"Baiklah mas, aku akan mengurus kamu. Aku akan buatkan makan siang. Beristirahatlah dulu."
Mengalah akan mempermudah urusan dan mengatasi masalah. Itulah yang ada di pikiran Anggita saat ini. Walau perkataan suaminya sangat jelas menyakitkan tapi Anggita berusaha untuk meredam rasa jengkelnya. Jika diingat perlakuan siapa yang menyakitkan maka kata durhaka seharusnya ditujukan untuk Evan. Tapi pria itu seakan merasa tidak bersalah sama sekali. Anggita tidak ada di rumah ini ketika dirinya sakit bukan karena melalaikan tanggung jawab tapi karena sikap ketusnya.
"Buatkan aku sup iga."
"Baik mas," jawab Anggita sambil berjalan menuju pintu.
"Tunggu, aku mau iganya yang tidak terlalu tebal lemaknya."
"Baik mas," jawab Anggita lagi. Dia meneruskan langkahnya menuju dapur. Anggita berharap bahan bahan untuk membuat sup iga tersedia di dalam kulkas.
"Cari apa non?" tanya bibi Ani membuat Anggita menghentikan tangannya mencari bahan bahan di kulkas.
"Cari bahan bahan untuk membuat sup iga bibi," jawab Anggita sambil terus mencari bahan itu hingga semuanya bahan bahan tersebut sudah tersedia di tangannya.
"Sup iga?. Anggita mengangguk.
"Untuk siapa non?.
"Untuk mas Evan. Dia sendiri yang memintaku untuk memasak sup iga."
"Tadi aku juga sudah membuatkan sup iga untuk tuan non. Tapi jangankan dimakan, dicicip pun tidak," kata bibi Ani bingung. Sebelum kedatangan Anggita. Dia sudah menyajikan sup iga permintaan tuannya.
Sama seperti bibi Ani, Anggita juga bingung. Untuk apa dirinya disuruh membuat sup iga kalau juga tidak dimakan. Anggita menjadi ragu untuk memasak. Dia takut jika permintaan Evan hanya untuk mencari celah kesalahannya saja.
"Bibi, aku jadi ragu memasak. Jika masakan bibi saja tidak membuat mas Evan apalagi masakan aku."
"Masak saja non. Nanti jadi salah lagi kalau non tidak memasak permintaan tuan," saran bibi Ani. Dia menjadi saksi hidup bagaimana rumah tangga majikannya.
"Baiklah bibi, tadi mas Evan memang minta iganya yang tidak terlalu tebal lemaknya."
"Ooo begitu. Tadi yang aku masak Lumayan yang berlemak non."
"Pantas mas Evan tidak mau ya Bibi. Mungkin dia lupa mengingatkan bibi tentang lemak itu bibi."
Bibi Ani hanya mengangguk. Tadi juga Evan meminta hal yang sama kepada dirinya. Tapi supaya Anggita bersemangat memasak. Terpaksa bibi Ani berbohong.
"Perlu bantuan non?.
"Tidak perlu bibi. Beristirahatlah di kamar. Kalau hanya urusan membuat sup ini. Urusan gampang bibi," kata Anggita sambil mendorong bibi Ani untuk keluar dari dapur. Bibi itu hanya terkekeh kemudian menurut dengan apa yang dikatakan Anggita.
Setelah bibi Ani keluar dari dapur. Anggita kini berusaha keras melawan rasa mual yang bergejolak dari perutnya. Walau hari mendekati tengah hari mencium bumbu bumbu itu ternyata masih saja memancing perutnya untuk mengeluarkan semua isi perutnya.
Anggita benar benar memuntahkan isi perutnya. Tapi dia tidak kehilangan akal. Demi membuat sup permintaan suaminya, Anggita memakai masker double supaya tidak bisa mencium bumbu bumbu itu.
Setelah hampir satu jam berkutat di dapur akhirnya sup permintaan Evan jadi juga. Anggita menata masakan itu di meja makan. Bisa saja sebenarnya dia membawa makanan itu ke kamar. Tapi Anggita sudah berpengalaman menghadapi suaminya. Anggita sering diperlakukan serba salah. Duduk salah, berdiri salah. Itulah sebabnya Dia harus bertanya terlebih dulu apakah Evan makan di meja makan atau makanan itu dibawa ke kamar.
Anggita menaiki tangga dan berharap masakan sup iga buatannya sesuai dengan selera suaminya. Setelah kakinya menginjak tangga teratas dia mendengar suara mama Anita mertuanya dari kamar dimana Evan berada. Fokus memasak sup iga permintaan suaminya membuat Anggita tidak menyadari kedatangan mama mertuanya.
Anggita seketika merasa malas bertemu dengan mama mertuanya. Bertemu dengan mama Anita akan menambah luka di hatinya. Sejak awal pernikahan, mama Anita sudah terang terangan menunjukkan sikap tidak suka kepada dirinya dan bahkan menuduh Anggita wanita penggila harta.
Anggita hendak berbalik menuruni tangga tapi suara seseorang yang juga berasal dari kamar Evan membuat Anggita penasaran. Dia mendekat ke kamar Evan dan bisa melihat dua wanita yang ada di kamar itu. Anggita merapatkan dirinya ke dinding untuk mendengar pembicaraan tiga wanita itu.
"Ma, sebaiknya jangan terburu buru. Sabar saja. Waktu itu akan tiba," kata Evan.
"Terburu buru bagaimana. Bukankah seharusnya pernikahan kamu dengan Adelia satu tahun yang lalu. Tapi karena kakek kamu menjodohkan kamu dengan wanita penggila harta itu akhirnya jadi begini."
"Iya itu memang benar. Tapi aku dan wanita itu belum bercerai."
"Tapi akan bercerai kan. Tidak ada salahnya jika kamu kembali memulai hubungan dengan Adelia. Dia sudah sabar selama satu tahun ini menunggu kamu."
"Mama tahu sendiri bagaimana aku kan. Aku tidak bisa menjalin hubungan dengan dua wanita sekaligus. Sama ketika aku memutuskan menikahi wanita itu. Aku terlebih dahulu memutuskan hubungan aku dengan Adel. Jadi begitu juga sekarang. Jika aku memulai hubungan dengan Adel. Maka tunggu dulu hubunganku dengan dia selesai."
"Kamu dan Adel saling mencintai. Kalian terpisah gara gara wanita itu. Adel sampai menenangkan diri ke luar negeri selama satu tahun ini karena tidak sanggup melihat kamu dengan wanita itu. Jadi apa salahnya kalian bertunangan dulu sebelum perceraian kalian ketuk palu."
"Tidak bisa ma. Biarkan hubungan kami selesai dulu. Lagian usia kakek juga tidak lama lagi. Wanita itu juga akan menandatangani surat perceraian jika kakek tiada."
"Itu hanya alasan dia saja. Lihat, dia pasti akan mempergunakan waktu kakek yang singkat ini untuk meraup harta kakek. Kalau bukan harta apalagi motifnya bersedia menikah dengan orang yang bukan kekasihnya," kata mama Anita kesal.
"Sudah Tante. Tidak apa apa. Aku pasti sabar menunggu dudanya Evan," kata Adelia yang sedari tadi diam mendengar perdebatan Evan dan mamanya.
"Lihatlah Adelia, Evan. Dia selalu mengesampingkan egonya. Dia rela mengalah demi kesehatan kakek. Seharusnya kamu mengikat Adel dengan pertunangan. Kita bisa menyembunyikan hal itu dari kakek," bujuk mama Anita lagi. Evan menggelengkan kepalanya lemah.
"Mama, aku dengarkan permintaanku ini. Tolong jangan paksa aku untuk menuruti semua keinginan mama. Aku sudah dewasa dan bisa menentukan apa yang terbaik untuk aku. Adel saja tidak keberatan menunggu justru mama yang mendesak," kata Evan sudah mulai kesal.
"Itu karena aku ingin menggendong cucu Evan dari menantu yang aku inginkan."
"Tante, jadi bagaimana kalau wanita itu lagi hamil?" tanya Adel sudah mulai risau. Mendengar cucu, otaknya langsung berpikir tentang tentang hubungan Evan dan Anggita.
"Tidak mungkin dia hamil. Evan pasti tidak sudi menyentuhnya. Lagipula jika wanita penggila harta itu hamil. Gampang. Anaknya kamu asuh. Kamu tidak apa apa seandainya mempunyai anak tiri kan?"
"Tidak apa apa Tante."
Evan tiba tiba batuk mendengar perkataan mamanya. Begitu juga dengan Anggita. Dia memegang dadanya yang terasa sesak mendengar pembicaraan terutama perkataan mama mertuanya. Dia tidak menyangka jika mama Anita bisa berpikir semudah itu menyangkut seorang anak. Anggita masih merasa beruntung. Karena kehamilannya masih belum diketahui keluarga besar suaminya.
"Lihatlah, wanita itu benar benar gila harta. Suaminya sakit bukannya berada di sisi suami dan mengurusnya," kata mama Anita lagi.
"Dia ada di dapur ma. Membuat sup permintaan ku," jawab Evan membuat mama Anita terdiam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 167 Episodes
Comments
Rahmawaty❣️
Beh kga tau be lu . Si evan minta jatah mlu tiap mlm
2022-10-08
2
Zaitun
mama songong
2022-06-30
1
Mommy Ghina
alamak.....tuh emaknya mulutnya.....ck..ck
2022-06-28
0