"Kenapa senyum-senyum Pa?" tanya Marwah pada suaminya.
"Kiyai telepon katanya Hawa sudah mulai terbiasa dan dekat dengan Khodijah bahkan mereka memasak bersama." Kata Marwan seraya menyimpan ponsel pada atas meja.
Raut wajahnya begitu bahagia, putrinya kini sudah tidak nakal lagi. Dan tidak lagi kabur-kaburan seperti sebelumnya.
"Ada apa nih! Sebut-sebut nama adikku," ujar Yusuf yang baru saja datang entah sudah dari mana. Langkahnya terhenti di depan kedua orang tuanya lalu ikut berkumpul.
"Dari mana Suf?"
"Dari sekolah Al-Furqon, dapat panggilan mengajar di sana," ujarnya. Lalu duduk di dekat Marwah.
"Alhamdulillah, sebentar lagi anak Mama jadi guru." Senangnya Marwah, tetapi tidak dengan Marwan yang sedikit kecewa.
"Jika kamu jadi guru siapa yang akan mengembangkan perusahaan?"
Dengan dinginnya Marwan bertanya seolah tidak setuju dengan keputusan Yusuf. Dari dulu kesenangannya adalah mengajar bukan menjadi seorang pengusaha seperti papanya.
Suasana menjadi hening seketika. Marwah coba menahan emosi sang suami agar tidak lagi mengulangi kesalahannya. Meminta Yusuf agar menjadi keinginannya.
"Bukankah ada papa yang sangat pintar berbisnis."
Marwan langsung melirik tajam pada putranya.
"Papa meminta kamu pulang untuk meneruskan perusahaan Papa. Pada siapa lagi Papa meminta jika bukan pada anak-anak ku."
"Tapi Pa, Yusuf sama sekali tidak mengerti tentang bisnis, lagi pula aku tidak terlalu menyukai bisnis."
"Karena kamu tidak pernah menurut, dari dulu Papa sudah bilang ambil jurusan bisnis tapi apa yang kamu lakukan!" Marwan sudah sangat marah, tetapi Marwah selalu menjadi penengah.
"Sudah! Jangan di bahas lagi, biarkan Yusuf menjalani profesinya sebagai guru, beri dia kesempatan untuk melakukan apa yang Yusuf inginkan."
Yusuf dan Marwan hanya saling diam.
"Selalu saja kamu bela," protes Marwan.
"Bukan begitu Pa, dengarkan Mama dulu Mama belum selesai bicara."
Entah apa kelanjutan ucapan Marwah, sedetik tatapanya beralih pada Yusuf lalu berkata, "Yusuf, Mama tanya kamu mengajar tidak setiap hari 'kan?"
"Tidak Ma, hanya dua hari dalam seminggu."
Setelah mendengar jawaban Yusuf, Marwah beralih lagi kepada suaminya dan berkata, "Dua hari selama seminggu, menurut Mama Yusuf bisa bekerja di perusahaan, masih ada 3 hari waktu Yusuf yang tersisa. Jadi Yusuf tetap bisa mengajar asal mau meneruskan perusahaan. Bagaimana Yusuf?"
Yusuf masih menimbang-nimbang. Sedetik tatapannya beralih pada Marwan, ingin menolak tetapi tidak ingin mengecewakan sang ayah lagi. Lebih tepatnya tidak ingin ayahnya marah.
Setelah lama berpikir akhirnya Yusuf nemberikan jawaban. Ia setuju dengan tawaran sang ibu, setidaknya Yusuf masih bisa melakukan apa yang dia inginkan.
Marwan pun tidak kecewa lagi. Kini dia tersenyum bangga pada putranya.
*****
Sekolah Islam Al-Furqon, sebuah sekolah yang di lengkapi asrama putri dan wanita tidak berbeda dengan sebuah pondok pesantren. Namun, murid-murid di sini tidak semua wajib dan harus jadi santri di sana, pihak sekolah juga membuka pendaftaran bagi masyarakat luar.
Waktu masih menunjukan 06.30. Semua murid masih berkeliaran di lapangan, bahkan ada yang baru saja datang. Mereka semua terdiri dari orang berada, sekolah itu pun di lengkapi berbagai fasilitas.
Seperti sebuah mini market yang khusus untuk para santri dan murid agar tidak membeli makanan di luar. Ada pun sebuah aula besar yang sering di gunakan untuk kepentingan para siswa dan umum.
Gedung sekolah terletak di bagian depan berjarak 10km dari pintu gerbang. Cukup jauh bukan? Ya, memang karena semua murid di sini selalu di antar dengan kendaraan pribadi mereka jadi tidak terlalu lelah untuk berjalan.
Hamparan lapangan yang luas begitu membentang. Dan untuk pondok terletak di bagian belakang sekolah yang berada di antara para keluarga besar pendiri pondok itu.
Bel berbunyi menandakan waktu belajar siap di mulai. Semua murid berhamburan memasuki kelas.
"Asma?" panggil seorang siswi pada seorang wanita berseragam tengah duduk di bangkunya.
"Asma, tahu tidak hari ini kita kedatangan guru baru, katanya sih ganteng lulusan mesir lagi."
Mendengar nama mesir Asma jadi teringat seseorang yang sudah menghancurkan hatinya. Mungkinkah guru itu adalah orang yang sama?
"Tidak, tidak mungkin," lirihnya.
"Apa yang tidak mungkin Asma?" tanya temannya Asma hanya menggeleng.
"Tidak mungkinlah setampan itu," canda Asma.
"Tidak tahu juga sih. Lihat saja nanti."
Asma dan temannya duduk bersama tidak berselang lama datanglah kedua pria sebagai kepala sekolah, dan satunya seorang pria yang sangat muda dan tampan.
"Lihat Asma pasti itu guru barunya," bisik temannya tetapi Asma malah acuh, baginya tetap tampan laki-laki yang sudah memikat hatinya.
Sampai kini dirinya masih mengingat Adam, lelaki yang sempat di jodohkan dengannya. Hanya saja perjodohan itu batal karena Adam menolak.
Pak kepala sekolah pun memberi salam, serempak mereka semua menjawab dengan kompak.
Suasana mulai riuh, tidak sedikit dari mereka berbisik apa lagi wanita. Tidak lain membicarakan Yusuf guru baru mereka.
"Anak-anak jika ada yang ingin di tanyakan bisa kalian tanyakan nanti pada pak Yusuf. Bapak hanya sekedar memperkenalkan saja mulai untuk sementara guru agama kalian di ganti dulu."
"Ya, kok sementara sih Pak selamanya dong." Sontak seisi kelas pun riuh mereka saling menyoraki.
"Diam-diam! Kalian tidak menghargai kami ya!." Seketika kelas jadi hening kembali karena bentakan pak kepala sekolah.
"Belajar dengan benar mengerti!"
"Iya Pak," jawab mereka serempak.
Pak kepala sekolah itupun pergi, kini tinggallah Yusuf yang menghadapi para muridnya.
"Pak aku mau tanya dong nama lengkapnya siapa?"
"Rumahnya di mana Pak?"
"Boleh minta nomor whatsapp nya gak Pak? Buat nanti tanya-tanya."
Sontak seisi kelas kembali riuh karena gurauan salah satu murid yang meminta nomor Yusuf.
Yusuf hanya bisa geleng-geleng kepala. Tidak marah melainkan jadi teringat adiknya Hawa. Mungkin saat di sekolah perlakuan Hawa seperti itu.
"Baiklah saya akan jawab pertanyaan kalian satu-satu."
Yusuf berbalik menghadap papan tulis, di ambilnya sebuah spidol, lalu mulai menulis kata demi kata. Yang pertama ia tulis adalah namanya sendiri.
Yusuf Baskara Putra, itulah namanya. Tidak hanya tampan Yusuf seorang lelaki yang pemberani, pemberi kebebasan dan berani ambil resiko.
Sebagaimana nabi Yusuf A.S. Tampan dan pemberani.
Setelah memperkenalkan namanya Yusuf menulis lagi di baris kedua. Sebagai jawaban atas pertanyaan muridnya tadi.
Jl. Kenanga blok A perumahan indah. Yusuf memberitahukan di mana tempat tinggalnya.
"Jauh tuh dari rumahku. Tidak apalah bolehkan Pak kalau kita datang." Lagi-lagi mereka bergurau.
"Sekarang nomor whatsapp nya Pak!"
Yusuf kembali menulis nomor whatsapp — Zonk.
"Untuk nomor saya tidak bisa memberitahukan karena itu privasi saya."
"Ya, Pak!" keluh salah satu murid tadi.
"Sudah-sudah sekarang kita mulai belajar. Ada yang tahu apa itu istikhoroh ada yang tahu?"
"Sholat sunnah."
"Sholat penentu jodoh."
Sholat istikhoroh adalah sholat dua rakaat yang di kerjakan seorang muslim ketika memilih antara kedua perkara. Berdoa kepada Allah Azza wa Jalla dengan doa tertentu agar di beri taufik pada sesuatu yang baik.
Itulah penjelasan yang Yusuf tulis.
"Contohnya seperti tadi, meminta petunjuk untuk jodoh," jelas Yusuf.
"Apa di sini ada yang sudah melakukan sholat istikhoroh?"
"Belum sih Pak, tapi nanti malam aku mau deh. Istikhorohin Bapak ganteng." Lagi-lagi gombal Yusuf hanya tersenyum simpul.
Inilah alasannya kenapa Yusuf ingin mengajar, karena mengajar tidaklah membosankan. Selalu ada cerita, candaan, dari setiap muridnya.
"Pak waktu Sholat istikhoroh itu kapan?"
"Sholat istikharah dapat dilakukan kapan saja mau siang ataupun malam hari kecuali tidak pada 3 waktu yang terlarang untuk melakukan sholat. Namun sebagian orang sering melaksanakannya pada malam hari sebelum tidur."
Tiba-tiba Asma mengangkat tangan ke udara. Seolah ingin bertanya.
"Apa hasil mimpi dari sholat istikhoroh itu nyata dan harus di turuti? Misalnya jodoh, jika hasil istikhoroh itu tidak sesuai apa yang kita inginkan dan ternyata menyakiti hati orang lain apa itu harus di lakukan."
Yusuf tertegun, begitupun semua teman-temannya. Sebab, pertanyaan Asma sungguh di luar dugaan.
"Ya. Karena petunjuk dari Allah itulah yang terbaik," jawab Yusuf yang kini pandangannya tertuju pada Asma.
Asma memandang Yusuf dengan penuh amarah. Seolah kecewa atas jawaban darinya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 88 Episodes
Comments
Yuli Purwa
idih,, nanya dijawab yg bener malah marah,,, murid lucknut 😏😏😏
2023-05-23
1