Marah

Sinar matahari yang masuk ke dalam kamar lewat celah jendela tidak membuat Anggita terbangun. Menangis semalaman memikirkan nasib pernikahannya membuat Anggita tertidur setelah larut malam. Anggita masih betah dalam tidurnya yang sedang bermimpi.

Dalam mimpi itu, Anggita sedang menikmati keindahan alam dengan beberapa anak kecil. Anggita dan anak anak itu saling berpegangan tangan membentuk lingkaran di sebuah taman. Dari mulut mereka terdengar suara nyanyian yang indah. Ketika mereka hampir menyelesaikan nyanyian itu seorang dari anak kecil itu melepaskan tangannya dari tangan Anggita dan berlari menjauhi Anggita dan yang lainnya.

Anggita melepaskan tangannya dari anak yang memegang tangan kirinya. Anggita berlari mengejar dan berteriak meminta anak itu untuk berhenti. Anggita merasakan kelelahan dan akhirnya terjatuh.

Saat itulah Anggita terbangun. Dia terkejut melihat hari sudah terang.

"Bodoh. Bodoh," gumam Anggita sambil memukul kepalanya.

Anggita menyadari jika dirinya bangun terlambat seperti ini membuat dirinya merasa lalai dalam menjalankan kewajiban sebagai istri. Tadi malam dia sudah menolak bercerai. Tapi pagi ini dirinya sudah menunjukkan kelalaiannya.

Anggita berjalan cepat keluar dari kamar untuk memastikan jika suaminya sudah berangkat ke kantor. Dia menaikkan tangga menuju kamar mereka dengan mengabaikan rasa mual dari mulutnya.

Dirinya menarik nafas panjang ketika melihat di kamar itu tidak ada lagi mahkluk yang dia sebut sebagai suami. Dengan lesu, Anggita kembali menuruni tangga. Dia menuju ruang makan untuk mengambil air putih hangat sebagai pertolongan pertama untuk mengatasi rasa mual yang semakin menjadi jadi itu.

"Dasar cengeng."

Anggita hampir menjatuhkan gelas di tangannya mendengar suara bernada ejekan itu. Dia melayangkan pandangannya ke arah suara dan benar saja di ujung makan Evan dengan santai sedang memasukkan sepotong roti ke dalam mulutnya. Terlalu fokus dengan tujuannya untuk mengambil air putih hangat membuat Anggita tidak menyadari keberadaan suaminya itu di meja makan.

Anggita tidak dapat menutupi keterkejutan di wajahnya. Biasanya jam seperti ini suaminya itu sudah berada di kantor. Tapi hari ini seakan hari libur. Pria tampan itu terlihat sangat santai walau sudah mengenakan setelan kerja. Pikiran pikiran buruk menghantui Anggita. Dia takut jika, Evan kembali menyuruhnya untuk menandatangani surat perceraian.

"Jangan tunjukkan muka sembab mu itu di hadapanku. Sekalipun kamu menangis tujuh hari tujuh malam. Seperti perkataan aku tadi malam, setelah pemakaman kakek semuanya sudah berakhir."

Anggita meraba matanya yang bengkak. Perkataan suaminya kembali menyakiti hatinya sangat dalam.

"Aku mengerti mas. Hari Minggu, kakek menyuruh kita ke rumahnya," kata Anggita setelah bersusah payah menyembunyikan rasa mual itu. Selagi suaminya mengucapkan kata kakek. Anggita mengingatkan tentang permintaan sang kakek.

"Pergilah sendiri."

"Apakah aku harus mengatakan alasan yang sama jika kakek bertanya mengapa kamu tidak ikut?.

"Terserah."

Anggita menarik nafas panjang. Entah sampai kapan Evan terus bersikap memusuhi kepada kakeknya. Sejak mereka menikah. Evan tidak pernah lagi bersedia bertemu dengan kakek Martin.

"Aku mohon mas. Temui kakek Martin. Dia kakek kandungmu. Dan tidak berumur lama lagi."

Suara Anggita melemah di ujung kalimatnya. Dia tidak tega untuk mengucapkan kalimat terakhir itu apalagi membayangkan kakek Martin meninggal.

Anggita menundukkan kepalanya melihat tatapan tajam suaminya. Kata katanya untuk menyadarkan Evan tapi perkataan itu seperti suatu kesalahan besar yang akan mendapatkan hukuman.

"Jangan terlalu ikut campur dengan diriku."

Perkataan itu penuh penekanan dengan wajah yang memerah karena marah. Lewat ekor matanya. Anggita dapat melihat Evan beranjak dari duduknya tetapi kemudian menghentakkan bangku dengan kasar.

Pria itu berlalu dari ruang tamu tanpa pamit sebagai mana suami istri pada umumnya. Tapi itu sudah merupakan hal biasa bagi diri Anggita.

Setelah Evan pergi dari rumah. Anggita juga bersiap siap untuk berangkat ke kafenya.

"Gita, apa yang terjadi. Kamu ada masalah?" tanya Nia sahabat Anggita yang menjadi orang kepercayaannya di kafe itu. Siapapun bisa melihat mata Anggita yang bengkak walau sudah dipoles.

"Apa aku terlihat seperti orang yang dalam masalah?" tanya Anggita balik dengan wajah yang sudah tersenyum. Senyum yang menutupi luka hatinya.

"Iya, aku sudah memperhatikan kamu sejak turun dari mobil. Wajahmu mendung seperti langit yang akan menumpahkan air hujan."

"Tapi sayangnya kamu salah friend. Mendung tidak selamanya mendatangkan hujan."

"Jangan berbohong Gita. Kamu pasti menangis semalaman makanya matamu bengkak kan?.

"Bukan. Mataku bengkak karena kebanyakan menonton video di ponsel."

"Mulutmu bisa berbohong Gita tapi tidak dengan matamu. Jika kamu butuhkan teman curhat. Aku selalu ada untuk kamu," kata Nia akhirnya. Dia bisa melihat kesedihan sahabatnya. Tapi Nia tidak ingin memaksa Anggita untuk bercerita.

"Terima kasih Nia. Aku ke ruangan dulu," kata Anggita dengan senyum yang masih dipaksakan.

"Masuklah ke kamar pribadimu. Jika kamu kurang tidur tadi malam. Sebaiknya kamu beristirahat. Tentang kafe kamu tidak perlu khawatir."

Anggita hanya menepuk lengan sahabatnya. Sebenarnya dia terharu dengan perhatian sahabatnya. Tapi untuk menghilangkannya kesedihan, Anggita berpikir dirinya harus sibuk dengan pekerjaan.

Satu harian Anggita benar benar memusatkan perhatiannya terhadap hal hal tentang pelayanan dan kualitas kafenya. Tapi di sore hari setelah jam kerja usai, Anggita justru berpikir untuk menginap saja di Kafe. Mengingat nama suaminya saja membuat hatinya sakit apalagi melihat wajahnya. Itulah sebabnya Anggita untuk menghindar sementara waktu dari Evan.

Tapi apa yang ada di pikirannya tidak sejalan dengan kenyataan. Ketika Anggita keluar dari kafe hendak berbelanja ke supermarket, mobil suaminya tiba tiba berhenti di hadapannya.

"Masuk." Suara dari pria dingin itu terdengar setelah kaca mobil terbuka.

"Apa mas sengaja menjemput aku?" tanya Anggita senang. Rasa sakit yang ditorehkan oleh Evan selama itu terlupa dengan keberadaan Evan yang menjemputnya untuk pertama kalinya setelah mereka menikah.

"Buka pintunya dan masuk." Evan berkata dengan tatapan lurus tapi bukan kepada Anggita.

Dengan wajah yang berseri, Anggita membuka pintu mobil dan masuk. Dia melupakan niatnya yang akan menginap di Kafe.

"Terima kasih mas," kata Anggita senang setelah duduk di dalam mobil.

"Jangan senang dulu. Aku hanya kebetulan lewat. Aku hanya berpikir. Orang lain saja dikasih tumpangan apalagi dengan wanita yang melemparkan tubuhnya ke atas ranjang aku."

"Serendah itu kamu menilai aku mas?. Aku istrimu bukan wanita murahan."

Anggita tidak jadi memasang sabuk pengaman yang sudah dia pegang. Dadanya sangat sesak mengetahui jika Evan menilai dirinya serendah itu. Bukan hanya kembali sakit hati, Anggita juga merasa malu karena terlampau senang.

Evan tidak menjawab apa yang dikatakan oleh Anggita. Pria itu hanya tertawa sinis.

"Maaf mas, aku tidak jadi ikut mobil kamu Sebenarnya tadi aku berencana menginap di kafe karena ada pekerjaan yang belum siap aku kerjakan. Mohon ijin kamu."

"Keluarlah."

"Mohon ijin kamu mas."

"Menginap lah selama yang kamu mau. Jika perlu tidak perlu kembali ke rumah."

Evan kembali menancapkan pisau di hati Anggita. Anggita yang juga terpancing emosi akhirnya membuka pintu itu dan menutupnya dengan kasar.

Setelah pintu mobil tertutup. Mobil itu melesat dengan kencang. Bahkan Anggita dapat melihat mobil itu menyalib beberapa kendaraan lainnya.

"Jika itu keinginan kamu mas. Maka lihat saja. Aku tidak akan menjatuhkan harga diriku lagi untuk mempertahankan rumah tangga ini," kata Anggita pelan dengan tangan yang terkepal. Rasa sakit hatinya sudah bercampur dengan amarah. Seakan air matanya sudah habis, mata Anggita memerah karena marah.

Terpopuler

Comments

Uthie

Uthie

ngeselin emang si Evan 😡

2024-04-20

0

Cerita Emmilia

Cerita Emmilia

bagus anggita

2024-05-04

0

Rahmawaty❣️

Rahmawaty❣️

Pliss jgn lemahh anggita..
Tinggal prgi lah.. Keselll gw sma evan

2022-10-08

0

lihat semua
Episodes
1 Menolak Bercerai
2 Marah
3 Teror
4 Lebih Cepat Lebih Bagus
5 Alasan Menerima Perjodohan
6 Istri Durhaka
7 Permintaan Evan
8 Pembelaan Bibi Ani
9 Permintaan Anggita
10 Ketakutan Adelia
11 Buah Kiwi
12 Pakaian Evan
13 Dewi Penolong
14 Mari, Kita Bercerai.
15 Ijin dari Kakek Martin Untuk Bercerai
16 Fitnah
17 Fitnah2
18 Keras Kepala
19 Permohonan Anggita
20 Kabar Bahagia
21 Kakek Martin Kritis
22 Keselamatan Anggita
23 Keguguran
24 Keguguran2
25 Ikhlas
26 Pergi Darimu
27 Panggilan Sidang
28 Perasaan Evan
29 Rasa Bersalah yang Menyiksa
30 Aku Yang Kehilangan Kamu
31 Kehilangan Dua Orang Sekaligus.
32 Kejujuran Nia
33 Pesona Janda Muda
34 Persyaratan
35 Evan, Anita dan Rendra
36 Adelia
37 Adelia Dan Nia
38 Mama Ita
39 Evan Dan Adelia
40 Janji Evan
41 Penolakan Anggita
42 Petunjuk
43 Curahan Hati Evan
44 Kebaikan Dokter Angga
45 Danny Dan Dokter Angga
46 Perdebatan Tante Tiara dan Danny
47 Kejujuran Danny
48 Saham lima Persen
49 Pendonor yang Sesungguhnya
50 Kejadian Sepuluh Tahun Yang Lalu
51 Kafe Bintang
52 Anggita Melahirkan
53 Bertemu
54 Bayi Cantik
55 Keputusan Anggita.
56 Pengganggu
57 Evan Dan Cahaya
58 Kebahagiaan Keluaga Kakek Martin
59 Anggita Dan Nia
60 Membawa Cahaya Pergi
61 Siapakah Dokter Angga
62 Titik Terang tentang Dokter Angga.
63 Janji Manis
64 Terperangkap Hujan
65 Terungkap
66 Hancur
67 Harapan Evan
68 Lembaran baru
69 Bahagia dan Marah
70 Saran Rendra
71 Lamaran
72 Lamaran2
73 Kedatangan Bronson dan Dokter Angga.
74 Kesedihan nia
75 Diskusi Pengantin Baru
76 Malam Pengantin
77 Kebaikan Anggita
78 Kejujuran Danny
79 Penderitaan Dokter Angga
80 Wanita Untuk Rendra
81 Ulang Tahun Adelia
82 Wanita Terbaik
83 Sikap Evan
84 Memutuskan Hubungan
85 Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
86 Dukungan Keluarga
87 Tamu Di Pagi Hari
88 Saling Memaafkan
89 Perlawanan Dokter Angga
90 Kedatangan Dokter Angga
91 Lanjut Atau Gugur
92 Evan Dan Mama Anita
93 Mama Anita dan Nia
94 Bab 94
95 Bab 95
96 Bab 95
97 Bab 96
98 Bab 97
99 Bab 99
100 Bab 100
101 Bab 101
102 Bab 102
103 Bab 102
104 Bab 103
105 Bab 104
106 Bab 105
107 Bab 106
108 Bab 107
109 Bab 108
110 Bab 109
111 Bab 110
112 Bab 111
113 Bab 112
114 Bab 113
115 Bab 114
116 Bab 115
117 Bab 116
118 Bab 117
119 Bab 118
120 Bab 119
121 Bab 120
122 Bab 121
123 Bab 122
124 Bab 123
125 Bab 124
126 Bab 125
127 Bab 126
128 Bab 127
129 Bab 127
130 Bab 129
131 Bab 130
132 Bab 131
133 Bab 132
134 Bab 133
135 Bab 134
136 Bab 135
137 Bab 136
138 Bab 137
139 Bab 138
140 139
141 Bab 140
142 Bab 141
143 Bab 142
144 Bab 143
145 Bab 144
146 Bab 145
147 Bab 146
148 Bab 147
149 Bab 148
150 Bab 149
151 Bab 150
152 Bab 151
153 Bab 152
154 Bab 152
155 Bab 153
156 Bab 154
157 Bab 155
158 Bab 156
159 Bab 157
160 Bab 158
161 Bab 159
162 Bab 160
163 Bab 161
164 Bab 162
165 163
166 Promo Novel Baru Bukan Rahim Bayaran
167 Novel terbaru. Panggil Aku Bunda
Episodes

Updated 167 Episodes

1
Menolak Bercerai
2
Marah
3
Teror
4
Lebih Cepat Lebih Bagus
5
Alasan Menerima Perjodohan
6
Istri Durhaka
7
Permintaan Evan
8
Pembelaan Bibi Ani
9
Permintaan Anggita
10
Ketakutan Adelia
11
Buah Kiwi
12
Pakaian Evan
13
Dewi Penolong
14
Mari, Kita Bercerai.
15
Ijin dari Kakek Martin Untuk Bercerai
16
Fitnah
17
Fitnah2
18
Keras Kepala
19
Permohonan Anggita
20
Kabar Bahagia
21
Kakek Martin Kritis
22
Keselamatan Anggita
23
Keguguran
24
Keguguran2
25
Ikhlas
26
Pergi Darimu
27
Panggilan Sidang
28
Perasaan Evan
29
Rasa Bersalah yang Menyiksa
30
Aku Yang Kehilangan Kamu
31
Kehilangan Dua Orang Sekaligus.
32
Kejujuran Nia
33
Pesona Janda Muda
34
Persyaratan
35
Evan, Anita dan Rendra
36
Adelia
37
Adelia Dan Nia
38
Mama Ita
39
Evan Dan Adelia
40
Janji Evan
41
Penolakan Anggita
42
Petunjuk
43
Curahan Hati Evan
44
Kebaikan Dokter Angga
45
Danny Dan Dokter Angga
46
Perdebatan Tante Tiara dan Danny
47
Kejujuran Danny
48
Saham lima Persen
49
Pendonor yang Sesungguhnya
50
Kejadian Sepuluh Tahun Yang Lalu
51
Kafe Bintang
52
Anggita Melahirkan
53
Bertemu
54
Bayi Cantik
55
Keputusan Anggita.
56
Pengganggu
57
Evan Dan Cahaya
58
Kebahagiaan Keluaga Kakek Martin
59
Anggita Dan Nia
60
Membawa Cahaya Pergi
61
Siapakah Dokter Angga
62
Titik Terang tentang Dokter Angga.
63
Janji Manis
64
Terperangkap Hujan
65
Terungkap
66
Hancur
67
Harapan Evan
68
Lembaran baru
69
Bahagia dan Marah
70
Saran Rendra
71
Lamaran
72
Lamaran2
73
Kedatangan Bronson dan Dokter Angga.
74
Kesedihan nia
75
Diskusi Pengantin Baru
76
Malam Pengantin
77
Kebaikan Anggita
78
Kejujuran Danny
79
Penderitaan Dokter Angga
80
Wanita Untuk Rendra
81
Ulang Tahun Adelia
82
Wanita Terbaik
83
Sikap Evan
84
Memutuskan Hubungan
85
Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
86
Dukungan Keluarga
87
Tamu Di Pagi Hari
88
Saling Memaafkan
89
Perlawanan Dokter Angga
90
Kedatangan Dokter Angga
91
Lanjut Atau Gugur
92
Evan Dan Mama Anita
93
Mama Anita dan Nia
94
Bab 94
95
Bab 95
96
Bab 95
97
Bab 96
98
Bab 97
99
Bab 99
100
Bab 100
101
Bab 101
102
Bab 102
103
Bab 102
104
Bab 103
105
Bab 104
106
Bab 105
107
Bab 106
108
Bab 107
109
Bab 108
110
Bab 109
111
Bab 110
112
Bab 111
113
Bab 112
114
Bab 113
115
Bab 114
116
Bab 115
117
Bab 116
118
Bab 117
119
Bab 118
120
Bab 119
121
Bab 120
122
Bab 121
123
Bab 122
124
Bab 123
125
Bab 124
126
Bab 125
127
Bab 126
128
Bab 127
129
Bab 127
130
Bab 129
131
Bab 130
132
Bab 131
133
Bab 132
134
Bab 133
135
Bab 134
136
Bab 135
137
Bab 136
138
Bab 137
139
Bab 138
140
139
141
Bab 140
142
Bab 141
143
Bab 142
144
Bab 143
145
Bab 144
146
Bab 145
147
Bab 146
148
Bab 147
149
Bab 148
150
Bab 149
151
Bab 150
152
Bab 151
153
Bab 152
154
Bab 152
155
Bab 153
156
Bab 154
157
Bab 155
158
Bab 156
159
Bab 157
160
Bab 158
161
Bab 159
162
Bab 160
163
Bab 161
164
Bab 162
165
163
166
Promo Novel Baru Bukan Rahim Bayaran
167
Novel terbaru. Panggil Aku Bunda

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!