Hawa, mengikat jilbabnya ke belakang, kedua kaki yang mengenakan celana panjang langsung berpijak pada batang pohon jambu yang begitu besar. Dengan hati-hati dan perlahan Hawa, menaiki pohon jambu itu agar bisa sampai pada dinding tembok yang tinggi. Namun, saat Hawa, akan kembali mengayunkan langkahnya tiba-tiba,
"Ngapain kamu!"
Suara bariton terdengar keras membuat Hawa, menghentikan langkahnya. Hawa, pun membalikan tubuhnya untuk melihat siapa yang datang. Mata Hawa, terbelalak mulutnya menganga lebar saat melihat Adam, di bawah sana.
'Ish, dia lagi-dia lagi' umpat Hawa dalam hati.
"Hey, turun!" bentak Adam, mengejutkan Hawa, hingga kakinya tergelincir karena hilang keseimbangan.
Tubuh Hawa, pun terjatuh. Beruntung Adam, yang berada di bawah saat itu langsung memangku tubuhnya. Hingga mata keduanya saling bertemu. Seketika Adam, pun tersadar dan langsung menjatuhkan Hawa.
Aww … ringis Hawa, saat tubuhnya mendarat di atas tanah.
"Pak ustadz kok malah di jatuhin, sakit tahu." gerutu Hawa, yang mengelus pantatnya.
"Maaf, bukan muhrim," jawab Adam, yang memalingkan wajahnya.
"Dasar cowok kuno. Memangnya tubuh ku guling apa bisa di jatuhin begitu saja. Kira-kira dong di bawah itu tanah bukan kasur!" Hawa, terus menggerutu.
"Kamu mau kabur ya hah! Kaya kemarin loncat dari sini benar begitu?" Adam, berkacak pinggang sambil menatap Hawa, tajam.
"Siapa bilang suudzon saja. Tadi tuh aku mau ambil jambu makannya aku naik." Hawa beralasan.
"Beralasan saja, ikut saya!" ketus Adam, yang berbicara sangat dingin.
"Kemana?"
"Ikuti saja cepat!" Mau tak mau Hawa, pun mengikuti Adam.
****
Hawa, duduk seraya menunduk, saat semua mata tertuju padanya. Saat ini Hawa, berada di rumah kiyai, seperti akan di sidang Hawa, harus berhadapan dengan Kiyai Abdullah, Ummi, Adam, dan Ustadzah pemimpin asrama putri. Mereka menatap Hawa, tajam kecuali kiyai dan ummi yang masih bisa tersenyum.
"Hawa, jika kamu ingin buah jambu tinggal bilang saja, tidak perlu naik ke atas pohon. Nanti biar pak ujang yang mengurus kebun yang mengambilkan," ujar Kiyai, begitu tenang.
"Alah, paling mau kabur." skak Ustadzah Lulung sebagai pemimpin asrama putri. Hawa, hanya mencebik, kan bibirnya.
"Hawa, lihat Ummi sayang." Hawa, mendongak mendengar perkataan lembut dari Ummi. "Kamu mau pergi? Apa kamu mau pulang? Jika kamu ingin pulang bicaralah pada Ummi, atau Kiyai, biar nanti kami menghubungi orangtuamu tidak perlu kabur, atau pergi diam-diam seperti itu. Apa lagi sampai manjat-manjat pohon itu bahaya."
"Kalau bilang papa sama saja bohong!" batin Hawa.
"Hawa, kedua orangtua mu sudah memberikan tanggung jawabmu pada kami, apa pun yang terjadi disini adalah tanggung jawab kami." Kiyai, tahu jika Hawa, masih belum bisa beradaptasi dengan lingkungannya yang baru apalagi di kota santri ini yang jauh dari kehidupannya di kota.
"Kamu harus menuruti peraturan disini. Jika kamu mencoba untuk kabur lagi saya akan bertindak tegas." Kiyai, berbicara lebih tegas agar Hawa, merasakan takut pada orang yang lebih tua apalagi pada gurunya. Mungkin pergaulan Hawa, di kota yang membuatnya tidak sopan dalam bersikap, sehingga Hawa, selalu membangkang pada orang lain terutama orang yang lebih tua.
"Adam," panggil Kiyai
"Iya Aby," sahut Adam.
"Mulai sekarang, Aby pasrahkan Hawa, padamu. Semoga kamu bisa menjadi guru yang baik untuknya."
"Insya Allah Aby."
"Hawa, mulai sekarang ustadz Adam, adalah gurumu, jadi kamu harus turuti semua perkataannya." perintah Kiyai.
Karena, Kiyai sudah sangat lelah mendengar keluhan-keluhan dari para guru tentang kenakalan Hawa. Bahkan, di saat belajar pun Hawa, tetap nakal tidak pernah nurut atau mendengarkan gurunya. Oleh karena itu Kiyai, menunjuk Adam putranya untuk membimbing Hawa.
Sebagaimana pengalaman Adam, yang telah banyak mengajar anak-anak di negri kairo mesir. Apalagi Adam, yang cukup tegas pada semua muridnya.
"Sebagai hukumanmu kamu harus menghapal surat Al-baqoroh setiap harinya." Hawa, membelalakan matanya ketika di perintahkan menghapal surat yang di pinta Adam. Jangankan Al-baqoroh surat An-nas saja dia sering lupa. Namun Hawa, tetap gengsi dan tidak mau jika Adam, meremehkannya hanya karena tidak bisa menghapal surat Al-baqoroh.
"Berapa ayat?" tanya Hawa, enteng. Adam, mengerutkan keningnya.
"Setiap harinya kamu harus setor minimal 10 ayat, dengan begitu dalam sebulan setoran ayatmu lunas. Mengerti!"
"Mampus, sepuluh ayat, satu dua ayat sih gak apa-apa tapi ini sepuluh ayat sehari," batin Hawa, yang bermonolog.
"Gak bisa satu ayat ustadzh!" Hawa, menawar sambil memelas.
"Satu ayat?" tanya Adam, Hawa, pun mengangguk. "Kamu lihat anak itu!" tunjuk Adam, pada seorang anak kecil berbaju syar'i yang sedang bermain dengan santriwati lain.
"Dia sudah hapal 30 juz. Apa kamu tidak sanggup menghapal sepuluh ayat saja? Kamu kalah dengan anak kecil itu." Hawa, membelalakan matanya tidak percaya anak seusia 7 tahun sudah hapal 30 juz sedangkan dirinya surat pendek saja masih sering lupa.
Tapi tidak bagi Adam, karena dari usia kecil mereka sudah diajarkan mengaji dan menghapal alquran, tidak aneh jika anak yang usia tujuh tahun sudah hapal 30 juz.
Bukan hanya sebatas hukuman Adam, meminta Hawa, menghapal alquran. Namun, sebagai awal dari didikannya agar terbiasa rutin dan telaten dalam membaca dan menghapal alquran. Tak hanya pada Hawa, juga pada para santri dan muridnya Adam, selalu menerapkan itu. Dalam waktu satu bulan setidaknya para santri sudah bisa menghapal satu surat.
"Tidak ada tawar menawar mulai besok kamu mulai setor." Adam, berlalu pergi meninggalkan Hawa, yang menahan kesal.
****
"Huh! Apes banget sih! Kabur gak bisa eh, malah dapat hukuman menghapal surat panjang lagi aduh … gimana nih! Belum tugas tauhid, akhlak, tizan, dan sapinah butek otak gue lama-lama tinggal disini, pelajaran disini aneh-aneh semua gak ngerti gue."
Hawa, terus menggerutu biasanya ia hanya mendapat pelajaran seperti biologi, fisika, matematika, inggris dan seni budaya tapi di pondok banyak pelajaran-pelajaran agama yang tidak di mengerti seperti kitab-kitab yang telah di sebutkannya tadi.
Sepanjang masuk ke dalam kamarnya Hawa, terus menghentakan kakinya. Pada saat di depan ranjang tidurnya Hawa, menginjak sebuah gulungan kertas. Hawa, pun mengambil kertas itu lalu membukanya.
Matanya terbelalak ketika tahu apa isi dalam surat itu. Surat yang di berikan Adam, untuk Asma. Namun, saat itu Asma, masih tersulut emosi sehingga melempar surat itu ke sembarang arah.
"Jadi, karena ini dia nangis! Dasar ustadz so ganteng. Main tolak cewek saja, tapi … aku bisa pakai alasan ini besok." Hawa, tersenyum licik mengingat apa yang akan dilakukannya pada Adam.
****
Hawa, tersenyum-senyum saat Adam, memasuki kelasnya. Di karena, kan hanya Hawa, yang mendapatkan hukuman saat ini hanya ada mereka berdua di dalam kelas. Namun, dengan pintu terbuka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Yuli Purwa
ada aja akal nya hawa,,, awas suka loh 🤣🤣
2023-05-22
1
Sri Mulyati
mau ngapain lagi Hawa?
Adam lho gurunya sekarang,malah di hukum lagi nanti.
Semangat 💪💪💪 juga up nya Thorrr 😘😘😘😘😘😘😘😘
2022-06-21
0