Di sebuah dapur seorang santri sedang mengiris beberapa sayuran sambil duduk. Sayuran itu ia letakan di atas meja. Dengan ekspresi bibir mencebik, gerakan tangan malas menuntun pisau itu untuk memotong sebuah wortel.
Seorang wanita yang biasa di panggil Ummi sedang berdiri menghadap kompor yang menyala. Tangan kanannya mengaduk-ngaduk masakan di dalam wajan dengan spatula.
Bibirnya tersenyum setelah menghirup aroma masakan yang sedang ia olah. Sepertinya masakan itu sangat lezat hingga menghipnotis dirinya.
"Hawa, sudah selesai iris wortelnya sayang?" panggil Ummi pada seorang santri yang mengiris wortel. Sepertinya Ummi akan memasak sop setelah masakan pertama selesai.
Merasa tidak ada jawaban Ummi pun menoleh, melihat Hawa yang terus menunduk. Hanya sekilas senyum yang ia pancarkan, lalu melangkah mendekati Hawa.
"Hawa?" panggil Ummi sebelum akhirnya mata bulat itu melebar sempurna karena melihat potongan wortel yang begitu besar. Namun, tidak sedikitpun ia marah. Yang di lakukannya hanya menghela nafas panjang.
"Hawa, ini terlalu besar, sini Ummi ajarkan."
Ummi Khodijah langsung mengambil pisau yang terhimpit di abtara jari-jari Hawa, juga sebuah alas untuk memotong yang terbuat dari kayu.
Tangannya mulai bergerak, memotong wortel setipis mungkin, berbeda dengan Hawa, sangat tebal mungkin akan sangat lama untuk matang.
"Nah, seperti ini."
"Ya sudah, kalau begitu Ummi saja yang potong. Kan Hawa sudah bilang tidak bisa!" ketus Hawa, yang tidak ada sopan santunnya sama sekali.
Tetapi Ummi, tidak sedikitpun merasa benci atau marah. Dalam situasi seperti ini ia masih bisa tersenyum.
"Wajar, karena masih belajar. Ummi tidak marah. Biar Ummi saja yang lanjutkan tapi Ummi boleh minta tolong? Matikan kompor ya sayang."
Lembutnya Ummi, membuat Hawa tidak bisa membantah. Walaupun wajahnya terlihat gusar, tetapi Hawa tetap menjalankan perintah Ummi.
Hawa, bangun dari kursi yang di isi langsung oleh Ummi. Setelah mendekati kompor api pun di matikan. Bau masakan yang begitu menggugah selera, membuat Hawa ingin mengintip apa sih yang ada dalam wajan?
Sedetik kepalanya menyembul ke depan, saat di lihat ternyata yang ada dalam wajan adalah ikan nila pesmol. Tentu saja tertarik dan ingin menyantapnya.
Namun, bibirnya kembali mencebik teringat jika dirinya makan tidak dengan yang enak-enak dan sangat membosankan.
Hawa kembali mendekati Ummi mungkin dia akan protes.
"Ummi?"
"Iya?"
"Ummi masak ikan pesmol? Kok gitu sih, setiap hari kami di sini makan tidak pernah dengan ikan. Paling ayam goreng terus, sayur lagi, dan tahu tempe."
Benar, ternyata Hawa sedang mengeluh tentang makanannya sehari-hari.
"Kamu suka ikan pesmol?" tanya Ummi dengan lembut, Hawa langsung mengangguk.
"Duduklah," titah Ummi Hawapun duduk di kursi kosong samping Ummi.
"Pak Kiyai yang sedang mau makan ikan, jadi Ummi masak. Kalau untuk para santri ada khusus yang memasaknya bukan Ummi. Kamu bilang makan sama daging ayam terus, bukannya enak?"
"Enak sih tapi bosan."
"Kamu mau makan sama ikan hari ini?"
"Boleh."
"Nanti sore kita makan sama-sama ya?"
"Serius? Aku makan di sini?"
"Iya, karena kamu udah bantu Ummi."
"Makasih Ummi."
"Sama-sama."
Hawa begitu senang hingga tersenyum lebar. Merekapun menjadi dekat dan saling mengobrol. Menanyakan kesukaan masing-masing dan bercerita.
Tanpa mereka tahu ada kedua lelaki yang memperhatikan dari arah pintu, lelaki itu tidak lain adalah Adam dan Kiyai.
Kiyai sekarang tahu apa yang diinginkan Hawa, ternyata Hawa hanya butuh seorang teman, yang mengerti dan memanjakannya. Bukan orang yang selalu memarahinya.
Mungkin karena Hawa, selalu di marahi ayahnya, di tambah dengan pergaulan bebas yang merubah sikap dan akhlaknya. Padahal Hawa hanya butuh perhatian bukan hanya bimbingan.
"Ummi ternyata pandai dalam merayu ya? Jika di rumah ini ada anak gadis mungkin Ummi akan senang, setiap hari ada teman ngobrol," ujar Kiyai, tapi tidak dengan Adam, yang sedikit marah karena Hawa, bersikap tidak sopan pada ibunya.
"Bisa-bisanya Ummi masih tersenyum. Apa Abi tidak lihat? Baru saja anak itu tidak sopan pada Ummi."
"Apa salahnya? Senyumkan ibadah," Kiyai menimpali.
"Lihat saja Hawa luluh sama Ummi. Tidak harus dengan kekerasan, ketegasan, apalagi di bentak-bentak. Masih ada cara lain untuk mengajarkan seseorang agar nurut, yaitu dengan kelembutan seperti yang Ummi lakukan. Belajarlah dari Ummi ya Adam."
Adam hanya diam saat Kiyai menyentuh lembut pundaknya sambil tersenyum.
"Abi mau telepon pak Marwan, menyampaikan kabar baik ini."
Kiyai pun berlenggang pergi meninggalkan Adam yang masih diam berdiri sebelum akhirnya ikut melangkah pergi.
Hawa, dan Ummi sudah selesai memasak. Banyak sekali menu yang mereka hidangkan. Lalu Ummi menuangkan nasi bersama lauk pauknya ke dalam sebuah rantang hingga penuh.
"Ummi itu untuk Hawa? Bukannya Hawa akan makan di sini ya Ummi?"
"Bukan."
"Lalu?"
"Nanti kamu juga tahu."
Ummi menutup rantang rapat-rapat lalu memasukannya ke dalam sebuah paper bag. Tidak lupa dengan aneka jenis sembako yang ia masukan ke dalam paper bag lagi.
"Hawa, bisa bawakan ini?" Hawa menerima satu paper bag tanpa menawar.
"Ayo ikut Ummi."
Mereka pun berjalan keluar, Hawa hanya mengikuti Ummi entah kemana Ummi akan membawanya. Bahkan kini mereka sudah melewati gerbang pondok mendekati rumah penduduk.
Bukankah seharusnya Hawa senang? Karena itu akan menjadi kesempatannya untuk kabur lagi. Namun, sepertinya Hawa tidak berminat kali ini, ia tetap fokus dan diam seraya mengikuti Ummi.
Tidak berselang lama, langkah mereka terhenti di depan sebuah rumah gubuk reot yang bisa roboh kapanpun. Hawa hanya celingak-celinguk menatap rumah itu.
Lingkungan yang kotor, kumuh, dan sempit. Mungkin Hawa tidak akan masuk ke dalam rumah itu, tetapi di luar dugaan, Hawa masih tetap mengikuti Ummi.
"Assalamualaikum," ucap Ummi, memberi salam.
Kebetulan pintu rumah terbuka memperlihatkan keadaan di dalam yang bersih, luas karena tidak ada barang apapun. Yang terlihat hanyalah sebuah kasur lepek yang membentang pada permukaan lantai. Satu lemari kayu yang juga sudah rusak dan satu alas tikar untuk mereka duduki.
"Waalaikumsalam," jawab seorang pria dari dalam.
Pria yang sederhana hanya memakai koko, peci, dan celana panjang. Dari jauh pria itu sudah tersenyum melihat Ummi yang datang.
"Bu khodijah? Silahkan masuk."
"Tidak usah pak, kami duduk di sini saja."
Ummi pun duduk di atas hamparan dipan bilik. Hawa, terlihat ragu untuk duduk takut jika dipan itu akan roboh. Jadi Hawa memilih untuk berdiri.
"Bu khodijah, tunggu sebentar saya panggilkan istri saya dulu."
"Tidak usah pak kami hanya sebentar."
"Oh begitu, ada apa ya Bu?"
"Ini saya hanya ingin mengantarkan ini." Ummi memberikan kedua paper bag tadi kepada lelaki itu. Namun lelaki itu mencoba menolak.
"Ini apa Bu? Tidak usah repot-repot."
"Seperti biasa, ada sembako dan makanan kebetulan saya masak banyak hari ini."
"Ya Allah makasih Bu, alhamdulillah."
Lelaki itu menerima dengan senang hati, merasa bersyukur karena Allah mengirimkan rezeki untuknya lewat Khodijah.
Jika di tanya sudah makan atau belum? Lelaki itu akan menjawab sudah, padahal satu suap nasi pun belum mengisi perutnya. Namun, pria itu tetap bersyukur dan sabar menjalani hidupnya tanpa meminta pada orang lain.
Bukan dia tidak bekerja, hanya saja pekerjaan sebagai marbot mesjid tidaklah besar gajihnya. Dalam sebulan hanya 500 ribu yang bisa di berikan pada istrinya. Dan alhamdulillah sang istri mensyukuri semua itu.
"Semoga bermanfaat ya Pak?"
"Terimakasih semoga Bu Khodijah selalu di lancarkan rezekinya dan selalu di sehatkan."
"Aamiin, saya permisi dulu Pak." Lelaki itu pun mengangguk.
*****
"Ummi maaf itu tadi siapa? Saudara?"
Ummi hanya menggeleng. Sejenak mereka menghentikan langkahnya, berbalik menghadap rumah gubuk tadi. Walau jauh masih tetap terlihat apa yang sedang di lakukan oleh penghuni rumah itu.
"Kamu tadi bilang pada Ummi, makan di pondok sangat bosan, walaupun dengan daging ayam setiap hari. Coba kamu lihat pria tadi, dia dan istrinya bahkan tidak makan dalam sehari, mungkin lebih. Tapi mereka tetap mensyukuri apa yang mereka dapatkan bukan mengeluh."
"Seharusnya kamu bersyukur, karena masih bisa makan enak setiap hari. Pahamkan maksud Ummi?"
Hawa, hanya diam dan mengangguk.
...----------------...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Zaka Jack
harus seperti itu.. beda mendidik cewek ama cowok🙏
2023-11-28
0
Yuli Purwa
contoh nyata lbh baik drpd ceramah ya umi
2023-05-23
2