. Namun, tidak sedikitpun ia marah. Yang di lakukannya hanya menghela nafas panjang.

"Hawa, ini terlalu besar, sini Ummi ajarkan." 

Ummi Khodijah langsung mengambil pisau yang terhimpit di abtara jari-jari Hawa, juga sebuah alas untuk memotong yang terbuat dari kayu. 

Tangannya mulai bergerak, memotong wortel setipis mungkin, berbeda dengan Hawa, sangat tebal mungkin akan sangat lama untuk matang. 

"Nah, seperti ini." 

"Ya sudah, kalau begitu Ummi saja yang potong. Kan Hawa sudah bilang tidak bisa!" ketus Hawa, yang tidak ada sopan santunnya sama sekali. 

Tetapi Ummi, tidak sedikitpun merasa benci atau marah. Dalam situasi seperti ini ia masih bisa tersenyum.

"Wajar, karena masih belajar. Ummi tidak marah. Biar Ummi saja yang lanjutkan tapi Ummi boleh minta tolong? Matikan kompor ya sayang." 

Lembutnya Ummi, membuat Hawa tidak bisa membantah. Walaupun wajahnya terlihat gusar, tetapi Hawa tetap menjalankan perintah Ummi. 

Hawa, bangun dari kursi yang di isi langsung oleh Ummi. Setelah mendekati kompor api pun di matikan. Bau masakan yang begitu menggugah selera, membuat Hawa ingin mengintip apa sih yang ada dalam wajan? 

Sedetik kepalanya menyembul ke depan, saat di lihat ternyata yang ada dalam wajan adalah ikan nila pesmol. Tentu saja tertarik dan ingin menyantapnya. 

Namun, bibirnya kembali mencebik teringat jika dirinya makan tidak dengan yang enak-enak dan sangat membosankan. 

Hawa kembali mendekati Ummi mungkin dia akan protes. 

"Ummi?" 

"Iya?" 

"Ummi masak ikan pesmol? Kok gitu sih, setiap hari kami di sini makan tidak pernah dengan ikan. Paling ayam goreng terus, sayur lagi, dan tahu tempe." 

Benar, ternyata Hawa sedang mengeluh tentang makanannya sehari-hari. 

"Kamu suka ikan pesmol?" tanya Ummi dengan lembut, Hawa langsung mengangguk.

"Duduklah," titah Ummi Hawapun duduk di kursi kosong samping Ummi.

"Pak Kiyai yang sedang mau makan ikan, jadi Ummi masak. Kalau untuk para santri ada khusus yang memasaknya bukan Ummi. Kamu bilang makan sama daging ayam terus, bukannya enak?" 

"Enak sih tapi bosan." 

"Kamu mau makan sama ikan hari ini?" 

"Boleh." 

"Nanti sore kita makan sama-sama ya?"

"Serius? Aku makan di sini?" 

"Iya, karena kamu udah bantu Ummi." 

"Makasih Ummi." 

"Sama-sama." 

Hawa begitu senang hingga tersenyum lebar. Merekapun menjadi dekat dan saling mengobrol. Menanyakan kesukaan masing-masing dan bercerita. 

Tanpa mereka tahu ada kedua lelaki yang memperhatikan dari arah pintu, lelaki itu tidak lain adalah Adam dan Kiyai. 

Kiyai sekarang tahu apa yang diinginkan Hawa, ternyata Hawa hanya butuh seorang teman, yang mengerti dan memanjakannya. Bukan orang yang selalu memarahinya. 

Mungkin karena Hawa, selalu di marahi ayahnya, di tambah dengan pergaulan bebas yang merubah sikap dan akhlaknya. Padahal Hawa hanya butuh perhatian bukan hanya bimbingan.

"Ummi ternyata pandai dalam merayu ya? Jika di rumah ini ada anak gadis mungkin Ummi akan senang, setiap hari ada teman ngobrol," ujar Kiyai, tapi tidak dengan Adam, yang sedikit marah karena Hawa, bersikap tidak sopan pada ibunya.

"Bisa-bisanya Ummi masih tersenyum. Apa Abi tidak lihat? Baru saja anak itu tidak sopan pada Ummi." 

"Apa salahnya? Senyumkan ibadah," Kiyai menimpali. 

"Lihat saja Hawa luluh sama Ummi. Tidak harus dengan kekerasan, ketegasan, apalagi di bentak-bentak. Masih ada cara lain untuk mengajarkan seseorang agar nurut, yaitu dengan kelembutan seperti yang Ummi lakukan. Belajarlah dari Ummi ya Adam." 

Adam hanya diam saat Kiyai menyentuh lembut pundaknya sambil tersenyum. 

"Abi mau telepon pak Marwan, menyampaikan kabar baik ini." 

Kiyai pun berlenggang pergi meninggalkan Adam yang masih diam berdiri sebelum akhirnya ikut melangkah pergi. 

Hawa, dan Ummi sudah selesai memasak. Banyak sekali menu yang mereka hidangkan. Lalu Ummi menuangkan nasi bersama lauk pauknya ke dalam sebuah rantang hingga penuh. 

"Ummi itu untuk Hawa? Bukannya Hawa akan makan di sini ya Ummi?" 

"Bukan." 

"Lalu?" 

"Nanti kamu juga tahu." 

Ummi menutup rantang rapat-rapat lalu memasukannya ke dalam sebuah paper bag. Tidak lupa dengan aneka jenis sembako yang ia masukan ke dalam paper bag lagi. 

"Hawa, bisa bawakan ini?" Hawa menerima satu paper bag tanpa menawar.

"Ayo ikut Ummi." 

Mereka pun berjalan keluar, Hawa hanya mengikuti Ummi entah kemana Ummi akan membawanya. Bahkan kini mereka sudah melewati gerbang pondok mendekati rumah penduduk.

Bukankah seharusnya Hawa senang? Karena itu akan menjadi kesempatannya untuk kabur lagi. Namun, sepertinya Hawa tidak berminat kali ini, ia tetap fokus dan diam seraya mengikuti Ummi. 

Tidak berselang lama, langkah mereka terhenti di depan sebuah rumah gubuk reot yang bisa roboh kapanpun. Hawa hanya celingak-celinguk menatap rumah itu. 

Lingkungan yang kotor, kumuh, dan sempit. Mungkin Hawa tidak akan masuk ke dalam rumah itu, tetapi di luar dugaan, Hawa masih tetap mengikuti Ummi. 

"Assalamualaikum," ucap Ummi, memberi salam. 

Kebetulan pintu rumah terbuka memperlihatkan keadaan di dalam yang bersih, luas karena tidak ada barang apapun. Yang terlihat hanyalah sebuah kasur lepek yang membentang pada permukaan lantai. Satu lemari kayu yang juga sudah rusak dan satu alas tikar untuk mereka duduki. 

"Waalaikumsalam," jawab seorang pria dari dalam.

Pria yang sederhana hanya memakai koko, peci, dan celana panjang. Dari jauh pria itu sudah tersenyum melihat Ummi yang datang. 

"Bu khodijah? Silahkan masuk." 

"Tidak usah pak, kami duduk di sini saja." 

Ummi pun duduk di atas hamparan dipan bilik. Hawa, terlihat ragu untuk duduk takut jika dipan itu akan roboh. Jadi Hawa memilih untuk berdiri. 

"Bu khodijah, tunggu sebentar saya panggilkan istri saya dulu." 

"Tidak usah pak kami hanya sebentar." 

"Oh begitu, ada apa ya Bu?" 

"Ini saya hanya ingin mengantarkan ini." Ummi memberikan kedua paper bag tadi kepada lelaki itu. Namun lelaki itu mencoba menolak. 

"Ini apa Bu? Tidak usah repot-repot."

"Seperti biasa, ada sembako dan makanan kebetulan saya masak banyak hari ini." 

"Ya Allah makasih Bu, alhamdulillah." 

Lelaki itu menerima dengan senang hati, merasa bersyukur karena Allah mengirimkan rezeki untuknya lewat Khodijah.  

Jika di tanya sudah makan atau belum? Lelaki itu akan menjawab sudah, padahal satu suap nasi pun belum mengisi perutnya. Namun, pria itu tetap bersyukur dan sabar menjalani hidupnya tanpa meminta pada orang lain. 

Bukan dia tidak bekerja, hanya saja pekerjaan sebagai marbot mesjid tidaklah besar gajihnya. Dalam sebulan hanya 500 ribu yang bisa di berikan pada istrinya. Dan alhamdulillah sang istri mensyukuri semua itu. 

"Semoga bermanfaat ya Pak?" 

"Terimakasih semoga Bu Khodijah selalu di lancarkan rezekinya dan selalu di sehatkan."

"Aamiin, saya permisi dulu Pak." Lelaki itu pun mengangguk.

*****

"Ummi maaf itu tadi siapa? Saudara?" 

Ummi hanya menggeleng. Sejenak mereka menghentikan langkahnya, berbalik menghadap rumah gubuk tadi. Walau jauh masih tetap terlihat apa yang sedang di lakukan oleh penghuni rumah itu.

"Kamu tadi bilang pada Ummi, makan di pondok sangat bosan, walaupun dengan daging ayam setiap hari. Coba kamu lihat pria tadi, dia dan istrinya bahkan tidak makan dalam sehari, mungkin lebih. Tapi mereka tetap mensyukuri apa yang mereka dapatkan bukan mengeluh." 

"Seharusnya kamu bersyukur, karena masih bisa makan enak setiap hari. Pahamkan maksud Ummi?" 

Hawa, hanya diam dan mengangguk. 

...----------------...

Terpopuler

Comments

Zaka Jack

Zaka Jack

harus seperti itu.. beda mendidik cewek ama cowok🙏

2023-11-28

0

Yuli Purwa

Yuli Purwa

contoh nyata lbh baik drpd ceramah ya umi

2023-05-23

2

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 } Hawa
2 Masuk pondok
3 Hari pertama
4 Bab 4} Kedatangan Adam
5 Bab 5
6 Bab 6
7 Bab 7
8 Bab 8
9 Bab 9
10 Bab 10
11 Bab 11- Contekan Hawa.
12 Bab 12- Nonton konser
13 Bab 13- Gagal nonton.
14 Bab 14- Kedatangan Yusuf
15 Bab 15- Membantu Ummi memasak
16 Bab 16- Belajar Bersyukur
17 Bab 17- Mengajar
18 Bab 18- Tips menghapal
19 Bab 19-
20 Bab 20- Tabayyun
21 Bab 21- Berteman itu Indah
22 Bab 22- Bendera Kuning
23 Bab 23- Kabar Duka
24 Bab 24- Bertemu Gio
25 Bab 25- Amarah Yusuf
26 Bab 26- Kembali mondok
27 Bab 27- Permintaan Yusuf
28 Bab 28- Berserah Diri
29 Bab 29- Hasil Istikhoroh
30 Bab 30- Fitnah
31 Bab 31- Fitnah semakin menyebar
32 Bab 32- Sesuatu mengejutkan.
33 Bab 33- Gio Tertangkap
34 Bab 34-
35 Bab 35- Terungkap siapa di balik teror
36 Bab 36- Suka Duka di Kantor Polisi
37 Bab 37- Perjodohan
38 Bab 38- Di Khitbah
39 Bab 39- Naik Motor
40 Bab 40- Kegelisahan Adam
41 Bab 41- Potret Berdua
42 Bab- 42- Menikah
43 Bab 43- Malam Pertama
44 Bab44- Pagi Yang Mendebarkan
45 Bab 45- Pergi Honeymoon
46 Bab 46- Gara-gara Burung
47 Bab 47 Sinyal cinta
48 Bab 48-
49 Bab- 49 Malam Sunnah
50 Bab 50- Kebingungan Asma
51 Bab 51- Makan berdua.
52 Bab 52- Tamu Bulanan
53 Bab 53- Cemburu
54 Bab 54- Ungkapan Cinta
55 Bab 55
56 Bab 56- Jejak Cinta
57 Bab 57
58 Bab 58-
59 Bab 59
60 Bab 60
61 Bab 61-
62 Bab 62
63 Bab 63
64 Bab 64
65 Bab 65
66 Bab 66- Aborsi
67 Bab 67
68 Bab 68
69 Bab 69
70 Bab 70
71 Bab 71
72 Bab 72
73 Bab 73
74 Bab 74
75 Bab 75
76 Bab 76
77 Bab 77
78 Bab 78
79 Bab 79
80 Bab 80
81 Bab 81
82 Bab 82
83 Bab 83
84 The End
85 Pengumuman
86 Novel On Going
87 Badboy Untuk Tiara
88 Reveal Death Iseul
Episodes

Updated 88 Episodes

1
Bab 1 } Hawa
2
Masuk pondok
3
Hari pertama
4
Bab 4} Kedatangan Adam
5
Bab 5
6
Bab 6
7
Bab 7
8
Bab 8
9
Bab 9
10
Bab 10
11
Bab 11- Contekan Hawa.
12
Bab 12- Nonton konser
13
Bab 13- Gagal nonton.
14
Bab 14- Kedatangan Yusuf
15
Bab 15- Membantu Ummi memasak
16
Bab 16- Belajar Bersyukur
17
Bab 17- Mengajar
18
Bab 18- Tips menghapal
19
Bab 19-
20
Bab 20- Tabayyun
21
Bab 21- Berteman itu Indah
22
Bab 22- Bendera Kuning
23
Bab 23- Kabar Duka
24
Bab 24- Bertemu Gio
25
Bab 25- Amarah Yusuf
26
Bab 26- Kembali mondok
27
Bab 27- Permintaan Yusuf
28
Bab 28- Berserah Diri
29
Bab 29- Hasil Istikhoroh
30
Bab 30- Fitnah
31
Bab 31- Fitnah semakin menyebar
32
Bab 32- Sesuatu mengejutkan.
33
Bab 33- Gio Tertangkap
34
Bab 34-
35
Bab 35- Terungkap siapa di balik teror
36
Bab 36- Suka Duka di Kantor Polisi
37
Bab 37- Perjodohan
38
Bab 38- Di Khitbah
39
Bab 39- Naik Motor
40
Bab 40- Kegelisahan Adam
41
Bab 41- Potret Berdua
42
Bab- 42- Menikah
43
Bab 43- Malam Pertama
44
Bab44- Pagi Yang Mendebarkan
45
Bab 45- Pergi Honeymoon
46
Bab 46- Gara-gara Burung
47
Bab 47 Sinyal cinta
48
Bab 48-
49
Bab- 49 Malam Sunnah
50
Bab 50- Kebingungan Asma
51
Bab 51- Makan berdua.
52
Bab 52- Tamu Bulanan
53
Bab 53- Cemburu
54
Bab 54- Ungkapan Cinta
55
Bab 55
56
Bab 56- Jejak Cinta
57
Bab 57
58
Bab 58-
59
Bab 59
60
Bab 60
61
Bab 61-
62
Bab 62
63
Bab 63
64
Bab 64
65
Bab 65
66
Bab 66- Aborsi
67
Bab 67
68
Bab 68
69
Bab 69
70
Bab 70
71
Bab 71
72
Bab 72
73
Bab 73
74
Bab 74
75
Bab 75
76
Bab 76
77
Bab 77
78
Bab 78
79
Bab 79
80
Bab 80
81
Bab 81
82
Bab 82
83
Bab 83
84
The End
85
Pengumuman
86
Novel On Going
87
Badboy Untuk Tiara
88
Reveal Death Iseul

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!